Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget Atas Posting

Cerbung, "Ibuku Gila" Part 2

 #IBUKU_GILA

#Part2



***

“Eis tadi lagi masak, Bang. Eis pikir Mak masih di kamar, tapi pas mau makan Eis cari kemana-mana nggak ketemu.” Suara Eis panik bercampur tangis. Aku tahu meski Eis bilang Mak nggak boleh muncul saat lamaran tapi sebenarnya dia amat menyayangi Mak. Kami semua sayang Mak.

“Ya udah, kamu cari lagi di luar komplek, biar Ayah yang nyari di komplek. Minta tolong juga sama Pak Mun dan Bik Siti.” Perintahku, sungguh aku khawatir. Andai Mak seperti kebanyakan orang lain aku tak ‘kan serisau ini. Tapi Mak?

Aku melajukan mobilku arah rumah, sambil memperhatikan kiri kanan, mana tahu ada Mak. Aku tetap tak menemukan sosok yang telah melahirkanku itu.

Mak, adalah wanita paling penting dalam hidupku, terlepas dari bagaimana dia sekarang. Mak dulu adalah ibu yang baik, perhatian dan pengertian. Bagaimana bisa aku lupa pada sosok wanita hebat ini. Sebelum tragedi yang membuat Mak lupa ingatan, aku merasa kami adalah keluarga paling bahagia sejagat raya.

Pagi-pagi Mak akan membangunkan kami dengan pelukan dan ciuman, mengingatkan untuk sholat subuh. Setelah itu Mak akan turun ke dapur untuk memasak.

Hal yang paling kami tunggu adalah adegan Ayah menganggu Mak masak, melihat tawa mereka kami selalu bahagia. Masa kecil yang menyenangkan.

***

Mak, adalah wanita sederhana yang mencintai keluarganya, Ayah berulang kali mengingatkan kami akan hal itu.

“Mak itu wanita yang spesial, baik dan tangguh. Kalaupun sekarang dia sakit itu ujian untuk kita. Ayah ikhlas merawat Mak kalian, Ayah akan mengajukan pensiun dini.” Kata ayah ketika itu. 

“Mak kalian sakit, Ayah akan bawa dia berobat kemanapun asal dia sembuh.” Di lain kesempatan Ayah mengungkapkan hal itu.

Mak memang istimewa dan wajar kalau dia mendapat cinta istimewa juga dari Ayah. Dulu, di awal-awal ibu sakit, hampir semua keluarga Ayah menyuruh meninggalkan Mak, menyuruh Ayah kawin lagi.

Ah, aku masih ingat sangat ingat malah, Ayah yang memarahi Tante Vivi, kakak sulung Ayah.

“Astaghfirullah, Kak, apa Kakak sadar sedang ngomong apa sekarang?” Ayah berdiri dari tempat duduknya.

“Wan, Kakak tahu apa yang Kakak katakan. Sudah hampir tiga tahun kamu beristri wanita gila itu, entah setan apa yang bergayut di kepalamu sehingga kamu tidak mendengar nasehat kami untuk meninggalkannya.” Tante Vivi sama marahnya dengan Papa.

“Kak, dia istriku, jangan sebut dia dengan wanita gila!” Muka Papa memerah menahan marah.

“Lho, dia memang gila ‘kan?” Sinis sekali nada suara Tante Vivi.

“Kak, aku tak mau kurang ajar dengan Kakak, jadi sebelum aku semakin marah, sebaiknya Kakak pulang aja.” Ayah berkata penuh tekanan.

“Kamu, mengusir Kakak, Ridwan?”

Ayah diam lalu menunjuk pintu sebagai jawaban pertanyaan Tante Vivi. Aku ingat betul wajah marah Tante pada Ayah. Sedang di sudut ruangan itu Mak sibuk dengan mainan bonekanya. Boneka Eis.

Ayah mendekat dan memeluk Mak, aku melihat Ayah menangis.

“Aku nggak akan meninggalkanmu, Nur.” Suara Ayah jelas aku dengar. Dan Mak mana peduli, dia sibuk bermain sendiri.

***

Mak memang mengalami gangguan jiwa, semua berawal ketika Mak menyaksikan seluruh keluarganya terpanggang di depan matanya. Tragedi kebakaran tujuh tahun silam, kebakaran hebat dan salah satu korban adalah rumah Kakek. Waktu itu kami sedang berkunjung ke rumah Kakek, seperti tahun-tahun sebelumnya, menjelang Ramadhan semua anak Kakek akan berkumpul.

Demikian juga tahun itu, tahun yang aku sendiripun masih bergidik ketika mengingatnya. Aku ingat betul bagaimana Kakek menahan pintu yang sudah menjadi bara demi Mak dan aku, sedang Eis ketika itu ikut ke kebun semangka Kakek yang memang sedang panen. Yang tinggal di rumah ketika itu hanya aku, Mak, Kakek, Nenek dan Yusuf. Yusuf adalah adik bungsu Mak yang ketika itu baru kelas 3 SMA.

“Nur, cepat bawa Satria keluar, apinya semakin besar, Nak.” Yah, ketika itu api memang menyala dan menggila melahap apa saja. Aku sudah batuk-batuk karena banyak asap masuk ke tenggorokanku.

“Tapi bagaimana dengan, Ayah?”

“Cepat, Nur, jangan berdebat.” Nenek mendorong Mak dan aku sekuat tenaga. 

Om Yusuf memapah Nenek, namun baru beberapa langkah, pintu yang di tahan Kakek rubuh, dan ternyata bertepatan dengan rubuhnya tiang di sebelah kanan, tiang itu rubuh tepat di atas Kakek. Demi melihat itu, Om Yusuf berbalik untuk menolong, Mak juga. 

Akan tetapi malang tak dapat di tolak, api begitu besar langsung melahap Kakek tanpa ampun. Nenek histeris dan berlari ke arah Kakek, tentu saja api langsung menyambut Nenek, Om yusuf berusaha menarik Nenek tapi sepertinya Nenek memeluk Kakek.

Sementara itu api semakin menggila, Mak yang menyaksikan itu terpaku diam, tak menangis tak menjerit. Tiba-tiba ada yang berderak di atas kami, sepertinya atap akan rubuh, Om Yusuf spontan menarik Mak dan menggendongku. Dia membawa kami keluar, tapi sayang, sebelum kami mencapai pintu sempurna, atap lebih dulu roboh.

Aku ingat betul, Om Yusuf membuat dirinya jadi tameng kami. Seandainya mau, Om Yusuf bisa selamat, tapi Om ku yang baik hati itu justru mendorong kami berdua sekuatnya hingga keluar sedangkan dia melangkah di belakang, kakinya terjepit dan api memeluknya sempurna.

Sejak kejadian itu, Mak terguncang. Mak diam seribu bahasa, tak menangis, tak bicara, tak makan dan tak mandi. Seminggu setelah kejadian, Mak sering bicara sendiri seakan-akan masih ada Kakek, Nenek dan Om Yusuf. 

***

Aku memarkirkan mobilku di pinggir jalan. Menarik napas panjang menenangkan pikiran. Mengingat kejadian itu membuat tubuhku lemas. Aku menandarkan kepalaku pada kursi mobil, memejamkan mata.

Aku membuka mata saat ada yang mengetuk kaca mobilku. Ah, ternyata aku tertidur. Aku menurunkan kaca dan tersenyum pada orang yang mengetuk kaca mobilku.

“Mas, nggak apa-apa?” Tanya lelaki separuh baya itu ramah.

“Nggak, Pak, saya baik-baik aja.” 

“Oh, saya perhatikan dari tadi mobil ini sudah parkir hampir tiga jam, saya kira Mas butuh pertolongan.” Katanya sambil tersenyum, wajahnya memancarkan kebaikan.

“Saya ketiduran, Pak.”

“Ooo, baik kalau begitu, Mas, rumah saya itu di seberang, kalau mau silahkan mampir.”

“Terima kasih, Pak, lain kali aja.” Aku menolak halus. Bagaimana bisa aku ketiduran dan Mak, ya Allah bagaimana dengan Mak?

“Baik, Pak, saya jalan dulu saya sedang mencari ibu saya.”

Bapak itu mengangguk dan menjauh sedikit dari mobilku. Aku mulai menjalankan mobil tapi wanita yang datang menghampiri lelaki itu memaksa kakiku menginjak Rem. Humaira, yah aku ingat dia Humaira.

“Kenapa, Pak?”

“Nggak kenapa-napa, Mey, Mas nya Cuma ketiduran.”

“Ooo,” bibirnya membulat.

Aku turun dari mobil, dan mendekati mereka berdua. Ada keterkejutan di mata gadis cantik ittu.

“Humairah kan?”

“Iya, Mas Satria?” Ulala, dia juga ingat namaku. GR boleh dong?

“Mau kemana, Mas?” Dia berbasa-basi, dan aku suka.

“Saya sebenarnya sedang mencari ibu saya, tapi malah ketiduran tadi.” Jawabku sambil tersenyum.

“Lho, kalian saling kenal tho?”

“Iya, Pak, Mey kenal sama Mas ini, waktu itu yang Mey ceritakan. Mas ini hampir nabrak, Mey.” Mukaku pasti memerah karena malu.

“Maafkan saya untuk hal itu, Mey.”

“Iya, nggak apa-apa, Mas.”

Tiba-tiba ponselku bergetar, aku mengeluarkannya dari saku celanaku, minta maaf sebentar pada Mey dan Bapaknya.

“Iya, Eis.”

“Bang, gimana? Udah ada kabar tentang Mak belum?” Suara Eis terdengar Khawatir.

“Belum, Eis, kamu udah nyari kemana aja?”

“Eis udah berkeliling-keliling komplek, Bang, tapi Mak nggak kelihatan.”

“Ya udah, kita cari lagi ya, kalau sampai magrib belum ketemu, Abang akan lapor polisi.” Aku mematikan telponnya.

“Maaf, itu adik saya, Pak.”

Kedua anak beranak itu manggut-manggut. Seandainya aku tidak sedang mencari Mak, tentu aku ingin sekali mampir di rumah mereka, seperti tawaran mereka.

“Saya pamit, Pak, Mey. Assalamualaikum.”

“Waalaykumussalam.” Jawab mereka serentak.

Aku berbalik dan berjalan menuju mobil, tapi telingaku mendengar pembicaraan mereka sepintas.

“Udah pesan taksi? Kasihan kalau keluarganya mencari.” Kata Bapak.

“Udah, Pak, tapi ibu itu kelihatannya kecapean, dia ketiduran sekarang.”

Seandainya aku sedang tidak mencari Mak, aku pasti akan menawarkan bantuan. Pelan aku pegang dadaku, aduhai, kenapa seperti ada gendang di dalam. Jantungku berdetak tak karuan.

***



Lama nggak muncul, terima kasih untuk admin yang baik, semoga sehat selalu.

Terima kasih untuk teman-teman yang sudah membaca, minta krisannya ya.

Sebelumnya dipart 1

1https://www.lenggokmedia.com/2021/01/cerbungibuku-gila-part-1.html?m=1



Posting Komentar untuk "Cerbung, "Ibuku Gila" Part 2"

Kami menerima Kiriman Tulisan dari pembaca, Kirim naskah ke email redaksi lenggokmedia@gmail.com dengan subjek sesuai nama rubrik atau Klik link https://wa.me/+6282388859812 untuk langsung terhubung ke Whatsapp Kami.