Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget Atas Posting

Kurangnya Praktik Di Alam Terbuka Pada Pengajaran Sastra Disekolah

LenggokMedia.com--Salah satu permasalahan yang kita temui hampir disetiap sekolah dengan berbagai alasan atau penyebabnya, diantaranya yaitu:

  1. Alokasi waktu untuk mata pelajaran bahasan Indonesia yang sedikit, sehingga jika siswa dibawa keluar ruangan materi akan terputus dan tidak selesai dan itu membuat target pembelajaran tidak tercapai
  2.  Guru tidak dapat mengendalikan siswa terutama ditingkat SD/SMP.
  3. Guru beralasan jika siswa dibawa ke luar ruangan akan mengakibatkan keributan dan mengangggu proses PBM kelas lainnya. Belum lagi jika kelas tersebut terkenal dengan tingkat kejahilannya, maka akan terjadi insiden kekacauan kecil disekolah tersebut.
  4. Guru yang tidak kreatif, hingga tidak mengetahui alasan mengapa anak-anak harus mengadakan praktek diluar kelas.
  5.  Sebagian guru tidak mengerti dengan manfaat membawa siswa keluar ruangan dan mengenali alam lingkungan mereka. Guru juga tidak tahu jika melalui pembelajaran di alam terbuka akan banyak membantu siswa untuk membuka imajinasi dan dapat menolong mereka dalam pembelajaran sastra di kelasnya.

Secara jujur harus diakui, pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di sebagian sekolah belum berlangsung seperti yang diharapkan. Guru cenderung menggunakan teknik pembelajaran yang bercorak teoretis dan hafalan sehingga kegiatan pembelajaran berlangsung kaku, monoton, dan membosankan. Mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia belum mampu melekat pada diri siswa sebagai sesuatu yang rasional, kognitif, emosional, dan afektif. Akibatnya, Bahasa dan Sastra Indonesia belum mampu menjadi mata pelajaran yang disenangi dan dirindukan oleh siswa. Imbas lebih jauh dari kondisi pembelajaran semacam itu adalah kegagalan siswa dalam mengembangkan pengetahuan, keterampilan berbahasa, serta sikap positif terhadap Bahasa dan Sastra Indonesia.

Dari permasalah kurangnya praktek di alam terbuka pada pengajaran sastra disekolah tersebut penulis mencoba memberikan solusi dengan metode sederhana yang disesuai dengan kondisi beberapa sekolah secara umum, yaitu :

  1. Guru harus ikut nyastra.

Guru nyastra berbeda dengan guru sastra. Ada ribuan guru sastra tetapi tidak semuanya sastrawan atau penulis sastra. Sebaliknya, ada kita temukan guru-guru non-sastra, tetapi mereka telah menelorkan banyak karya sastra. Seperti contoh, seorang guru matematika yang sudah menerbitkan sebuah buku, atau guru bahsa Indonesia itu sendiri sudah mengikuti komunitas sastra dan berkarya sebelumnya. Jika demikian, untuk praktek diluar kelas pada pembelajarna sastra dapat dikurangai atau bahkan bisa tidak dilakukan, karena siswa sudah mendapatkan contoh langsung dan belajar langsung melalui pengalaman dari sastrawan disekolah tersebut.   

Dengan semakin banyaknya guru yang nyastra maka kemungkinan besar perkembangan sastra di sekolah tersebut akan semakin baik. Sebab, guru bisa lebih intens dalam melakukan usaha menanamkan kecintaan generasi muda terhadap sastra. Sehingga, jika kita dapatkan satu saja guru nyastra di sebuah sekolah, program semacam Siswa Bertanya Sastrawan Menjawab dengan menghadikan sastrawan-sastrawan ke sekolah barangkali tidak perlu di perlukan lagi. 

Sebagaimana pernah disinggung Ahmad Tohari dalam kata pengantarnya di buku kumpulan cerpen Episode Daun-Daun Gugur (Kreativa, 2006), bahwa awal kelahiran sastra Indonesia modern didominasi oleh kalangan guru, terutama di Sumatra. Mereka menghasilkan karya satra baik prosa maupun puisi yang kini sudah menjadi karya klasik. Hal ini tidak mengherankan karena guru merupakan kelompok pertama di Indonesia yang bersentuhan dengan pendidikan modern dan berkenalan dengan sastra yang dibawa oleh kebudayaan barat. Setelah sumpah pemuda dan bahasa Melayu diterima menjadi bahasa persatuan Indonesia, bermunculanlah penulis-penulis (sastra) dari berbagai kalangan, baik Jurnalis, Mahasiswa, Dokter, maupaun Ibu Rumah Tangga. Sastrawan dari kalangan guru bukan tidak ada, tetapi jumlahnya yang sedikit menjadi suatu keprihatian tersendiri.

    2. Kemampuan kolaborasi.

Pengajaran sastra mencakup ketiga genre sastra, yakni prosa fiksi, puisi, dan drama. Dalam pengaplikasiannya, ketiganya disintesiskan dengan kegiatan menyimak dan membaca sebagai aktivitas reseptif siswa. Disintesiskan juga dengan kegiatan berbicara dan menulis bagi siswa, yang merupakan aktivitas produktif mereka. Hal itu berlangsung hingga pada tahap evaluasi.

Guru sebagai salah satu komponen utama dalam kegiatan belajar mengajar, hendaknya bersikap profesional di bidangnya begitu pula dalam pengajaran sastra. Selain menguasai pengetahuan tentang sastra, ia juga harus memiliki apresiasi dan keterampilan yang baik serta kecintaan terhadap karya sastra. Jika ia menghargai dan mempercayai pentingnya bidang yang ia tekuni maka ia akan “berdakwah” kepada siswa dengan rasa percaya diri (Sumarjo, 1995 : 39).

Seperti contoh, siswa dibekali dulu dengan pembelajaran sastra dan mempraktekkannya didalam kelas lalu saat pembelajaran Seni Budaya, guru sastra dan Bahasa Indonesia bisa mengabungkan praktek dengan pembelajaran drama dan seni tari kemudian menghasilkan sebuah pementasan drama kolosal atau seni musik dengan pembacaan puisi yang kemudian bisa menghasilkan karya musikalisasi puisi. Dan diakhir tahun dapat ditampilkan disekolah tersebut. Dengan demikian guru secara tidak langsung mampu mengajak siswanya untuk mengapresiasi karya sastra.

Rusyana (1979 : 12) dalam tulisannya mengatakan bahwa, apresiasi sastra sebagai pengenalan dan pemahaman yang tepat terhadap nilai sastra dan kegairahan kepadanya  sastra kenikmatan yang timbul sebagai akibat dari semua itu. Dalam hal mengapresiasi sastra sesorang mengalami (dari hasil sastra itu) pengalaman yang telah disusun oleh pengarangnya.

    3. Membagi kelompok sastra siswa. 

Membagi kelompok sastra siswa dalam satu kelas, merupakan salahsatu strategi yang penulis tawarkan kepada guru Bahasa Indonesia dan Sastra di sekolah. Contohnya jika satu kelas ada 30 siswa maka guru bisa membagi menjadi 3 kelompok, setiap kelompok yang terdiri dari 20 orang mendapat giliran setiap minggu dalam pembelajaran Sastra untuk keluar ruangan. Dan yang didalam kelas dibagi menjadi dua kelompok. Kelompok ke-2 diberi tugas menulis karya sastra dengan tema tertentu dan kelompok ketiga diberikan tugas membaca buku karya sastra yang disediakan.  

Walaupun ada banyak metode mengajar. Semua metode bagus, tetapi tidak semua yang bagus cocok dengan siapa yang mengajar dan siapa yang diajar. Bukan pengetahuan pengajar atau apa yang cocok dengan pengajar yang penting, tetapi apa yang akan menjadi pengetahuan yang diajar dan bagaimana membuat yang diajar jadi berpengetahuan, itulah yang menjadi prioritas dan agenda mutlak. Seorang guru sastra memiliki strategi masing-masing sesuai dengan medan dan kondisi orang-orang yang diajarnya.

Dapat disimpulkan bahwa apresiasi sastra adalah kegiatan untuk bergaul dan upaya memahami karya sastra,  sehingga akan menumbuhkan rasa nilai-nilai seni  yang terkandung dalam karya sastra sehingga dapat menimbulkan kepuasan batin bagi penciptanya. Dalm hal ini untuk dapat memahami penuh pengajaran sastra harus dilakukan praktek secara langsung, salahsatunya dengan cara membawa siswa untuk menikmati alam bebas, dan membiarkan imajinasi mereka membawa mereka secara alami pada alam.

  Kenyataan yang lebih memprihatinkan, sebagian besar guru bahasa dan sastra tidak menjadi contoh sebagai orang yang aktif membuat dan memublikasikan karya sastra di media massa, dalam buku sastra, dan media elektronik. kebanyakan pengajar hanya mengajarkan sastra sebatas teori dan hafalan, tidak menekankan pada apresiasi. Boleh jadi, itu disebabkan guru kurang memiliki kemampuan dan apresiasi di bidang sastra. Karena pengajarannya kurang menarik, siswa jadi tak tertarik.

Kini, saatnya guru bahasa dan sastra di sekolah mengatasi problematika pengajaran sastra seperti paparan di atas. Hal itu guna kemajuan sastra dalam jenjang pendidikan kita.

Penulis: Nuratika

Editor: Sarif Alamsyah

Posting Komentar untuk "Kurangnya Praktik Di Alam Terbuka Pada Pengajaran Sastra Disekolah"

Kami menerima Kiriman Tulisan dari pembaca, Kirim naskah ke email redaksi lenggokmedia@gmail.com dengan subjek sesuai nama rubrik atau Klik link https://wa.me/+6282388859812 untuk langsung terhubung ke Whatsapp Kami.