Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget Atas Posting

Cerpen. "GAHAM" Oleh : Refniyati

 "GAHAM"

Oleh : Refniyati


Rutinitas malam  berjalan seperti biasanya, dengungan nyamuk bersahut diselingi desir angin yang melankoli, tak luput suara jam dinding yang mulai parau karna tak hentinya bekerja, terdengar lirih.

Sesekali lolongan anjing samar terdengar di kejauhan kadang pula bersahut di jarak yang lebih dekat membuatku tercekat. Nenekku pernah bilang, anjing-anjing itu melolong panjang di malam hari karna ia melihat sosok hantu tinggi. Aku bergidik ngeri, lolongan itu seolah-olah mengiyakan perkataan nenek. Kudukku terasa panas. Pori-poriku terbuka menyerap hawa sekitar. Jantungku berdegup tak karuan, tidak biasanya perasaan begini menguasaiku. 

"Jangan takut Re, rubah betina yang liar tak boleh takut akan hal apapun," batinku.

Kutepis pikiran buruk itu secepatnya dengan mencari kesibukan, ya, aku ingat serial drama yang kutonton beberapa hari terakhir ini barangkali episode terbarunya  telah terbit, alih-alih membunuh waktu dan pereda untuk insomnia yang menyerang.

Aku merasa sangat lelah hari ini dibandingkan biasanya. Tubuhku terasa lemah, seperti ada yang menyedot energi dalam diriku. Langkahku letih, pikiranku berat perasaan tak karuan. Benar-benar capek.  Padahal hanya berdiam di rumah dan duduk di sofa berbaur dengan tetamu sejak tadi sore. 

Biasanya bekerja seharian dan berkegiatan dengan teman-teman komunitasku tak menimbulkan efek lelah seperti ini. Ah, entahlah.

"Aku akan menjagamu dengan baik."

"Apa lagi yang ditunggu."

"Sudahlah, terima saja."

Kata-kata itu silih berganti menjalari pikiranku, arghhhh. Aku tak bisa memutuskannya, aku harus bagaimana. Huffft,  masih ada waktu seminggu untuk berpikir. Aku menghela napas.

...

Teng, Teng. 

Jam dinding berdentang memporak-porandakan kesunyian malam. Dua kali dentangnya  menggema di  kamarku menandakan malam telah mencapai pukul dua, mataku sepicing pun belum bisa diajak rehat. Kuletakkan laptop di meja dan memaksakan mata agar terpejam. 

Seperti biasanya kuraih segelas air putih dan mereguknya.

Tiba-tiba, seseorang menarik lenganku kasar dan mendorong tubuhku hingga terpental. Aku meringis kesakitan. Sial, bisa-bisanya ada serangan saat kondisiku lemah begini.  Kulihat sekeliling, tak ada siapa-siapa di sana. Dengan tenaga yang tersisa aku bangkit.

Belum sempat berdiri penuh, sebuah hantaman mendarat di punggungku. Buggh.

Sakit luar biasa. Seolah belulang ku berceceran di lantai, aku terpelanting, buku-buku di mejaku pun berserakan. Untung saja jemariku tak kehilangan tenaga sehingga bisa menyambar laptop tepat waktu. Terlambat sedikit saja, sudah pasti balok-balok keyboard berhamburan. Hantaman itu tepat sasaran merubuhkan kekuatanku. Gelap, langit-langit kamarku berputar, tubuhku terasa mengambang. Semenit kemudian aku tak tau lagi apa yang terjadi. 

"Re, bangun, sudah pagi," suara ibu yang menjadi alarm setiap paginya mendarat di telingaku. "Apa cuaca begitu panas, sehingga kau tidur di lantai?" tanyanya lagi sambil menyingkap gorden dan jendela kamar.

Kukucek mata, kulihat sekitar. Kugerak-gerakkan bahu yang terasa begitu pegal, tubuhku masih utuh, tak ada belulang yang terlepas dan kepalaku terasa kembali normal. 

"Siapa yang memberesi kamarku, Bu?"

"Tak ada yang berantakan, lagipula siapa yang masuk ke kamarmu pagi-pagi buta selain ibu. Anak  gadis, masa ibu lagi yang membersihkan kamarmu," sungut ibu. 

Aku terheran, semalam buku-buku itu  berserakan di lantai dan laptopku nyaris terjatuh. Tapi pagi ini terlihat rapi di tempatnya.  Aku benar-benar mengingat dengan jelas kejadian tadi malam. Tanganku ditarik, di hantam,  lalu terpental ke lantai, ada serangan tak terduga.  Tapi kenapa tak ada bekas apa-apa pagi ini. Aneh.

"Tidak jadi ke rumah Sara?" Tanya ibu memecahkan lamunanku. 

"Aiya, Bu, aku siap-siap dulu." 

Hari ini aku telah janji menemani Sara untuk menyambut tamu di pernikahan kakaknya. Sara adalah temanku sejak SMA, meski empat tahun sudah terpisah beda kota tapi keakraban diantara kami tetap terjaga. 

"Ra, kamu ngerasa kita ini udah dewasa nggak sih?"

"Kadang-kadang. Ya, kadang juga masih merasa kita itu kayak masih anak SMA deh padahal udah berkepala dua begini," balas Sara diselingi tawa.

"Kadang ya ngeliat orang nikah, pengen nikah juga, giliran ada yang mengajak nikah  malah merasa nggak siap."

"Benar. Aku juga sering merasa gitu. Eh btw apa ada yang mengajakmu nikah, Re?" tanya sara.

Lalu akupun menceritakan kepada Sara kejadian kemarin sore di rumah, tentang Rengga. Laki-laki tiga puluh tahun itu datang kerumah bersama keluarganya. Ia melamarku, aku belum mengiya tidakkan, dan aku diberi tenggat waktu seminggu untuk memikirkannya. 

Sara terlihat melongo mendengar perkataanku. Reaksi yang serupa ketika aku menerima ultimatum itu. Kata lamaran yang awalnya terkesan biasa saja, seketika menjadi horor di telinga. Tapi lebih horor lagi pertanyaan-pertanyaan kapan nikah disetiap menghadiri acara pernikahan begini. Terutama di lingkungan kerabat sendiri. Semacam beban ataupun tuntutan, terasa berat menjadi dewasa.

Apa aku sudah siap, atau sebaliknya. Ah, entahlah.

...

Hari ini cukup melelahkan, seusai bedug doa menggema barulah aku tiba dirumah. Seharian menyambut tamu undangan. Keadaan rumah sepi, seperti biasa ibu pergi kerumah saudara yang jaraknya hanya beberapa rumah dari rumahku. 

Pletak.

Sebuah benda menimpa kepalaku ketika aku membuka pintu kamar. Aku meringis, selang beberapa saat, kakiku di tahan oleh jemari yang kuat.  Dingin  dan sangat erat, aku meronta, tapi nihil. Cengkraman nya semakin kuat, kondisi kamar yang gelap membuatku tak bisa melihatnya. Serupa kawat kokoh mencengkeram. Berlendir dan menggelikan. Semakin aku kuat meronta jemari itu semakin mengeratkan cengkraman. Hingga aku pasrah, dan pegangan nya mulai mengendor, lalu terlepas sama sekali. 

Napasku terengah-engah, sejenak kemudian seperti ada yang mendorong tubuhku begitu kuat. Ya Tuhan, ada apa ini, seolah-olah aku memerankan tokoh di film horor yang sempat kutonton. 

Mahkluk tak jelas itu tak hentinya menyerangku. Kubaca dua sampai tiga kali ayat kursi, berharap sosok itu pergi, tapi dia semakin membabi buta kearahku. Benda-benda di kamarku melayang semacam partikel yang kehilangan gravitasi dan menghantam ke arahku. Aku menangkisnya dengan kanvas lukis yang sempat kuraih. Alhasil, kanvasnya koyak dihantam benda-benda keras. 

Bukkk. Ketika aku lengah, sebuah benda mendarat di kepalaku cukup keras sehingga tubuhku terhuyung lalu tak sadarkan diri. 

Pagi sekali sebelum alarm ibu berdentang, mataku lebih dulu terkuak. Posisiku yang masih tersandar ke di sudut kamar kubenahi dan bergegas bangkit. Kulihat sekeliling, posisi kamar terlihat masih rapi seperti pagi kemarin sebelum aku ke rumah Sara. Aneh sekali, padahal kejadian tadi malam memporak-porandakan seisi kamar. Seperti malam kemarin.

Aku tak habis fikir kejadian makin tak masuk akal belakangan ini. Semacam teror, atau ilusi.

Memikirkan hal demikian membuatku semakin tak fokus, belum lagi tuntutan jawaban yang harus kuberikan saat keluarga Rengga nanti datang ke rumah. Apa aku harus menerima lamarannya atau sebaliknya, aku benar-benar dilema. Disatu sisi tuntutan usia juga mengarah kesana tapi sisi lain aku masih ingin menikmati 'kebebasan' ini.

Belum lagi kejadian-kejadian yang membingungkan itu, apa aku harus menceritakannya ke pada ibu atau kepada sara, ah tapi apa mereka akan mempercainya. Yang ada nanti mereka beranggapan halusinasiku yang terlalu menguasai diri. 

Aku diterpa kebingungan, serial faforit tak lagi menjadi hal yang menarik meski notifikasi update nya muncul di gawaiku. 

...

Malam ini seperti biasanya setelah capai seharian dengan segala rutinitas kembali ketempat favoritku, pikiranku awas, aku membaca gelagat malam, akan apa yang terjadi nanti. Beberapa belakangan ini hawa kamarku terasa lebih panas padahal dilengkapi dengan pendingin ruangan, dan ini terjadi hanya di malam hari. Jikalau siang mungkin wajar saja karna cuaca memang kemarau saat ini. Apa benar ada sosok yang mengusikku belakangan ini, atau memang benar halusinasiku yang berlebihan. Untuk menjawab itu semua, aku mengambil langkah hati-hati menyelidiki semuanya, siang tadi ruanganku kupasangi kamera  dan dilengkapi senjata yang bisa kugunakan jika seolah-olah makhluk itu menyerangku.

Tepat pukul  sembilan, aku masuk ke kamar dengan penuh kehati-hatian. Kamera yang telah kuaktifkan sejak tadi siang sepertinya anteng di posisinya. Kuraih laptop di tas dan meletaknya di atas meja seperti biasanaya. Lamat-lamat kubaca situasi sembari jemariku mengeser touchpad laptop dan sudut mataku liar mencari sesuatu.

Tiba-tiba, sosok itu mencengkram kakiku, lampu kamar mati dan otomatis berganti ke lampu emergency  yang sudah kuatur tadi siang. Aku lengah tak sempat kulihat tangan yang mencengkram kaki, karna pikirku tertuju pada kekhawatiran akan lampu cadangan.

Keluar kau!" ucapku memberanikan diri.

Terdengar seperti desisan kuat dan tajam membuat tekanan udara menumpuk di telingaku. Sontak tanganku menutup kedua telinga. 

Hawa panas terasa semakin mendekatiku, tubuhku sigap instingku mengatakan sosok itu akan menyerangku. 

Aku tidak bisa mengenali dia akan datang dari sisi yang mana, tapi aku memilih untuk melakukan tangkisan serangan.

Ketika desisan terdengar semakin lantang, aku menunduk, berhasil. Hantaman itu yang seharusnya telak di wajah, dapat kutepis. Sosok itu mengeram geram, giginya gemeratuk seolah-olah hendak mengunyahku tanpa ampun.

Sepertinya makhluk itu akan melakukan penyerangan berikutnya, ia tak akan membiarkanku lolos. Benar saja, ia menabrabku kuat sekali, aku terpental. Kuraih besi di sudut lemari yang sengaja kuletakkan tadi siang dan mengayunkannya tanpa ampun. Meski tak terlihat, aku bisa merasakan kehadirannya.

"Kau ingin bertarung dengan Rubah betina yang liar, heh? Ciaaaattt." 

Aku hilang kendal,i membabi buta ke arahnya, besi di tangan mengayun membentuk lingkaran penuh.

Pletak. Sosok itu terkena hantaman besi dan terpental. 

Wujud aslinya terpampang jelas di hadapanku. Rambutnya panjang selantai, sebelah bola matanya mencuat keluar, sebelahnya lagi kosong sehingga memperlihatan rongga mukanya hancur,  berdarah dan dipenuhi nanah. Nyaris aku muntah melihatnya. 

Takkan  kubiarkan kau merebutnya dariku, ucapnya. 

Setelah ia membuka mulut dan bicara, bau amis pun menyeruak memenuhi ruangan. Ditambah lagi darah dan nanah mengalir di sudut bibirnya. Aku benar-benar tidak tahan, Membuat seisi perutku di kocok mual, seketika  pandanganku berkunang-kunang kepalaku berat. Aroma itu melumpuhkan pertahanan, aku tumbang.

Keesokan harinya aku terbangun agak lama dari biasanya, ibu yang membangunkanku pagi-pagi belum kembali dari rumah  saudara, ibu menginap di sana. Aku bergegas mengecek kamera pengintai yang kupasang, akan mengetahui kejadian yang sebenarnya dan ternyata, 

"Ya Tuhan, apa ini?

...



Editor: Nur Atika





Posting Komentar untuk "Cerpen. "GAHAM" Oleh : Refniyati"

Kami menerima Kiriman Tulisan dari pembaca, Kirim naskah ke email redaksi lenggokmedia@gmail.com dengan subjek sesuai nama rubrik atau Klik link https://wa.me/+6282388859812 untuk langsung terhubung ke Whatsapp Kami.