Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget Atas Posting

Cerpen, "Ter-usir" Oleh Fahri Siregar

 "TER-USIR"

       Ilustrasi. (Foto: Dok/Pixabay)


Cahaya matahari yang masuk dari ventilasi udara menandakan hari telah pagi. Di hembusan nafas aku merasakan cinta, di setiap detak jantung aku juga merasakan apa yang seharusnya terjadi. Ini merupakan kenikmatan yang diberikan oleh Tuhan kepadaku. Aku berharap di awal pagi ini semua akan terjadi seperti angin yang selalu aku mimpikan dan ucappannya yang tidak luput dari benak hatiku. Sambil bersiap-siap untuk pergi ke kampus aku selalu mengkhayalkan dan memandangi foto dia. Ya Dia, nama yang sangat indah membuat semua orang jatuh cinta kepadanya termasuk juga aku. Aku merasa tak sabar lagi ingin melihat senyumannya yang begitu manis, bak bunga mawar begitu indah dihiasi oleh mentari. Setibanya di kampus, aku mencoba tegar dan membuang rasa ragu karena keyakinan ini berfikir apa yang terjadi setelah ini. “Aku ingin menemuimu di pagi sabtu ini untuk mengutarakan isi hatiku kepadamu.”duduk bercerita sambil menatap wajahnya menguatkan bahagianya nanti bila tersembahkan. 

Tapi aku melihat dia tidak seperti dulu aku kenal, canda tawa senyuman itu hilang digantikan oleh kemurungan yang membuat seolah-olah aku bersalah. “Bicaramu sudah membuat telingaku berisi, lebih baik kamu diam dan jangan pernah bicara kepadaku lagi.” Aku terpaku sambil tercengang melihat kata-kata itu keluar dari mulutnya, sudah tiga bulan lamanya kami merajut cinta dan harapan. Bersumpah untuk selalu tersenyum dan bahagia bersama sambil berkata berjanji dalam satu hati. Tapi, kata sumpah itu tidak bermakna lagi setelah aku mendengar kata-kata yang menyayat hati dan ditinggal tanpa ada sebab. Aku penasaran mengapa dia seperti itu, maka aku langkahkan kakiku mengejar dia sambil menarik tangannya agar dia tidak pergi dan berharap ada kejelasan darinya.

 “Dia, mengapa kamu seperti ini kepadaku? Jika seandainya aku bersalah kepadamu tolong katakan kepadaku supaya aku merobah kesalahan itu.”

“Kamu tidak ada salah kepadaku, tolong kali ini saja kamu jangan ganggu aku. Aku ingin sendiri dan tidak mau diganggu oleh siapapun” jawabnya sambil melepaskan tanganku darinya.

Dari penjelasan yang disampaikannya, aku memaklumi kehendak yang disampaikannya kepadaku. Detik berganti menit dan tak dipungkiri jam pun berganti angka. Mataharai yang berarak meninggalkan timur walau tak terasa siang pun berganti malam. Susana yang bertepatan pada malam minggu sungguh indah sekali, ditaburi oleh bintang dan rembulan yang menyinari bumi membuat aku teringat kenangan yang dulu indah pada malam minggu. Duduk berdua bersama dengannya dalam satu meja di caffee, sungguh ini menggugah hati. Tapi pada kesempatan kali ini aku tidak bisa memaksa dia untuk pergi, biarlah malam ini dia menenangkan hati sehingga besok dia bisa bahagia kembali. Aku pun pergi tanpa dia, membeli secangkir kopi di tempat biasa kami selalu ngumpul berdua. Setibanya sampai, secara tak sengaja aku melihat dia duduk di dekat pintu masuk. Hancur, teriris dan sakit itulah yang aku rasakan pada saat aku melihat dia duduk dengan orang lain. Aku tidak dapat melihat saat orang itu mencubit pipinya, seolah-olah mereka sudah mempunyai hubungan. Lalu aku memutar balikkan badanku sambil menunduk dan berharap mereka tidak melihatku. Tapi takdir bertolak belakang dengan harapanku, Dia melihat aku pergi dan berusaha memanggil sambil mengejarku.

 “Aku bisa jelasin semuanya ini kepada kamu, sebelumnya aku meminta maaf.”

“Tidak ada yang perlu dijelaskan, semuanya sudah jelas. Seorang pemuda berusaha mengejar cintanya walaupun ia rela merasakan asam pahitnya kehidupan demi orang yang dia cintai. Sudah pupus harapanku terhadapmu, bubur tak bisa lagi menjadi nasi. Terkoyak hati ini melihat kau dengan dia sambil bercinta.”

“Tapi itu tidak seperti...”

“Seperti sumpahmu yang telah kau ucapkan dulu kepadaku, selalu bersama itu yang kau ucapkan kepadaku. Sudahlah Dia kau tak perlu bersedih di hadapanku tetap bahagia meski aku tidak ada.”

Akupun pergi meninggalkan Dia sambil mencari tempat yang sunyi untuk menengakan hati ini. Air mata tak dapat lagi aku bendung, di tepi trotoar jalan aku tidak bisa berkata kecuali menangisi yang telah terjadi pada malam minggu ini. Takdir sudah tidak dapat dirobah lagi, pemuda yang malang dalam bercinta akhirnya menangisi dirinya sendiri.

...


Penulis : Fahri Siregar



Posting Komentar untuk "Cerpen, "Ter-usir" Oleh Fahri Siregar"

Kami menerima Kiriman Tulisan dari pembaca, Kirim naskah ke email redaksi lenggokmedia@gmail.com dengan subjek sesuai nama rubrik atau Klik link https://wa.me/+6282388859812 untuk langsung terhubung ke Whatsapp Kami.