Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget Atas Posting

Cerpen "N A R O S A" oleh Refniyati

 *N A R O S A*

Oleh : Refniyati     


Aku menatap hamparan jerami di hadapanku, di sekelilingnya pula bukit menjulang kokoh di balut awan tipis. Angin mengibas perlahan meliukkan dahan-dahan kelapa yang memantul di permukaan waduk yang luasnya kira-kira empat kali enam meter yang bersebelahan dengan parit, di dalamnya mengalir air dari kaki bukit kokoh itu. Kuhela napas dalam-dalam membiarkan angin menampar pipiku. Mataku mengikuti awan yang dibawa angin perlahan. 

"Kau yakin meninggalkan ini semua, Nur?" sebuah bisikan di telinga kiriku.

Aku mulai dilanda keraguan.

 "Sukses itu butuh pengorbanan, dan kau harus lebih berani," disisi lain bisikan menghujam telingaku. 

Membuatku kembali yakin akan keputusan ini.

 "Sulit menemukan kedamaian diluar sana, kau tau dunia tak seramah bukit vila yang kau tatap setiap harinya." bisikan itu seolah memberi peringatan.

 "Kau harus berani, jika tidak, apa bedanya sama katak yang ada di danau itu, riuh tapi tak diacuhkan," sisi lain menimpali.

"Huh, diam. Jangan berdebat," sergahku.

Aku menutup kedua telinga, lalu meraih _kotindang_ yang kuletakkan di samping rumah sikek dan bergegas menuju rimbunan jerami. Mencari jamur. Sepertinya hujan semalam membuat jamur itu berseliweran. Alih-alih melupakan sebentar bisikan keraguan itu. 

"Banyak Nur?" seseorang menjohu di seberang jalan.

"Lumayan, Tek," balasku seraya mengacungkan jerami yang di hinggapi jamur yang serupa cotton Bud itu.

Sudah seminggu aku memikirkan untuk meninggalkan kampung halaman ini, ingin mencoba mengadu nasib di rantau orang. dan meraih impian yang kudambakan. Melanjutkan ke tingkat SLTA dan seterusnya.

Tak bisa berbuat banyak di kampung. Bukan tidak ingin melakukan pekerjaan yang hari-harinya yang dilakukan orang tuaku, hanya saja dengan bantuan ku tak juga menambah penghasilan. Hanya ada kebun karet yang luasnya tak seberapa, disitulah keperluan rumah semuanya. Apalagi sekarang harganya yang memprihatinkan, mau tidak mau ayah menggeluti segala pekerjaan untuk menghidupi keluarga, entah itu mencari kayu di tengah rimba, mencari rotan lalu menjualnya atau menjadi buruh  kecil-kecilan pembangunan infrastruktur di desa yang upahnya hanya cukup untuk keperluan sehari-hari. Itupun karna dicukup-cukupi. 

Begitu juga ibu yang hari-harinya bekerja di ladang orang lain. Jangankan untuk keperluan sekolah, biaya sehari-hari saja keluarga kami  susah. 

Masih syukur orang tuaku sanggup membiayai sekolah hingga lulus SLTP. Banyak diantara mereka tak sekolah sama sekali, faktor ekonomi atau faktor lainnya. Suhar misalnya, tetanggaku. Bukan kekurangan biaya melainkan tak punya minat untuk sekolah. Ia lebih giat bekerja bersama ayahnya. 

Ayahnya bilang "untuk apa bersekolah, mau jadi apa, presiden, guru, dokter? semua sudah ada, lakukan saja pekerjaan yang telah diemban keluarga, lagipula kebun karet dan tanah kita luas."

Padahal sewaktu-waktu itu akan habis jika tidak dikelola dengan baik, tentunya tak hanya mengandalkan tenaga tapi pikiran juga.

 Untungnya ayahku tidak berpikir sedangkal itu, ayah memberiku kesempatan untuk mematangkan pilihan, walau biaya menjadi hambatan, ia selalu mendukungku dalam menuntut ilmu. Pergi ke kota, salah satunya.

Hanya saja ibu yang masih ragu-ragu, menimbang gadis kecilnya akan bertarung di kehidupan luar yang tak pernah ia lihat.

Di kampung hanya ada SD dan SLTP,  untuk tingkat SLTA adanya di kota kecamatan yang jaraknya cukup jauh dari kampungku. Terlebih lagi akses jalan yang terbilang tak begitu mulus. Dengan begitu, tentunya harus tinggal di sana dan itu memakan biaya yang besar. Tapi aku ingin sekali melanjutkan pendidikan, mencapai cita-citaku.  Apalagi ajakan Pak Darman waktu itu, yang memberi peluang atas kenihilan harapanku.

"Ha, banyak tu,"" ucap seseorang yang melewati jalan, hendak kembali ke kampung. Sepertinya baru dari ladang.

Aku tersenyum membalasnya. 

Jemariku lihai memilah-milah jerami dan memunguti jamur lalu memasukkannya, nyaris penuh kotindang yang kubawa. 

Matahari membentuk sudut sembilan puluh derajat, peluhku mulai berkucuran, tenggorokan semakin kerontang. Orang-orang mulai kembali dari ladang dan sawah masing-masing. Di mesjid lantunan ayat suci Al-Qur'an terdengar lantang, menandakan sebentar lagi azan Zuhur berkumandang. 

Biasanya orang-orang  bekerja seharian penuh, tapi berhubung saat ini bulan puasa pekerjaan diselesaikan setengah hari saja. 

Setelah puas membolak-balikkan rimbunan jerami, aku pun bergabung dengan rombongan yang baru selesai menugal kacang di ladang yang tak jauh dari tempatku panen jamur.

"Lanjut sekolah mana?" tanya pak Undin salah seorang dari rombongan penugal. 

"Belum tau, Pak."

"Kau itu pintar Nur, sayang sekali jika tak lanjut."

"SMA butuh biaya besar, Pak," ucapku menyela.

"Iya juga, tapi katanya ada beasiswa. Kau bisa tu mendapatkan nya, yakin dan coba aja dulu," ucap pak Undin menyemangati. 

Aku manggut-manggut. Langkah kami dipercepat karna azan Zuhur telah menggema. Ada lima orang dalam rombongan termasuk aku, masing-masing menenteng kotindang dan beberapa memikul kayu bakar. Dua diantara mereka menamatkan SLTP tahun lalu. Suti dan Ikal. 

Jika aku tidak lanjut SLTA, pastinya bakal menjalani keadaan serupa dengan mereka. Bekerja di ladang, atau ikut ayah mencari kayu ke dalam rimba. Atau juga menyiangi di sawah milik orang lain, yang dilakukan kebanyakan gadis remaja seusiaku. Pernah beberapa kali melakukannya, mengganti ibu karna tidak sempat. Rasanya sangat melelahkan.

Apalagi ibu yang melakukannya setiap hari, betapa capeknya. 

Aku ingin mengubah nasib keluarga kami. 

"Nanti bapak cari tahu infonya," ucap pak Undin lagi saat kami terpisah di persimpangan. 

Aku mengangguk tersenyum, ada kebahagiaan terbersit. Aku berharap benar-benar bisa melanjutkan ke tingkat SLTA. Ya, aku akan ke kota.

Setibanya di rumah,  kuletakkan jamur di dalam baskom besar. Rumah sepi tak ada siapa-siapa, sepertinya ayah belum kembali kotindangnya belum terlihat di tempat biasa. Ibu sepertinya pergi mandi di sungai yang tak jauh dari rumah,  Rusman entah dimana, paling-paling bermain dengan anak tetangga. 

Kubenahi jamur-jamur itu, dan mencucinya lalu membagi menjadi beberapa onggokan. Sepuluh banyaknya dan aku memasukkannya ke plastik agar nanti bisa dijual di pasar, hitung-hitung laku dua puluh ribu. Lumyan untuk membeli gula dan garam serta minyak goreng. 

Tak lupa kusisihkan untuk dimasak ibu, aku tak sabar ingin mencicipi pindang jamur yang pedas dan lezat itu. Membayangkannya nyaris membuat puasaku batal. Masakan ibuku begitu lezat, tak kalah dengan masakan juru masak yang kulihat di TV. Jika aku mampu membeli bahan-bahan seperti yang ada di TV, tentu ibuku juga bisa menyulapnya menjadi masakan yang luar biasa lezat. Ah lezatnya.

"Melamun aja," suara ibu membuyarkan khayalanku akan makanan lezat. Aku menelan liur, suara ibu menyadarkanku dalam halu yang berlarut-larut.

"Lihat Mak," ucapku seraya memperlihatkan jamur yang telah dibungkus pastik. Ibuku tersenyum, "Ada di tinggal untuk masak nanti?" 

Aku mengangguk. "Masak seperti biasa ya Mak!" balasku.

 Lalu bergegas meraih handuk dan ember hendak mandi ke sungai. Cuaca cukup terik membuat tubuhku kepanasan, berendam di sungai nanti bisa membuat segar kembali. 

Setelah sholat Zuhur, aku menenteng jamur-jamur itu ke pasar. Berhubung hari ini bukan hari Sabtu jadi tak begitu ramai, aku hanya menitipkan di kedai milik Tuk Sam, saudara ibu. Disana tuk Sam juga menjual keperluan lainnya. Ibuku pernah beberapa kali menitipkan dagangan di tempatnya. Jika terjual nanti, bisa dibelikan garam atau lainnya. 

"Wah wah, ada toke datang," canda Tuk Sam yang sudah tau gelagatku.

Aku tersenyum, "Ini Tuk, semuanya sepuluh bungkus."

Ia pun membuka salah satu plastik dan mengangguk, "berapaan?"

"Dua ribu saja, Tuk. Oiya ini dua Tuk," ucapku seraya meraih dua bungkus penyedap makanan lalu meletakkan sekeping uang logam.

 Pindang jamur akan lebih lezat jika dibubuhi resep ini, pikirku. 

Orang-orang tampak lalu lalang, entah itu membeli keperluan masak, atau sekedar duduk-duduk di rumah tetangga. Jarang sekali seperti ini, karna umumnya penduduk bekerja di ladang seharian. Inilah yang membahagiakan di bulan puasa, kampung kecil kamj terlihat ramai terlebih lagi hari raya. Pasti juga banyak perantau yang kembali ke kampung halamannya. Tak sabar ingin cepat raya.

"Tadi ngambil jamur, Nur?" tanya salah seorang  ibu-ibu yang duduk di bawah pokok manggis itu.

"Oh iya Tek, dititip di kedai Tuk Sam," balasku.

"Sudah lama tak makan jamur padi, aku ingin sekali nanti bisa di pais atau di gulai dengan ikan salai," balasnya lagi.


"Yes, calon pembeli," batinku.

Aku mempercepat langkah, mengingat ibu yang pastinya akan memasak. Akan ku serahkan serbuk ajaib ini. Pindang jamur dan goreng ikan pantau hasil lukah tadi pagi. 


Betapa lezatnya. Aku kembali berkhayal, cepat kutepis, membuat pahala puasaku rusak saja. Kemudian aku bergegas ke atas pematang yang tak jauh dari rumah, dengan membawa buku di tangan, buku baru, aromanya masih wangi pemberian Bu guru Riska, katanya THR untukku. Walau hari raya masih dua pekan lagi.


...




Posting Komentar untuk "Cerpen "N A R O S A" oleh Refniyati"

Kami menerima Kiriman Tulisan dari pembaca, Kirim naskah ke email redaksi lenggokmedia@gmail.com dengan subjek sesuai nama rubrik atau Klik link https://wa.me/+6282388859812 untuk langsung terhubung ke Whatsapp Kami.