Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget Atas Posting

Ke Kamboja di Zaman Asap

 Travel ke Kamboja ditengah Bencana Asap

Part 5


Tiket seharga $ 13 dari Phnom Pehn – Ho Chi Minh sudah berada ditanganku.  Setelah jam keberangkatan aku segera naik bus.  Namun sepertinya bus ini bukan bus VIP jadi mereka juga membawa banyak barang, tempat duduk juga terserah duduk dimana aja, aku duduk agak di belakang karena bagian depan sudah penuh, tak ada yang berani duduk di dekat ku, semua penumpang memilih duduk dibangku belakang sampai seorang Bapak-bapak muncul dengan seorang anak laki-laki berumur sekitar 7 tahun.  Melihat aku mengenakan hijab dia tahu betul kalau aku bukan orang Kamboja ataupun orang Vietnam.


 Setelah agak lama dia berdiri clingak-clinguk memperhatikan kursi yang kosong.  Karena memang kursi kosong satu-satunya yang tersisa adalah disampingku.  Akhirnya aku yang angkat bicara duluan “Have a sit” ucapku mempersilahkan  beliau duduk. Lalu dia tersenyum dan mendahulukan anak-anak laki-lakinya duduk dahulu didekat ku.  


Oh ternyata saudara-saudara, Allah memang segaja memilih beliau duduk di dekatku karena dialah satu-satunya yang fasih berbahasa Inggris di dalam bus itu.  Kernet bus memang bisa Bahasa Inggris tapi macet-macet hehehe. 


Setelah berkenalan dengan beliau,  ternyata beliau merupakan salah seorang dosen di University Tegnology of Cambodia. Perjalanan beliau bukan Ke Vietnam tapi hampir berbatasan dengan Vietnam, beliau hendak ke rumah orang tunyanya. Akhirnya perjalanan terasa ringan berkat kehadiran beliau. Sepanjang perjalanan kami bercerita panjang lebar tentang masa kuliahnya di Rusia hingga menjadi Dosen.  Akhir cerita, dia mengundang ku untuk hadir dalam acara seminar English program di Universitas tempatnya mengajar tahun depan.  Kebetulan dia adalah salah satu panitianya.  


Diperjalanan bus berhenti di sebuah toko oleh-oleh dan yang membuat aku kebingungan, aku mau beli oleh-oleh buat siapa?  Lagian oleh-oleh yang disediakan disini menurutku cukup aneh, karena mereka menyediakan daging kering dalam berbagai ukuran dan yang mengherankan, banyak penumpang yang membelinya, aku hanya membeli buah mangga dan buah jeruk. 


(Gambar : Daging kering untuk oleh -oleh)



*****. 

Tiba di sungai Mekong, bus harus naik tongkang untuk menyeberang, itu sejarah masa dulu.  

Namun saat ini sudah tidak dapat menikmati situasi seperti itu, karena jembatan beton yang melintasi sungai Mekong, sudah menjadi jembatan yang dapat dilewati kendaraan.  Jembatan itu cukup megah.  


Semakin ke pelosok perbatasan negara Kamboja ini semakin terlihat tak terurus, terlihat dari jalanan yang bukan lagi berbetuk aspal, namun akan bercampur lumpur bila turun hujan. Tak berapa lama bus kami berhenti, Tival bersama anaknya segera turun,  setelah berpamitan padaku dan mengingatkan ku untuk hadir tahun depan di kampus nya.

(Gambar : jalan lintas perbatasan Kamboja – Ho Chi Minh)


Tragedi Imigrasi 


Mendekati perbatasan, sang kernet mulai meminta paspor kepada setiap penumpang.  Karena aku warga negara Indonesia tentu saja untuk masuk ke Vietnam tidak butuh visa.

Perbatasan itu di sebut kota Bavet, Bavet adalah kota perbatasan antara negara Kamboja dan Vietnam, dan kota Bavet sendiri masih termasuk kawasan Kamboja.


Sampai di ruang imigrasi, semua penumpang turun dan banyak orang-orang yang menanti diruang itu sampai paspor mereka di cap petugas.  Sang kernet meletakkan semua tumpukan paspor kami di atas meja petugas yang dibatasi dinding kaca.  


Aku berdiri disamping kernet, sesekali tersenyum kearahnya.  Matanya awas kearah meja pegawai, namun ketika ada paspor lain yang masuk, dia mendahulukan paspor itu.  Aku segera memandang kearah kernet “why?” Ucapku sambil memonyongkan bibir kearah pegawai yang sibuk mencap setiap paspor yang masuk.  Sifat protes ku kambuh.  “I don’t know” balasnya sambil mengangkat bahu.  


Aku kembali memperhatikan pegawai imigrasi itu, Aku mengerti sekarang mengapa dia mendahulukan orang itu, ternyata karena mereka hanya dua orang.  Sedangkan tumpukan paspor kami satu bus.  Tak lama kemudian dia mencap paspor kami.  Setelah selesai secara rombongan kami sudah menaiki mobil kembali.  


Aku mengambil foto namun karena hari sudah malam, foto nya kabur dan tidak jelas, akhirnya foto itu aku hapus. 


Nah, tak sampai 15 Menit di dalam bus, penumpang dipersilahkan lagi untuk keluar, karena akan memasuki kantor imigrasi Vietnam.  Terletak kota Moc Bai, kota perbatasan Vietnam. Moc Bai Border dan Bavet Border tak seberapa jauh. 


Selanjutnya penumpang digiring ke ruang Custom, sang kernet yang masih muda itu mengurusi kami dengan telaten, bagasi dan tas masuk X-Ray, paspor diperiksa lagi untuk diyakinkan sudah ada stempel "Arrival" 


Saat keluar dari kantor imigrasi ternyata bus sudah parkir tak jauh dari kantor tersebut. 


Perjalanan selanjutnya terlihat berbeda, karena sebelumnya melintasi areal kumuh, namun setelah memasuki kawasan Vietnam, penampakan sisi jalan telah berubah menjadi modern.  Sisi kiri kanan jalan dihiasi lampu warna-warni. 


Alhamdulillah aku tiba di Vietnam dengan selamat.


 Tamat



Penulis : Arnita Adam

Editor : Nur atika





Posting Komentar untuk "Ke Kamboja di Zaman Asap"

Kami menerima Kiriman Tulisan dari pembaca, Kirim naskah ke email redaksi lenggokmedia@gmail.com dengan subjek sesuai nama rubrik atau Klik link https://wa.me/+6282388859812 untuk langsung terhubung ke Whatsapp Kami.