Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget Atas Posting

Cerpen. "Prahara" oleh Refniyati

 PRAHARA

Refniyati

(foto by pinterest)


Di sudut ruangan yang bertembok putih sekeliling, dengan pintu berpagar besi. Di dalamnya orang-orang penuh penyesalan tampak merutuki malang. Muka yang berjambang, kepala botak, atau tangan kaki penuh luka.


Di sanalah burhan menjadi satu diantara mereka, ia duduk di pojokan mendekap kedua kakinya. Tak ada lagi istrinya yang mengerang kesakitan atau suara anaknya yang merengek minta uang jajan melainkan suara orokan panjang, atau cacian juga doa-doa tulus.


“Kau ini apa?” tanya seseorang dengan tubuh yang paling besar diantara lainnya, serta muka berjambang dan tak memakai baju. 


Burhan menodongak, lalu menatapnya sekilas kemudian kembali membenamkan wajah di dekapannya. Sejak tiba kemarin siang, Burhan lebih banyak diam, penyesalan yang melilit pikirannnya. 


“Kau ini pekak atau bisu, Heh?” suara pria berjambang itu semakin meninggi, ia pun berkacak pinggang.


Burhan mengernyitkan dahi tak mengerti.


“Aku telah membunuh tujuh orang selama beberapa tahun terakhir ini,” ucapnya lantang.

Burhan tampak menelan ludah, tercekat mendengar pengakuan pria itu. Ia menatap sekeliling. Ia baru memahami pertanyaan laki-laki itu.


“Saya penipu, korban penipu,” ucap burhan.

Pria berjambang itu tertawa lepas sekaligus tampak kesal.  kejahatan yang paling menyakitakan ialah ditipu sebagiaman yang pernah ia alami sehingga ia harus mendekam di jeruji ini. Ia ditipu oleh temannya sendiri agar masuk ke dalam perangkap yang telah disiasati polisi. Sial.


Burhan terdiam lagi-lagi ia teringat akan keluarganya, jika ia tak mendengar ucapan orang lain tentu ia takkan bernasib sperti ini.


Begitulah hidup, penyesalan selalu diakhir. Jika tidak,  setiap langkah kita tahu akan apa yang terjadi tentu bisa memilah semua ini. Terlambat.


***



“Kau mau ikut atau tidak?” suara Samin membuyarkan lamunannya.


 Akhir-akhir ini burhan lebih banyak menghabiskan harinya dengan berdiam diri. Prahara peliknya ekonomi membuat ia kehabisan akal. Pekerjaan demi pekerjaan telah ia lakukan, entah itu jadi kuli angkut, menebas ladang milik orang lain, mencari pasir dan pekerjaan kasar lainnya. Tapi tetap saja tak menutup uang belanja keluarga sehingga ia acap kali mengemis hutang di sana-sini. 


"Kau hanya perlu menjaga lilin, soal yang lainnya sudah saya atur," tukas Samin.


"Tapi kalau ketahuan gimana?"

 

"Sudah, kau mau ikut atau tidak?" lagi-lagi Samin menegaskan.


Burhan terdiam, biar bagaimanapun ia butuh biaya untuk menghidupi keluarganya. Istrinya sering sakit-sakitan sedangkan biaya sekolah anaknya sudah menunggak beberapa bulan.


"Baiklah, Sam, aku ikut."

Samin tersenyum menang, ia jadi punya kawan yang bisa diajak bekerja sama.


Ini adalah malam pertama menjalankan pekerjaan barunya bagi Burhan, titis hujan yang melankoli seakan-akan menggoyahkan tekadnya, namun erangan kesakitan begitu memuakkan sehingga ia telah siap akan apa yang terjadi nanti. 


"Bang, pinjamlah uang ke rumah Samin, aku sudah tak tahan. Uhuk, uhuukkk."


"Baiklah aku akan ke sana, kau dirumah saja, jaga diri aku akan bekerja malam ini," balas Burhan seraya berpamitan. 


Samin adalah orang kepercayaan masyarakat, selain rajin ke mesjid dia juga kerap diundang dari kampung ke kampung untuk mendoakan hajatan. Juga kerap memberikan pertolongan kepada warga yang membutuhkan uang, tepatnya pinjaman. Tapi diluar semua itu, tanpa diketahui masyarakat ia adalah pawang ngepet. Dua Minggu lalu tanpa sepengetahuan siapapun ia membeli babi via online, demi melancarkan rencana yang telah ia taja sejak lama. Babi itu di packing sedemikian rupa agar tak menimbulkan kecurigaan. 

Burhan saja kaget mendengar pengakuan Samin waktu itu kepadanya. Uang bisa menggelapkan siapa saja. 


"Kau hanya perlu menjaga lilin, biarkan babi itu berkeliaran, dan anak buah saya yang akan masuk ke rumah warga. Selanjutnya saya yang akan bersaksi bahwasanya telah melihat babi ngepet berkeliaran di kampung kita. Selain uang hasil curian dari rumah warga, saya akan di undang di acara berdoa mengusir babi itu dan mendapatkan uang bonus, kau akan memperoleh setengahnya," jelas Samin.


"Mengapa kita mengorbankan warga, mengambil uang mereka?"


"Pemerintah saja seenaknya makan uang rakyat, kenapa kita enggak bisa. Jangan bicara moral dah, semua sama bejatnya, yang membedakan di caranya aja."

"Tapi mengapa kita memakai cara yang tak terdidik begini,"


"Kau lihat orang-orang yang korupsi, yang memakai uang rakyat. Kurang terdidik apa mereka, gelar dan pangkat sekian banyaknya tapi tetap saja mengambil uang yang bukan seharusnya milik mereka. Siapa yang bisa  disalahkan?"


Burhan akhirnya pasrah dengan keadaan, dan mengikuti apa yang diperintahkan Samin. Menjaga lilin di sebuah rumah kosong milik Samin. 


Malang tak dapat dielak, ketika Burhan tengah fokus dengan pekerjaannya malam itu, tiba-tiba sekelompok warga datang. Rumah kosong itu diluluh lantakkan warga, karena amarahnya. Mendapati perlakuan yang sama sekali tak terpuji itu, lilin yang menyala dan onggokan uang maupun emas tertera di sana.  Hilangnya uang masyarakat selama ini ialah ulah babi ngepet yang di dalangi oleh Burhan. 


Beruntung Burhan di larikan ke kantor polisi terdekat, jika tidak, riwayatnya akan padam seperti lilin yang ia jaga sebelumnya, diamuk masa. 

Burhan tak menyangka, ia termakan jebakan Samin.




Posting Komentar untuk "Cerpen. "Prahara" oleh Refniyati"

Kami menerima Kiriman Tulisan dari pembaca, Kirim naskah ke email redaksi lenggokmedia@gmail.com dengan subjek sesuai nama rubrik atau Klik link https://wa.me/+6282388859812 untuk langsung terhubung ke Whatsapp Kami.