Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget Atas Posting

Satu Tinta Dua Cerita

Puisi-puisi karya Restu Salihah



Aku bukan manekin.


Mengenal lalu ditinggal, puaskah?

Memberi harap lalu tiba-tiba tamat, puaskah?

Berjanji lalu pergi, puaskah?

Memprioritaskan lalu menghempaskan, puaskah?


Lalu mana yang kau bilang cinta suci?

Hanya omong kosong yang berbalut ilusi?

Lalu apa arti sehidup semati?

Hanya potongan peristiwa yang menyakiti hati?


Hebat sekali kau membuat luka.

Berdarah dan menganga.

Tanpa tahu apa obatnya.

Kau tebas sedemikian dalamnya.

Bagaimana aku harus menjahit nya?


Kau kira aku manekin?

Manusia tak bernyawa yang seenaknya kau pajang,

tanpa peduli jika kau menyakitinya?

Kau kira aku kerikil?

Yang menghapus licin lalu bisa kau pijak seenaknya?


Malam saja enggan menutupi kebusukanmu.

Bahkan mentari tak sudi menyinari siangmu.

Kau manusia setengah gila!.

Ikrar cinta kau kira komedi romansa!.


Entah berapa manusia yang kau sakiti.

Mungkin kini mereka sama-sama mengharap engkau terkubur mati oleh sakit hati.

Atau mungkin mendoakan mu untuk tak menemukan lagi tambatan hati.

Aku tak peduli!

Kuharap benar, kau akan membeku diantara sumpah mati yang kau ucap tanpa kau tepati!.



1000 tahun cinta ranum


Dibalik tirai merah

Kilatan tajam bagai mata eros yang menyala

Tak berkedip, tak melayu, kayu jati tua

Ototnya berupa emas

Urat nya bagai kisah Rama Shinta

Dalam kitab purba mahabrata

Wah... Adinda...cantiknya...

Binar matamu menembus jiwa

Seketika aku membenci waktu yang berputar

Seremoni seperti perang para ronin dan mushashi

Karena di kursi pengantin, 

ikrar cuma tontonan

Janji cuma penguat hati

Bisik-bisik terdengar caci

Tapi untukku, 

birahi membeludak memenuhi rongga hati

Engkau adalah 1000 tahun cinta ranum

Tak akan lapuk

Tak akan busuk

Abadi

Disini, ditempat kita mengikat janji

Disini, dihati pujangga yang kini beristri

Disini, dibumi tua yang menyimpan banyak kisah cinta hingga mati.



Ranting kering


Saling kejar hanya membuat kita hilang nalar

Memperbanyak harapan seperti hidup dibawah alam bawah sadar

Cinta bukan daun yang akan habis dimakan ulat

Atau ranting kering yang tabah menghadapi musim

Ia adalah sakit yang tak kunjung sembuh 

atau justru kecewa yang berulangkali kambuh

Tidak ada cinta yang utuh

Dan kesia-siaan mulai tumbuh


Segala yg datang dan pergi akan terus berlari

Meski dengan sepatu yang tak bertali

Menghantam bebatuan yang menyakiti kaki

Namun tak henti dan terus membawa keegoisan diri

Lucu sekali..


Sudah, cukup kan!

Sebelum senja dan malam berganti peran

Dengan mata yang masih basah aku akan pulang.

Menyerah pada keadaan

Dengan masih ada cinta yang terpendam



Primadona satu roda.


Lihat!, dia disana.

Dia si penghibur lara,

Mengubah kesedihan menjadi gelak tawa.

Anak kecil, hingga manula semua bertepuk tangan bersorak ria.


Lihat!, dia disana.

Lihat wajahnya,

putih tebal, bibir merah merona, 

dan rambut ikal berwarna. 

Serta kostum perut buncit bagai bola.


Lihat!, dia disana.

Dia sang primadona,

menjadi obat mujarab bin mandraguna,

Menaiki sepeda satu roda 

dengan tangan melempar memutar bola.

Berputar-putar dilapangan, dengan bibir yang tak luntur senyuman.


Tak sedikit orang menjadikannya bahan bercanda,

Meski dibalik baju balon nya, ada keringat yang membasahi tubuhnya.

Tapi dia tak pernah jera menjadi badut pekan raya, 

seolah tawa adalah penghargaan bagi profesinya.


Digadaikan penderitaan dan air matanya,

Dia sulap bimsalabim menjadi senyum bahagia.

sebagai 

wajah utama dalam profesinya.

Membuat penonton tertawa bagai mahakewajiban baginya.

Akan kah sorak gembira cukup menebus panggung aksinya?

Atau bentuk pengingkaran dari derita hidupnya?.



Satu tinta dua cerita


Kita berawal dari satu tinta warna di kertas kosong.

Pada sampul buku dengan satu judul.


Mata ku mengerjap menatap kilau sore,

Yang mereka sebut cahaya hangat.

Kubuka perlembar,

Tak kutemui dialog kita.

Hanya ada potongan cerita dari dua sisi yang memantul.


Tinta menguar dari botolnya.

Tumpah membasahi sehalaman penuh.

Dan sadar memang tak ada kita disana.


Mungkin kita memang dua kapasitas.

Menyeruput tinta dengan volume yang tak sama.

Dan membawaku pada kenyataan kedua,

Bahwa cerita kita memiliki sudut pandang berlawanan.

Alur maju mundur tak beraturan.


Kita benar-benar dalam satu buku yang sama.

Dengan dua kisah yang berbeda.

Membuatku harus merobek halaman kosong, 

Yang berencana ku isi tentang mu.

Aku, melupakanmu.



Posting Komentar untuk "Satu Tinta Dua Cerita"

Kami menerima Kiriman Tulisan dari pembaca, Kirim naskah ke email redaksi lenggokmedia@gmail.com dengan subjek sesuai nama rubrik atau Klik link https://wa.me/+6282388859812 untuk langsung terhubung ke Whatsapp Kami.