Dari Vietnam ke Indonesia
Kedatangan Nik Mansoor dari Vietnam Ke Indonesia dalam bingkai peringatan Hari Puisi Indonesia
Hari Puisi Indonesia (HPI) di Riau – Indonesia. Sejak tahun 2012 yang lalu Saat dideklarasikan Hari Puisi Indonesia di Riau menjadi rutinitas penyair seluruh Indonesia hingga tahun ini untuk merayakan Hari Puisi Indonesia dan dihadiri pula para penyair dari Asia Tenggara.
Riau merayakan Hari Puisi Indonesia pada tahun 2019 pada tanggal 4-6 Oktober 2019. Itu artinya aku baru 2 hari sampai di rumah setelah pulang dari Vietnam.
Perayaan HPI tahun 2019 juga ditaja oleh Komunitas Seni Rumah Sunting di bawah asuhan penyair perempuan Indonesia, Kunni Masrohanti, beliau merupakan sosok guru dan tauladan bagi kami untuk menggerakkan komunitas kami di kabupaten Rokan Hulu yang kami beri nama Lenggok Media Production.
Hari Puisi Indonesia pertama kali dideklarasikan pada Pertemuan Penyair Indonesia (PPI) digelar di Anjungan Idrus Tintin Pekanbaru, Riau, pada 22 November 2012.
Tahun 2019 utusan Lenggok media cuma aku, Uly Oktavia dan Kiptiya Saputri.
Handphoneku berdering, kulihat nama Nik dilayar, aku segera mengangkat telponnya.
“Assalamualaikum akak, Nik dan Nidi dah Pekanbaru, sekarang di Hotel Arya Duta , akak kat mana sekarang?”
“Akak dah di mobil, satu jam lagi dah sampai”
“Akak datang langsung ke hotel ya kak” pinta Nik
“Oke” balasku sambil menutup telpon setelah mengucap salam
Akhirnya tak sampai satu jam, aku sudah tiba di hotel Arya Duta, Nik dan Nidi sudah menungguku di lobby hotel. Setelah mendapat kamar, kami segera latihan puisi yang akan kami tampilkan malam ini dalam 2 bahasa yakni bahasa Vietnam dan bahasa Indonesia untuk Pembukaan Hari Puisi Indonesia (HPI) tahun ini di Anjungan Seni Idrus Tintin.
Selain aksi panggung pembacaan puisi, malam pembukaan Hpi itu juga diluncurkan buku antologi puisi Membaca Asap, juga ada penampilan tari, musik Melayu Leksemana Dendang Anak dari Pelalawan dibawah asuhan Nurhayati Zarah dan Angryindiesilent Pekanbaru oleh Farid Jhonatan dkk. Farid membawakan lagu khusus untuk HPI yakni Dari Puisi Untuk Dunia, Sutardji Calzoum Bachri, sang presiden penyair Indonesia, dengan suaranya yang khas dan menggelegar, membawakan dua puisi sekaligus. Juga turut hadir Dr Malim Gazali P.K (Malaysia), Nik Mansour Nik Halim dkk (Vietnam), Rini Intama (Banten), Ihsan Subhan (Jawa Barat), Suyadi San (Medan), Arbi Tanjung (Sumbar), Abinya Umar (Palembang), serta penyair cilik Riau, Muhammad Daffa Alfajri. Daffa yang baru duduk di Kelas VII SMP Andalan Pangkalan Kerinci saat itu menjadi pamungkas seluruh aksi panggung malam itu.
Puisi yang teman-teman Lenggok bacakan yaitu :
DARAH DARI HUTAN(Sajak Nik Mansour Nik Abdul Halim)
Siapa merampok hutan kami?
Siapa menjerat gajah kami?
Siapa mencuri padi-padi kami?
Siapa ambil semua milik kami?
Hujan musim panas di hutan keramat.
Saat bergegas, berseri sepanjang malam.
Angin marah. Menggeram keras.
Gemerisik di bawah dedaunan hijau.
Saat bergemuruh memiringkan
cabang-cabang kuno
Kampung kami masih damai
menyambut hari-hari cerah
Aku mendengar. Dulu kala, kampung kami
dikelilingi beribu corak, warna-warni alam.
Aliran air bergemericik, biru.
Jutaan sayap mengepak-ngepak berkibar.
Setiap kawanan hewan liar bermain
bebas ke sana kemari.
Kampung kami bersembunyi
di bawah dedaunan hijau.
Matahari datang lebih awal
bila hujan tidak datang ke bumi
Hutan keramat senantiasa tabur rezeki
sepanjang tahun walau musim berganti
Orang-orang Radhe pergi ke hutan
untuk menanam padi
Orang-orang Radhe pergi ke hutan
untuk menjebak binatang liar
Tiba-tiba aku menutup mata.
Menerawang jauh:
tentang hijau hutan yang sejuk,
tentang kampung Radhe masa lalu
Aku terkejut. Mata terbuka: kenyataan
sangat menyakitkan. Pojok hutan hijau
Inert kering di bawah sinar matahari
yang menuangkan api
Di mana binatang buas itu?
Siang hari biasanya kembali ke sungai.
Di mana burung-burung langit?
Kini hanya langit merah yang tersisa.
Orang-orang mengoperasikan pabrik
Tanah basal gundul dan berdarah
Langit merah darah.
Batang-batang pohon berkonvoi di jalan
Roda menyeret darah seperti basal
Gulingkan ke seluruh jalanan negara
Katanya, ini adalah perdagangan
Kami lapar. Kampung kami mati kering.
Orang-orang kampung banjiri jalan kota.
Cari makan, cari pakaian.
Langit merah berubah abu-abu gelap.
Badai bergegas, bertiup kencang.
Menyapu bukit dan gunung-gunung
Dari pohon-pohon hutan yang tersisa
air mengalir deras. Air-air terjun. Sungai
banjir. Meluap.
Siapa masih ada, siapa yang hilang?
Tidak siapa pun tahu.
Yang tahu hanya air banjir menyatu
dengan basal Merah terang.
Seperti warna darah!
Saigon – Vietnam 2019
Alhamdullillah kami akhirnya tampil seperti yang diharapkan, memakai kostum adat Champa dari Vietnam yang dibawa Nik dan Nidi dari Vietnam.
Penulis : Arnita Adam
(Jurnalis, Novelis dan Traveller)
Posting Komentar untuk "Dari Vietnam ke Indonesia"
Silahkan tinggalkan komentar untuk respon atau pertanyaan, kami akan balas secepat mungkin.