Jalan Kaki ke Mekkah: Antara Ibadah, Keteguhan, Pengorbanan, atau Hanya untuk Mengikuti Tren?
Jalan Kaki ke Mekkah: Antara Ibadah, Keteguhan, Pengorbanan, atau Hanya untuk Mengikuti Tren?
Perjalanan haji merupakan puncak ibadah umat Islam, yang mensyaratkan kesiapan fisik, mental, dan finansial. Di satu sisi, tindakan ini memunculkan kekaguman, namun di sisi lain perlu dikaji lebih kritis: apakah semua ini murni karena ibadah, tekad, dan pengorbanan? Atau ada dorongan lain — yakni sekadar mengikuti tren yang tengah populer?
Ibadah atau Sekadar Romantisme Spiritual?
Dalam Islam, esensi ibadah bukanlah seberapa sulit atau beratnya amal, melainkan seberapa ikhlas dan sesuai syariat tindakan tersebut. Tidak ada perintah dalam agama yang mewajibkan haji ditempuh dengan berjalan kaki. Islam justru mengajarkan prinsip memudahkan, bukan menyulitkan. Jika jalan kaki menjadi sarana untuk meningkatkan ketakwaan dan rasa syukur, tentu itu sangat mulia. Namun, jika dijadikan tolak ukur keutamaan tanpa dasar syariat yang benar, maka ada kekhawatiran ibadah ini justru melenceng dari ruh Islam yang sesungguhnya.
Keteguhan yang Mengagumkan, Tapi Sampai Batas Mana?
Tak bisa dipungkiri, berjalan kaki ribuan kilometer membutuhkan keteguhan luar biasa. Melewati batas negara, gurun panas, dingin malam, dan berbagai keterbatasan membuktikan daya tahan fisik dan mental yang tidak biasa. Tetapi keteguhan ini juga perlu ditempatkan dalam konteks rasional. Keteguhan yang tidak memperhatikan kesehatan, keselamatan, dan kesejahteraan diri serta keluarga berisiko menjadi bentuk fanatisme tanpa tuntunan yang jelas. Islam tidak mengajarkan keteguhan yang membahayakan diri sendiri tanpa alasan yang syar’i.
Pengorbanan Amal atau Pemborosan?
Perjalanan ini menguras banyak sumber daya: waktu, tenaga, biaya, bahkan potensi risiko keselamatan jiwa. Dalam prinsip Islam, pengorbanan yang bernilai tinggi adalah yang membawa manfaat, bukan yang berpotensi membawa mudarat. Jika berjalan kaki sampai mengganggu tanggung jawab terhadap keluarga, menguras habis harta hingga jatuh miskin, atau membahayakan nyawa tanpa kebutuhan mendesak, maka pengorbanan itu perlu dievaluasi. Jangan sampai semangat berkorban justru menjadi bentuk pemborosan yang tidak dikehendaki agama.
Tren dan Pencitraan: Bahaya yang Mengintai
Di era media sosial, apapun bisa menjadi tren. Tidak terkecuali ibadah haji. Namun, inilah bahaya tersembunyi: niat ibadah yang semula murni bisa bergeser menjadi ajang pamer ketahanan diri, pencitraan, atau bahkan sekadar demi mendapatkan sorotan publik. Rasulullah telah memperingatkan umatnya agar berhati-hati dari penyakit riya, yakni beramal bukan untuk Allah, melainkan untuk dilihat manusia.
Untuk Siapa Kita Melangkah?
Semuanya kembali kepada keikhlasan hati. Sebelum mengambil keputusan untuk berjalan kaki ke Tanah Suci, renungkanlah: Apakah ini murni untuk Allah? Ataukah tanpa sadar hanya untuk mengukir nama, mendapatkan pujian, atau mengikuti tren yang sedang populer?
Melangkah ke Baitullah adalah perjalanan hati. Walaupun syariat tidak mewajibkan berjalan kaki untuk berhaji, banyak orang merasa bahwa menempuh perjalanan berat ini adalah bentuk kecintaan mereka kepada Allah. Setiap langkah dipandang sebagai dzikir, setiap lelah dilihat sebagai amal. Jika niatnya murni karena Allah, tentu perjalanan ini bernilai ibadah yang besar.
Jalan kaki menunjukkan keteguhan. Perjalanan sejauh itu memerlukan kekuatan fisik dan mental yang luar biasa. Mereka yang menempuh jalan ini harus siap menghadapi panas, hujan, sakit, bahkan bahaya. Tidak semua orang sanggup melaluinya. Keteguhan hati, kesabaran, dan keikhlasan benar-benar diuji dalam perjalanan panjang ini.
Jalan kaki juga merupakan bentuk pengorbanan. Waktu berbulan-bulan, tenaga, biaya, bahkan keselamatan pribadi dikorbankan. Padahal, Islam sebenarnya menganjurkan kemudahan dalam beribadah. Allah tidak membebani umat-Nya di luar batas kemampuan. Maka, perlu dipastikan bahwa pengorbanan ini memang atas dasar cinta kepada Allah, bukan karena dorongan emosional sesaat.
Namun, di sisi lain, muncul kekhawatiran bahwa fenomena ini menjadi tren. Dengan mudahnya penyebaran cerita di media sosial, tidak sedikit yang mungkin tergoda untuk melakukan perjalanan ini demi popularitas, mencari perhatian, atau menjadi viral. Jika motivasi itu yang muncul, maka makna ibadah bisa bergeser menjadi pameran ego.
Oleh karena itu, penting untuk mengingat bahwa dalam Islam, amal dinilai berdasarkan niatnya. Apapun bentuk perjalanannya — jalan kaki, naik kendaraan, atau lainnya — yang terpenting adalah niat yang lurus, mencari ridha Allah semata, bukan pujian manusia.
Namun jika hanya dilakukan untuk mengikuti tren atau mencari popularitas, maka itu akan menghilangkan nilai ibadahnya. Maka, sebelum melangkahkan kaki jauh ke Tanah Suci, pastikan hati kita sudah benar-benar berjalan menuju Allah.
Penulis: Putri Nabila
Mahasiswa Tadris Bahasa Indonesia (Tbin)/IAIN Lhokseumawe
Nice❤️🔥❤️🩹
BalasHapus