Etika Anak dan Remaja: Krisis atau Darurat?
Etika Anak dan Remaja: Krisis atau
Darurat?
Ludviana Fatmasari
Mahasiswi Universitas Negeri
Yogyakarta
Salah
satu cara berpikir yang harus dimiliki oleh manusia adalah berpikir rasional
dan logis. Dengan adanya cara berpikir ini dapat memunculkan kebiasaan yang
berketerangan baik maupun buruk dan hal ini disebut dengan etika. Etika
bukanlah ajaran moral yang menentukan baik buruknya perilaku, ucapan, atau
kebiasaan seseorang melainkan cara bagaimana kita berpikir terhadap tersebut
dalam menentukan baik dan buruk.
Pada dasarnya sesuatu yang menurut orang lain buruk belum tentu buruk bagi kita. Seperti contohnya, terjadi tindakan kriminal yang dilakukan oleh anak ingusan usia 14 tahun dengan menikam ayah dan neneknya sampai meninggal (Kompas.com, 2/11/2025). Jika dalam konsep ajaran moral tindakan tersebut dianggap buruk karena menyalahi norma yang berlaku berbeda. Konsep etika yang memandang tindakan itu dari setiap orangnya. Bisa jadi bagi pelakunya itu adalah tindakan yang baik, karena dengan mempertimbangkan usianya yang masih ingusan dan dalam masa transisi (remaja) membuat emosionalnya tidak stabil, serta dengan adanya tekanan akademik yang terus-menerus diperolehnya dari keluarga membuat dirinya memungkinkan memunculkan kalimat seperti ini “Jika mereka tiada, aku akan lebih bebas”.
Konsekuensi dan Empati
Tindakan
yang baik, memberi rasa nyaman bagi pelakunya. Namun, dalam konsep etika bagi
orang lain yang memandangnya itu adalah tindakan yang buruk dan jika dipikirkan
tindakan tersebut tidak manusiawi. Kalau dalam ranah berpikir rasional,
sekejam-kejamnya manusia masih ada rasa empati. Berbeda jika manusia tersebut
mengalami permasalahan psikologis dalam dirinya.
Etika
dengan jenis konsekuensialisme memandang bahwa baik buruknya seseorang
tergantung dengan konsekuensi yang didapatkan. Jika konsekuensi tersebut banyak
mengarah kepada keburukan seperti memberikan kerugian dan kesedihan, sedangkan
konsekuensinya memberikan kebahagian dan keuntungan lebih mengarah pada
kebaikan bagi perilaku baik (Christensen & Lægreid, 2011).
Konsep
etika deontologi menunjukan bahwa perilaku manusia dan buruk sesuai dengan
didasari oleh hukum moral. Dengan menghormati hak adalah tanda menghormati
orang sebagai tujuan hidup (Segers & Sullivan, 2006). Seperti contohnya,
terdapat kasus seorang anak yatim piatu
berusia 17 tahun yang mencuri pisang milik orang lain untuk makan adiknya (detik.com, 25/02/2025). Tindakan tersebut dianggap sebagai
perilaku yang buruk menurut konsep etika deontologi, karena mencuri adalah
tindakan yang melanggar hukum moral. Walaupun terdapat alasan-alasan yang
manusiawi yang dapat diterima.
Cara berpikir konsep etika kebijakan yang dicetuskan oleh Aristoteles ini membahas mengenai baik buruk tindakan yang dilakukan oleh manusia sesuai dengan orangnya. Jika orang yang melakukannya adalah orang baik, berarti tindakan yang dilakukan mengarah pada perilaku yang baik atau sebaliknya. Etika ini tidak terpisah dari kompetensi manajemen (Macaulay & Lawton, 2006).
Konsep Etika Krisis atau Darurat
Perspektif
saya sebagai pengamat, terdapat beberapa kasus dari mulai anak-anak dan remaja
yang diperhatikan oleh lingkungan masyarakat. Mereka tidak hanya menjadi
korban, tetapi juga menjadi pelaku. Jika dibahas melalui peradaban teknologi,
hal ini disebabkan karena adanya tawaran kehidupan berbasis internet membuat
semua yang dilihat dari layar kaca adalah kehidupan yang sesuai atau cocok buat
diri mereka. Menurut orang lain itu buruk, belum tentu menurut kita buruk atau sebaliknya.
Dua
sisi tersebut memiliki penjelasan yang berbeda etika bisa dianggap krisis jika
inferensi yang diberikan sudah benar-benar tidak ada, sedangkan darurat masih
terdapat inferensi yang akan ditawarkan atau diberikan. Ketika anak dan remaja
memiliki etiket yang buruk berdasarkan konsekuensi, hukum moralnya, maupun
orangnya.
Etiket inilah yang akan menunjukan keberadaan etika anak dan remaja bisa dikatakan krisis atau darurat. Karena masih terdapat inferensi yang dapat dianalogikan seperti memperbaiki lubang-lubang pada jalan. Pendidikan seharusnya menjadi prioritas utama, bukan seharusnya menjadi prioritas pendukung. Karena menurut perspektif pengamat etika anak dan remaja berada pada sisi darurat dan masih ada inferensi yang ditawarkan yaitu pendidikan.
Pelanggaran Etika Anak dan Remaja
Menurut
Komisi Perlindungan Anak Indonesia pada Januari sampai September 2023
memberikan informasi bahwa terdapat 563 kasus mengenai anak-anak dan remaja dan
dari data tersebut terdapat 33 anak sebagai pelaku dan lainnya sebagai korban.
Sebelum tahun 2023 yaitu dalam kurun waktu 2020-2022, Kementerian Hukum dan HAM
merekap adanya 2.302 kejahatan yang diidentifikasi anak sebagai pelakunya.
Tindak kejahatan yang paling banyak dilakukan adalah tindakan pencurian dengan
838 kasus.
Hal
ini menunjukkan bahwa dalam lima tahun lalu telah terjadi kasus yang menjadikan
anak-anak atau remaja menjadi pelaku dalam tindakan yang melanggar etika
masyarakat mencapai 2.335 kasus dari 530 kasus anak menjadi korban di tahun
2023. Berdasarkan data di atas menunjukan bahwa tindakan-tindakan yang
melanggar etika. Hal ini menjadikan sebuah pertimbangan bahwa berpikir dalam
menentukan baik buruk suatu perilaku yang dilakukan oleh seorang anak tidak
mencapai norma yang baik.
Berita yang beredar di bulan Februari 2025 terdapat
tindakan merusak norma lingkungan yang dilakukan oleh anak atau remaja yang
menjadi perbincangan di awal bulan Januari yaitu tawuran. Seperti contohnya
kasus tawuran yang terjadi pada Rabu, 19 Februari 2025 di Desa Parungseah,
Sukabumi, Jawa Barat yang melibatkan para pelajar adu bacok dan tindakan
pemerkosaan serta pembunuhan yang dilakukan oleh anak masih di bawah umur di
Plembang, Sumatera Selatan. Pelaku berjumlah empat orang yang berusia 16 tahun,
13 tahun, 12 tahun, dan 12 tahun.
Keinginan tahu yang sebenarnya harus dimiliki oleh mereka adalah keinginan tahu terhadap karya-karya berpikir yang kreatif. Hal inilah yang dapat mendukung bahwa etika yang dalam diri anak dan remaja harus dipertanyakan posisinya, apakah berada dalam keadaan krisis atau darurat? Bagaimana cara untuk membendungnya agar tidak merajalela? Hal inilah yang perlu dibincangkan sebelum membincangkan hal lain yang mungkin tidak ada manfaatnya, seperti contohnya membincangkan program maem gratis yang belum merata itu.
Pendidikan Karakter Membentuk Etika
Jika
melihat hal tersebut tidak sesuai dengan aturan norma-norma di lingkungan
sekitar, manusia adalah makhluk sosial yang membutuhkan orang lain untuk
berkomunikasi dan berinteraksi dalam hidupnya. Maka, diperlukan cara berpikir
untuk membentuk perilaku baik atau buruk untuk nilai penting diaplikasikan.
Berdasarkan segi logika jika manusia melakukan perilaku yang keluar dari norma
dan perilaku itu tidak akan dianggap baik oleh lingkungan sekitar.
Dengan
demikian, etika anak dan remaja di Indonesia belum mencapai titik krisis,
karena inferensi masih bisa ditemukan dan diperbaiki. Inferensi yang akan
ditawarkan masih bisa memperbaiki kondisi tersebut. Bagi saya sebagai pengamat
menyatakan bahwa etika anak dan remaja Indonesia dalam kondisi darurat dengan
menyelengarakan pendidikan karakter yang lebih intensif maka akan membaik.
Posting Komentar untuk "Etika Anak dan Remaja: Krisis atau Darurat?"
Silahkan tinggalkan komentar untuk respon atau pertanyaan, kami akan balas secepat mungkin.