Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget Atas Posting

Menyulam Ulang Nasionalisme di Era Polarisasi Digital

 Menyulam Ulang Nasionalisme di Era Polarisasi Digital

Oleh: Nawwal al Sa’dawy

Di tengah riuhnya ruang digital yang kian bising oleh perbedaan,

kita semakin jarang mendengar denyut yang menyatukan.

Nasionalisme yang dulu menjadi benang merah perjuangan,

kini kerap terurai oleh polarisasi yang menyusup lewat layar-layar kita.

Apakah mungkin kita kembali merajut kebersamaan dalam lanskap digital yang terbelah?

 

Indonesia sebagai negara majemuk senantiasa menghadapi tantangan dalam menjaga persatuan. Keberagaman suku, agama, ras, dan budaya yang menjadi kekuatan bangsa juga membawa potensi konflik laten yang dapat mengancam keutuhan nasional.

Di tengah era digital saat ini, ancaman tersebut berkembang dalam bentuk baru: fragmentasi sosial akibat disrupsi informasi. Teknologi yang seharusnya mempererat hubungan antarwarga, justru kerap memperbesar jarak dan memperuncing perbedaan. Di sinilah pentingnya memperkuat kembali integrasi nasional sebagai fondasi utama, agar Indonesia tetap utuh dan kokoh dalam menghadapi tantangan zaman.

Kemajuan teknologi digital telah menciptakan ekosistem informasi yang tanpa batas. Namun, di balik peluang tersebut, muncul fenomena echo chamber dan filter bubble yang mengurung individu dalam kelompok-kelompok informasi seragam.

Laporan We Are Social dan Hootsuite (2024) mencatat bahwa 68% penduduk Indonesia adalah pengguna aktif media sosial, dan lebih dari 60% di antaranya mengakses berita utama dari platform digital. Namun, tingginya konsumsi digital ini tidak diimbangi dengan literasi digital yang memadai. Menurut data Kementerian Kominfo (2023), tingkat literasi digital Indonesia baru mencapai skor 3,
54 dari 5, menunjukkan masih banyak celah dalam memahami dan memilah informasi.

Situasi ini diperburuk dengan meningkatnya praktik politik identitas, di mana kontestasi kekuasaan sering kali menginstrumentalisasi perbedaan SARA. Ketika ruang digital menjadi medan pertempuran opini sektarian, semangat persatuan bangsa berisiko terkikis perlahan namun pasti.

Dalam memahami pentingnya integrasi nasional, teori yang ditawarkan oleh Myron Weiner dalam Ramlan Surbakti menjadi sangat relevan.

Menurut mereka, integrasi nasional adalah proses untuk menggabungkan kelompok-kelompok sosial yang beragam menjadi satu kesatuan nasional yang stabil, tanpa menghapus identitas primordial masing-masing kelompok. Integrasi bukanlah proses penyeragaman, melainkan proses menciptakan rasa kebersamaan dalam kebangsaan yang inklusif.

Lanjutnya, Ramlan Surbakti mengadaptasi pemikiran Weiner dengan menekankan bahwa keberhasilan integrasi nasional memerlukan tiga hal pokok:
1. Terciptanya loyalitas ganda, yaitu kesetiaan kepada kelompok asal dan kepada negara nasional.
2. Adanya keadilan dalam distribusi sumber daya.
3. Tersedianya saluran politik yang representatif untuk mengakomodasi berbagai aspirasi sosial.

Dalam konteks era digital, ketiga prinsip tersebut menjadi tantangan sekaligus peluang dalam merajut kembali keutuhan bangsa.

Untuk menjaga integrasi nasional di tengah fragmentasi digital, beberapa langkah strategis perlu segera dilakukan:

1. Revitalisasi Pendidikan Kebangsaan Berbasis Digital
Pendidikan tentang nasionalisme perlu diperbaharui dengan metode kreatif berbasis teknologi. Pengenalan nilai-nilai kebangsaan melalui platform digital, storytelling interaktif, dan media sosial edukatif dapat menjangkau generasi muda secara efektif.

2. Peningkatan Literasi Digital Berbasis Nilai Kebangsaan
Pemerintah dan sektor swasta perlu berkolaborasi meningkatkan literasi digital berbasis nilai Pancasila. Program-program edukasi publik harus fokus pada kemampuan kritis dalam mengidentifikasi hoaks, disinformasi, dan ujaran kebencian berbasis identitas.

3. Penguatan Narasi Nasional di Ruang Digital
Diperlukan kampanye nasional kreatif yang menonjolkan kisah-kisah inspiratif tentang keberagaman Indonesia. Narasi yang membangkitkan rasa bangga sebagai bangsa harus mendominasi ruang digital agar dapat menandingi narasi sektarian.

4. Reformasi Kebijakan Media Digital
Regulasi platform digital harus diperkuat untuk mendorong transparansi algoritma dan mencegah penyebaran konten yang memecah belah. Kerja sama antara pemerintah, platform media sosial, dan masyarakat sipil sangat penting untuk membangun ekosistem informasi yang sehat.

5. Pengembangan Saluran Aspirasi Inklusif
Negara harus menyediakan lebih banyak ruang partisipasi publik berbasis digital yang merepresentasikan semua kelompok sosial, termasuk komunitas marjinal. Dengan demikian, semua elemen bangsa merasa diakui dan terlibat dalam proses berbangsa dan bernegara.

Integrasi nasional bukan sekadar slogan normatif, melainkan sebuah proses dinamis yang harus dirawat terus-menerus, apalagi di tengah era digital yang penuh distraksi dan fragmentasi.

Sebagaimana ditegaskan oleh Myron Weiner dalam perspektif Ramlan Surbakti, integrasi nasional mensyaratkan pengakuan terhadap keberagaman, jaminan keadilan, dan penciptaan ruang politik inklusif.

Dalam dunia yang makin terhubung secara digital namun tercerai secara sosial, tugas kita adalah menjadikan teknologi sebagai alat mempererat, bukan memecah. Dengan langkah strategis yang terencana, Indonesia tidak hanya akan bertahan, tetapi akan tumbuh menjadi bangsa besar yang mampu menjawab tantangan zaman.

Membangun Indonesia yang bersatu di dunia digital adalah pekerjaan kolektif, yang hasilnya akan dinikmati oleh generasi mendatang.

 

Nama : Achlam Chunaimah Nawwal Sa’dawy

Kampus: STAI Al-Anwar Sarang Rembang

Prodi : IQT

Organisasi: Internasional Conference Santri Mendunia

 

Posting Komentar untuk "Menyulam Ulang Nasionalisme di Era Polarisasi Digital"

Kami menerima Kiriman Tulisan dari pembaca, Kirim naskah ke dengan subjek sesuai nama rubrik ke https://wa.me/+6282188865915 klik untuk langsung terhubung ke Whatsapp Kami.