Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget Atas Posting

Beda Asal, Beda Cerita: Saat Mahasiswa Asal Daerah Beradaptasi Lebih Cepat

Beda Asal, Beda Cerita: Saat Mahasiswa Asal Daerah Beradaptasi Lebih Cepat

Oleh: Putri Alika Fani Rahmadhani

Selama ini kita sering berpikir bahwa mahasiswa dari daerah pasti akan lebih sulit beradaptasi di dunia kampus, terutama saat memasuki lingkungan kota yang lebih kompleks. Namun bagaimana jika kenyataannya justru sebaliknya? Dalam penelitian kecil yang saya lakukan, hasilnya cukup mengejutkan dan membuka perspektif baru tentang kekuatan adaptasi mahasiswa dari berbagai latar belakang.

Ketika memasuki dunia perkuliahan, setiap mahasiswa membawa cerita dan latar belakang yang berbeda. Di balik semangat mereka menuntut ilmu, ada proses adaptasi yang tidak selalu mudah, terutama bagi mereka yang berasal dari lingkungan sosial dan geografis yang berbeda, seperti daerah (pedesaan) dan kota (perkotaan).

Dalam sosiologi, hal ini dikenal sebagai bagian dari mobilitas sosial, yaitu perpindahan individu dari satu lingkungan sosial ke lingkungan baru yang menuntut penyesuaian. Menurut Sorokin (1959), mobilitas ini sering kali disertai tantangan psikologis dan kultural, terutama ketika lingkungan baru sangat berbeda dari latar belakang asal seseorang.

Saya mencoba memahami hal ini melalui kuesioner yang disebarkan kepada beberapa mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Makassar. Hasilnya menarik: mahasiswa daerah memiliki rata-rata skor adaptasi sosial sebesar 64,58, sedangkan mahasiswa kota sedikit lebih rendah yaitu 62,85 (dari total maksimal 100).

Secara sosiologis, mahasiswa dari daerah yang menempuh pendidikan di kota besar juga dapat dilihat sebagai bagian dari proses urbanisasi. Urbanisasi tidak hanya mencakup perpindahan fisik dari desa ke kota, tetapi juga melibatkan proses penyesuaian diri terhadap pola hidup yang lebih kompleks dan modern.

Menurut Kingsley Davis (1965), urbanisasi adalah proses perpindahan dan transformasi masyarakat dari pola hidup tradisional ke pola hidup urban yang ditandai oleh individualisme, kecepatan, dan diversitas budaya. Dalam konteks ini, mahasiswa mengalami apa yang bisa disebut sebagai urbanisasi sosial, ketika mereka menyesuaikan nilai, norma, hingga gaya komunikasi agar bisa sejalan dengan lingkungan barunya di perkotaan. Adaptasi ini merupakan bagian penting dari dinamika pembangunan sosial.

Mahasiswa dari kota umumnya memiliki pengalaman yang lebih banyak dengan teknologi, fasilitas pendidikan modern, dan interaksi sosial yang beragam. Hal ini bisa membantu mereka dalam memahami ritme kehidupan kampus. Namun begitu, mereka tetap menghadapi tantangan tersendiri, seperti penyesuaian terhadap sistem belajar yang lebih mandiri atau dinamika sosial yang kompleks.

Tidak semua mahasiswa kota merasa langsung 'nyambung' dengan suasana kampus, terutama ketika harus bekerja sama dengan teman-teman dari latar budaya yang berbeda.

Sementara itu, mahasiswa dari daerah sering kali datang dari lingkungan yang lebih homogen secara budaya dan sosial. Mereka perlu menyesuaikan diri dengan keanekaragaman baru, budaya kota, dan kebiasaan akademik yang mungkin belum familiar sebelumnya.

Namun yang mengejutkan, hasil kuesioner menunjukkan bahwa mereka justru menunjukkan kemampuan adaptasi yang cukup kuat. Dengan rata-rata skor sedikit lebih tinggi dari mahasiswa kota, ini menjadi bukti bahwa usaha pribadi, motivasi, dan dukungan sosial memegang peranan penting, bahkan bisa melebihi faktor asal daerah.

Menurut Kim (2001), adaptasi sosial adalah proses dinamis di mana individu belajar mengenali simbol, nilai, dan kebiasaan baru dari lingkungan sosialnya. Maka ketika mahasiswa daerah mampu menjalani proses itu dengan baik, artinya mereka sedang menjalani pembelajaran sosial yang luar biasa.

Dalam perspektif interaksionisme simbolik (Mead & Blumer), individu membentuk makna melalui interaksi sosial. Setiap mahasiswa, baik dari kota maupun daerah, sedang membentuk identitas baru di dunia kampus melalui interaksi dan pengalaman mereka.

Hasil data ini menunjukkan bahwa adaptasi bukan ditentukan oleh dari mana kita berasal, tetapi oleh bagaimana kita menyikapi perubahan. Mahasiswa kota maupun daerah punya tantangan dan kekuatan masing-masing. Dan kampus seharusnya menjadi ruang aman bagi keduanya untuk tumbuh dan berkembang bersama.

Artikel ini berdasarkan hasil penelitian kuantitatif terhadap beberapa mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Makassar.

 

Daftar Pustaka:

Blumer, H. (1969). Symbolic interactionism: Perspective and method. Englewood Cliffs, NJ: Prentice-Hall.

Davis, K. (1965). The Urbanization of the Human Population.

Kim, Y. Y. (2001). Becoming intercultural: An integrative theory of communication and cross-cultural adaptation. Thousand Oaks, CA: SAGE Publications.

Sorokin, P. A. (1959). Social and cultural mobility. Glencoe, IL: The Free Press.

Posting Komentar untuk "Beda Asal, Beda Cerita: Saat Mahasiswa Asal Daerah Beradaptasi Lebih Cepat"

Kami menerima Kiriman Tulisan dari pembaca, Kirim naskah ke dengan subjek sesuai nama rubrik ke https://wa.me/+6282388859812 klik untuk langsung terhubung ke Whatsapp Kami.