Bukan Gurunya yang Kurang Mutu, Tapi Apakah Sistem Udah Benar-benar Didukung
Bukan Gurunya
yang Kurang Mutu, Tapi Apakah Sistem Udah Benar-benar Didukung
Oleh : Ikfina Nurul
Pendidikan yang
hebat nggak lahir dari kurikulum canggih semata, tapi dari guru-guru hebat yang
berdiri di garis depan ruang kelas. Sayangnya, hingga hari ini, diskusi tentang
peningkatan kualitas guru masih terlalu sempit. Seolah-olah cukup dengan
pelatihan rutin atau workshop tahunan. Padahal kenyataannya, naikin kualitas
guru tuh nggak segampang kasih seminar, foto bareng, terus selesai.
Kalau kita
balik ke dasar hukum, UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen menyebutkan
bahwa guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar,
membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik.
Namun, untuk bisa menjalankan semua tugas ini dengan optimal, guru butuh lebih
dari sekadar materi pelatihan. Mereka butuh ekosistem yang mendukung, apresiasi
yang nyata, dan pengakuan sosial yang adil.
Isu terkini
menunjukkan bahwa banyak guru—terutama mereka yang berstatus honorer atau
PPPK—masih menghadapi tantangan berat: gaji yang belum layak, beban
administrasi yang absurd, hingga status kerja yang nggak jelas. Tahun
2024–2025, ribuan guru PPPK masih menunggu penempatan atau bahkan belum
menerima SK. Di sisi lain, mereka tetap dituntut untuk profesional dan
inovatif. Kayak disuruh lari maraton, tapi sepatunya belum dikasih.
Ini belum
termasuk beban mental. Banyak guru yang merasa tidak dihargai, apalagi
dihormati. Citra guru sebagai sosok teladan perlahan terkikis oleh realita
sosial yang makin materialistik. Sementara di lapangan, mereka sering diminta
menyulap proses belajar menjadi “seru, aktif, kreatif,” padahal fasilitas
seadanya dan jam kerja melebihi jam kantor. Ya gimana mau maksimal, kalau
energi dan motivasinya terkuras terus?
Meningkatkan
kualitas guru harus dilihat sebagai bagian dari pembenahan sistemik. Bukan cuma
soal pelatihan pedagogik, tapi juga soal kesejahteraan, kejelasan jenjang
karier, dan lingkungan kerja yang sehat. Apresiasi bisa hadir dalam berbagai
bentuk: mulai dari insentif yang adil, pengakuan atas prestasi, sampai ruang
bagi guru untuk tumbuh dan belajar tanpa tekanan berlebih. Karena guru juga
manusia. Mereka butuh didengar, dipahami, dan di-support—bukan sekadar disuruh
update RPP tiap minggu.
Kalau kita
benar-benar ingin pendidikan Indonesia maju, maka investasi terbesar bukan di
gedung megah atau perangkat digital. Tapi di guru. Karena mereka bukan sekadar
pelaksana kurikulum, tapi pemantik masa depan. Yuk, mulai ubah cara pandang:
guru bukan hanya butuh pelatihan, tapi juga penghargaan yang nyata dan sistem
yang memanusiakan.
Posting Komentar untuk "Bukan Gurunya yang Kurang Mutu, Tapi Apakah Sistem Udah Benar-benar Didukung"
Silahkan tinggalkan komentar untuk respon atau pertanyaan, kami akan balas secepat mungkin.