Estetika Kritik Religius dalam Puisi Sunnah Basa-Basi Karya Hardi Abu Rafa
Estetika Kritik Religius dalam Puisi Sunnah Basa-Basi Karya Hardi Abu Rafa
Oleh: Nada Aprila Kurnia
Mahasiswa Aktif Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas, yang bergiat di Labor Penulisan Kreatif (LPK)
Puisi seringkali dipandang sebagai wadah ekspresi keindahan dan rangkaian kata yang memesona hati. Akan tetapi, puisi juga bisa menjadi cermin tajam yang memantulkan realitas, bahkan kritik yang menusuk. Salah satunya adalah puisi Sunnah Basa-Basi karya Hardi Abu Rafa, yang termuat dalam buku kumpulan puisinya Tafakur 3 Munajat Cinta Seorang Hamba (2022). Puisi ini bukan hanya sekadar deretan kata religius, melainkan sebuah kritik religius yang dibungkus rapi dalam balutan estetika bahasa.
Hardi Abu Rafa, melalui Sunnah Basa-Basi, secara langsung menyentil fenomena spiritualitas yang dangkal. Praktik keagamaan kerap kali hanya menjadi formalitas tanpa substansi. Pemahaman akan bagaimana Sunnah Basa-Basi menyampaikan kritik religiusnya tidak lepas dari pendekatan strukturalisme dalam sastra, sebagaimana banyak dibahas oleh Rachmat Djoko Pradopo dalam Pengkajian Puisi (2002). Pradopo menjelaskan bahwa puisi adalah sebuah struktur yang utuh, setiap unsurnya seperti diksi, citraan, rima, dan gaya bahasa saling terkait dan berfungsi membentuk makna keseluruhan. Dalam puisi ini, kritik religius tidak hanya muncul sendiri, melainkan timbul dari jalinan padu setiap unsur estetikanya yang disengaja oleh penyair untuk menciptakan efek penekanan pada pesan kritik tersebut.
Pemilihan kata (diksi) adalah pondasi utama dalam membangun pesan sebuah puisi. Hardi Abu Rafa dengan cerdas memilih diksi yang menciptakan kontras tajam antara idealitas dan realitas yang dikritik. Bait pertama menggambarkan suasana Malam Jumat yang seharusnya diisi dengan aktivitas spiritual:
Malam Jum'at telah tiba,
saatnya hidupkan sunnah,
tingkatkan qira'ah,
Surah Al-Kahfi dikhatamkan penuh cahaya,
dan shalawat pada maulana,
Rasulullah penghulu jiwa,
Kata-kata seperti hidupkan sunnah, qira'ah, Surah Al-Kahfi, dan shalawat membangun citra ketaatan yang tulus. Namun, kontras itu muncul di bait kedua dengan penggunaan diksi yang langsung mengarah pada kritik:
Tetapi kau hanya sibuk dengan urusan syahwat saja,
seolah itu satu-satunya sunnah yang ada,
menampilkan seolah kau tau sedekah yang mulia,
padahal berdalih dengan tanpa ilmu dan hujjah,
hanya nafsu syahwat yang ada di kepala.
Frasa seperti hanya sibuk dengan urusan syahwat saja, seolah itu satu-satunya sunnah, dan tanpa ilmu dan hujjah adalah pisau tajam yang dipilih penyair untuk menyingkap kepalsuan. Diksi ini tidak hanya deskriptif, tetapi juga menghakimi, menunjukkan kekecewaan dan teguran keras terhadap mereka yang menyempitkan makna sunnah menjadi pemuas nafsu semata.
Puisi ini juga kaya akan citraan (imaji) yang membantu pembaca memvisualisasikan dan merasakan kritik yang disampaikan. Di satu sisi, ada citraan ideal dari Malam Jumat yang penuh cahaya berkat lantunan Al-Kahfi dan shalawat. Ini adalah gambaran tentang kebersihan jiwa dan ketaatan yang murni. Di sisi lain, penyair membangun citraan yang menggambarkan kemunafikan secara gamblang sibuk dengan urusan syahwat saja dan puncaknya, hanya nafsu syahwat yang ada di kepala. Citraan terakhir ini melukiskan seseorang yang pikirannya dipenuhi oleh hal-hal duniawi dan kesenangan fisik, bahkan ketika ia mencoba ‘menampilkan’ kesalehan. Kontras citraan inilah yang menjadi kekuatan estetika puisi, menyoroti jurang antara yang seharusnya dan yang terjadi.
Salah satu kekuatan utama puisi Sunnah Basa-Basi dalam menyampaikan kritik religius adalah penggunaan gaya bahasa, khususnya ironi dan sarkasme. Kalimat seolah itu satu-satunya sunnah yang ada atau menampilkan seolah kau tau sedekah yang mulia bukanlah pernyataan tulus, melainkan sindiran halus yang menusuk. Penyair menggunakan ironi untuk mengatakan sesuatu yang berlawanan dengan maksud sebenarnya. Ini mengajak pembaca untuk merenungkan makna tersembunyi di balik kata-kata tersebut, yaitu kritik terhadap orang-orang yang menggunakan dalih agama untuk kepentingan pribadi atau nafsu. Kritik menjadi lebih tajam dan membuat pembaca yang merasakan fenomena tersebut akan merasa tertampar.
Pada akhirnya, puisi Sunnah Basa-Basi adalah contoh bagaimana estetika kritik religius bekerja dalam sastra. Hardi Abu Rafa tidak hanya menciptakan karya yang indah secara linguistik, tetapi juga memanfaatkan setiap unsur estetika dari diksi, citraan, hingga gaya bahasa, untuk menyampaikan teguran dan ajakan introspeksi. Puisi ini mengajak kita untuk merenungkan kembali esensi sunnah dan spiritualitas sejati. Ia menjadi pengingat bahwa praktik keagamaan haruslah dilandasi ilmu, hujjah, dan keikhlasan hati, bukan sekadar basa-basi yang lahir dari nafsu dan kemunafikan. Melalui keindahan bahasanya, Hardi Abu Rafa berhasil menyajikan kritik yang kuat, relevan, dan menggugah kesadaran.
Posting Komentar untuk "Estetika Kritik Religius dalam Puisi Sunnah Basa-Basi Karya Hardi Abu Rafa"
Silahkan tinggalkan komentar untuk respon atau pertanyaan, kami akan balas secepat mungkin.