FIQH GADAI (RAHN) DALAM ISLAM
FIQH GADAI (RAHN) DALAM ISLAM
Oleh: Brian Herlingga Ardiansyah
NIM: 202410170110149
Prodi: Akuntansi
Universitas Muhammadiyah Malang
Pendahuluan
Islam sebagai agama yang sempurna tidak hanya mengatur aspek spiritual, tetapi juga aspek sosial dan ekonomi dalam kehidupan manusia. Salah satu bentuk interaksi sosial-ekonomi yang sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari adalah gadai. Dalam Islam, praktik ini dikenal dengan istilah “rahn”, yaitu menahan suatu barang sebagai jaminan atas utang. Fiqh Islam memberikan batasan dan panduan dalam pelaksanaan gadai agar tidak menimbulkan ketidakadilan atau penindasan (zalim) antara pihak yang bertransaksi.
Pengertian Rahn dalam Islam
Secara etimologis, rahn berarti tetap atau menahan. Sedangkan secara terminologis menurut ulama fiqih, rahn adalah menahan suatu barang yang memiliki nilai sebagai jaminan atas utang, sehingga barang tersebut dapat dijadikan pelunasan jika pihak yang berutang (murtahin) tidak mampu melunasi utangnya. Dalam konteks ini, rahn adalah bentuk jaminan yang bersifat sukarela dan bertujuan memberi rasa aman bagi pihak yang memberikan pinjaman (rahin).
Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an:
“Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang).”
(QS. Al-Baqarah: 283)
Ayat ini menjadi dasar hukum diperbolehkannya gadai dalam Islam sebagai solusi praktis dalam transaksi utang-piutang, khususnya dalam kondisi darurat atau keterbatasan administrasi formal.
Hukum dan Dasar Gadai dalam Islam
Mayoritas ulama dari empat mazhab (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali) sepakat bahwa gadai hukumnya boleh (mubah) selama dilakukan dengan prinsip keadilan dan tanpa riba. Dasar kebolehan ini tidak hanya merujuk pada Al-Qur’an, tetapi juga dari hadits Nabi Muhammad SAW.
Rasulullah SAW bersabda:
Sesungguhnya Nabi SAW membeli makanan dari orang Yahudi dengan pembayaran yang ditangguhkan dan beliau menggadaikan baju besinya.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Hadis ini menunjukkan bahwa praktik gadai pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW sendiri, bahkan dengan pihak non-Muslim, selama prosesnya dilakukan secara adil dan tidak melibatkan unsur yang diharamkan.
Rukun dan Syarat Rahn
Dalam pelaksanaan rahn, terdapat beberapa rukun dan syarat yang harus dipenuhi, yaitu:
1. Pihak yang berakad (rahin dan murtahin): Orang yang menggadaikan barang (rahin) dan orang yang menerima gadai (murtahin) harus baligh, berakal, dan cakap hukum.
2. Barang yang digadaikan (marhun): Harus memiliki nilai ekonomis, dapat dijual, dan sah secara syariah.
3. Utang (marhun bih): Nilai utang yang dijamin oleh barang gadai, harus jelas nominal dan waktunya.
4. Ijab dan Qabul: Adanya kesepakatan antara kedua belah pihak, baik secara lisan maupun tulisan.
Syarat-syarat ini ditetapkan untuk menjamin keabsahan dan keadilan dalam akad rahn serta menghindari unsur gharar (ketidakjelasan) atau riba.
Hak dan Kewajiban dalam Akad Gadai
Dalam akad rahn, terdapat hak dan kewajiban dari masing-masing pihak. Pihak rahin berkewajiban melunasi utangnya sesuai waktu yang disepakati. Jika gagal, murtahin berhak menjual barang jaminan setelah pemberitahuan, dan hasil penjualannya digunakan untuk melunasi utang. Namun, kelebihan dari hasil penjualan tetap menjadi hak rahin.
Sementara itu, murtahin tidak boleh memanfaatkan barang gadai secara sembarangan, kecuali dengan izin dari rahin atau jika ada kesepakatan sebelumnya, misalnya menyewakan barang tersebut dengan hasil dibagi.
Perbedaan Gadai dalam Islam dan Gadai Konvensional
Salah satu perbedaan mendasar antara gadai dalam Islam dan sistem konvensional adalah larangan pengambilan bunga atau riba. Dalam sistem gadai konvensional, umumnya terdapat bunga atas pinjaman yang dibebankan kepada pihak penggadai. Hal ini bertentangan dengan prinsip rahn dalam Islam, yang melarang segala bentuk penambahan (riba) atas pinjaman.
Islam juga menekankan prinsip ta’awun (tolong-menolong) dalam transaksi, sehingga akad rahn harus memperhatikan aspek kemanusiaan, bukan semata keuntungan material.
Implementasi Rahn di Lembaga Keuangan Syariah
Saat ini, banyak lembaga keuangan syariah di Indonesia yang telah menerapkan akad rahn, salah satunya adalah di Pegadaian Syariah. Di sana, rahn dikombinasikan dengan akad ijarah (sewa), sehingga biaya administrasi yang dibayarkan bukanlah bunga, melainkan upah atas jasa penyimpanan barang.
Dengan demikian, praktik rahn tetap relevan dan fleksibel untuk diterapkan dalam kehidupan modern selama prinsip-prinsip syariahnya dijaga.
Kesimpulan
Fiqh rahn merupakan salah satu solusi syariah yang adil dalam mengatasi kebutuhan dana darurat tanpa harus terjerat riba. Islam membolehkan gadai sebagai bentuk jaminan utang dengan syarat dan ketentuan tertentu agar tidak merugikan salah satu pihak. Dalam era modern, penerapan rahn dapat dilakukan secara profesional dan tetap sesuai prinsip syariah, terutama melalui lembaga keuangan syariah yang terpercaya.
Dengan memahami konsep rahn, umat Islam diharapkan dapat menjalankan transaksi ekonomi secara adil, transparan, dan sesuai dengan nilai-nilai Islam yang menjunjung tinggi keadilan, kejujuran, dan saling tolong-menolong.
Posting Komentar untuk "FIQH GADAI (RAHN) DALAM ISLAM"
Silahkan tinggalkan komentar untuk respon atau pertanyaan, kami akan balas secepat mungkin.