Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget Atas Posting

Cerbung "Ibuku Gila" Part 8


#IBUKU_GILA

#Part8

***

Keluarga Herdi dan tamu undangan yang memang hanya kerabat dekat karena ini baru pertunangan meninggalkan rumah kami satu persatu. Hatiku berantakan, tidak hanya karena memikirkan perasaan adikku saat ini tapi lebih kepada seperti apa dia akan melewati hari-harinya ke depan? Aku pernah berada di posisinya, ditinggalkan orang yang aku sayang dan aku harapkan bisa menghabiskan hidup bersamanya, dan rasanya luar biasa. Sakit! Apalagi adikku, yang aku tahu sangat mencintai Herdi, terlebih dia seorang wanita yang kata orang perasaannya lebih halus dari kami kaum lelaki. 

Seketika rumah kami lengang, hanya tinggal beberapa orang itupun kerabat kami. Aku bisa merasakan rasa iba dari tatapan mereka. Tante Vivi salah satu dari kerabat yang masih bertahan di rumah kami. Meski aku melihat kemarahan di matanya tapi dia masih bisa menahan diri. Matanya menatap Ayah tajam, aku tahu arti tatapannya itu. Dia menyesalkan sikap Ayah yang masih bertahan dengan Mak. 

Ayah mempersilakan Pak Aditama dan yang lainnya duduk, Pak Aditama dekat Ayah, disampingnya duduk istrinya dan Efan. Aku berdiri di samping mereka, sengaja aku berdiri agar mudah menenangkan Mak yang masih sibuk dengan dunianya. Humaira dan dan salah satu kerabat mengapit Eis berhadapan dengan tempat duduk Ayah dan Pak Aditama, sedangkan Tante Vivi dan suaminya ada di ujung lainnya. Kerabat lain memilih duduk lesehan di atas karpet yang didominasi warna merah itu.

Pak Aditama menepuk-nepuk punggung Ayah setelah Ayah menceritakan semuanya. Sedang istrinya langsung mendekati Eis dan memeluk adikku itu.

“Gadis yang baik, semoga kamu menemukan jodoh yang baik.”

Tulus sekali ucapan Buk Aditama, sembari dia mengelus rambut Eis yang digulung anggun ke atas. Eis terlihat mempesona malam ini. Dia memang sudah mempersiapkan semuanya, termasuk perias ternama di kota kami. Tangan wanita setengah baya itu berpindah ke pipi adikku, tatapannya seperti tatapan seorang ibu, aku melihat mata Eis kembali menggenang. Pelan Bu Aditama mengecup kening adik semata wayangku itu. Menariknya ke pelukannya, Eis kembali menangis. Aku mendongakkan kepalaku berusaha menahan air mata yang sedari tadi mendesak ingin keluar. Sungguh aku tidak tahan melihat keadaan adikku itu, ingin sekali aku menghajar Herdi yang tidak memiliki pendirian. Ada hak apa dia menyakiti adikku? Adik yang sedari kecil aku jaga, aku manja dan sekarang hanya dalam semalam dia berhasil melukai adikku begitu dalam. Brengsek! Makiku dalam hati.

Akhirnya aku memilih mengantarkan Mak ke kamarnya, menenangkan wanita yang telah melahirkanku ke dunia ini. Sesekali dia menahan badannya tapi aku terus membujuknya dan bukan hal baru kalau aku adalah orang yang paling bisa membujuk Mak dari dulu hingga sekarang. 

Aku tidak tahu lagi apa yang mereka bicarakan karena aku telah sampai di kamar Mak, menenangkan Mak. Aku memperhatikan Mak, baju yang dia kenakan memang selalu bersih begitu juga dengan dia karena kami selalu memandikannya dan merawatnya. Dalam balutan daster panjang warna maroon itu Mak terlihat tidak seperti orang sakit. Dia duduk di pinggir tempat tidur sambil memainkan ujung jilbabnya. Wajahnya cemberut padaku karena aku memaksanya masuk ke kamar.

Dulu akulah yang merajuk saat aku dipaksa tidur siang atau apapun yang tidak aku inginkan. Saat itu Mak akan tersenyum tulus dan menggodaku bahkan menggelitiku. Indahnya masa kecil. Andai masa itu bisa diulang kembali maka aku akan memilih tetap berada di masa itu. Masa ketika kami harmonis tanpa masalah, kalaupun ada itu merupakan masalah remeh temeh yang biasa ada dalam keluarga lainnya.

“Mak, di sini dulu ya, Satria mau keluar dulu.”

Aku menutupi tubuh Mak dengan selimut warna ungu muda yang serasi dengan seprey kamarnya. Aku yakin ini pasti pilihan Eis. Ingat Eis hatiku kembali dicubit pilu.

“Jangan keluar, ada api. Maaakkk!!! Ayaahhh!!!”

Tiba-tiba Mak histeris, dia mulai memukul-mukul kepalanya. Tidak hanya sampai di situ, wanita yang melahirkan aku ini mulai menarik-narik jilbabnya. Dulu ketika belum menggunakan jilbab, dia selalu menarik-narik rambutnya bahkan sampai rontok. Hal ini juga yang menyebabkan rambut Mak hampir botak. Di wajahnya juga banyak luka bekas dicakarnya sendiri.

Cepat aku tangkap tangan Mak, berusaha menenangkannya, tapi tenaga Mak seperti berlipat-lipat sekarang. Mak memang selalu seperti ini, setiap dia menyebut api maka dia akan mengamuk bahkan dulu Ayah pernah dipukul pakai martil. Akibatnya Ayah harus mendapat tujuh jahitan untuk luka di kepalanya itu.

“Mak, tenanglah, tak ada api di sini. Ini Satria Mak.”

Aku kembali berusaha menenangkan Mak, sungguh saat ini doaku hanya satu, jangan sampai Mak kambuh, Eis masih terluka. Aku benar-benar merasa kalau aku sama sekali tidak berguna. Aku adalah anak lelaki di rumah ini, seperti yang selalu Mak katakan dulu, aku adalah tumpuan harapan mereka, yang akan melindungi Eis dan Mak bila Ayah tiada atau sudah tua. 

Hatiku seakan tercabik-cabik, sungguh aku paling tidak suka air mata, namun kali ini aku dapat merasakan mataku basah. Aku peluk Mak dengan kuat, dia memukul punggungku bertubi-tubi, sakit tapi kalah oleh rasa perih di hatiku. Ya Allah, kenapa harus Mak?

Seperti biasa kalau Mak sudah mengamuk, bukan perkara mudah menenangkannya, aku mulai kewalahan memeluk Mak, karena dia meronta-ronta. Selain memukulku, Mak juga menjambakku dan tiba-tiba aku merasakan bahuku sakit luar biasa. Mak menggigitku. Jika aku lepaskan, Mak akan lari keluar dan membuat keributan, tapi jika bertahan maka dapat aku pastikan kalau bahuku akan terluka. Dalam situasi ini, demi Eis, demi Ayah yang aku lihat begitu terluka biarlah aku tahan gigitan Mak. 

“Mak, lepaskan Abang.” Itu suara Eis, aku kenal sekali suara adikku itu.

“Nur, lepaskan, kasihan Satria.” Itu adalah suara Ayah.

Aku merasa ada yang mengalir di leherku merembes ke dada. Gigitan Mak memang belum lepas. Nyeri, tapi aku memilih bertahan memeluk Mak, biarlah sakit ini aku rasakan, aku ikhlas asal Mak tidak lari ke luar.

“Maaf, Ayah, Eis, boleh Mey bujuk Mak?”

“Silakan, Nak Mey kasihan Satria, dia berdarah.”

Aku dapat merasakan tempat tidur Mak bergerak seperti ada yang turun dan naik. Tentu Ayah dan Mey telah turun dan sekarang aku tahu Mey sudah di dekat kami. Jarak kami begitu dekat, aku dapat melihat dengan jelas matanya basah. Dia menangis.

“Mak, istighfar. Lepaskan Abang.”

Mak tidak peduli, bahuku semakin sakit.

“Mak, ini Mey.”

Mak tetap tidak peduli. Humairah semakin dekat dengan kami, aku pastikan jika tidak dalam keadaan seperti ini, aku pasti tidak akan bisa mengendalikan diri untuk tidak memeluknya. Ah, setidaknya aroma tubuhnya yang lembut dapat menenangkanku dan mengurangi sedikit sakit di bahuku.

Humairah menyentuh pipi Mak, ini membuat jarak kami semakin dekat, gadis ini memberi isyarat padaku untuk melepaskan tangan Mak. Aku menurutinya. Begitu lembut dia memperlakukan Mak, bahasanya juga sangat santun, aku tersentuh. Tiba-tiba ada dalam hatiku keinginan untuk menjadikannya menantu Mak.

Sekarang, Humairah benar-benar tak berjarak denganku, sesekali tangannya menyentuh dada dan bahuku. Kepalanya seperti menempel di dadaku. Dia tidak melepaskan tangannya dari Mak, tetap mengelus lembut dan suaranya merayu.

“Mak sama Mey, ya, Mey peluk.” Sekarang kami benar-benar bersentuhan, dia ada di antara aku dan Mak, karena aku memang telah meregangkan pelukanku dari Mak. Humairah berkali-kali menciumi wajah Mak, dia sudah menangis, aku tersentuh. Pelan Mak mulai mengendurkan gigitannya.

“Mak, peluk Mey, ya.” 

Gigitan Mak benar-benar lepas, sekarang dia menatap Humairah. Aku tetap berjaga, jangan sampai Mak melukai gadis ini. Humairah melap mulut Mak yang ada noda darahku dengan jilbabnya yang panjang. Mak menangkap tangan gadis manis itu, Mak mulai meracau lagi tentang api.

“Iya, Mak, apinya sudah padam, Mak tenang ya.”

“Kamu siapa ha? Siapa?”

“Ini Mey, Mak.”

Secepat kilat tangan Mak melayang dan menampar pipi gadis itu, aku yang dekat tidak sempat menyelamatkannya, aku melihat pipi itu memerah. Kami semua berseru kaget, dan efeknya Mak makin menjadi-jadi.

Akan tetapi yang dilakukan gadis ini sungguh di luar dugaanku, dia langsung memegang kedua pipi Mak, menciumi Mak berkali-kali.

“Pipi, Mey sakit Mak,” katanya.

Dia langsung menangis, suaranya seperti seorang anak yang sedang di hukum oleh ibunya. Aku jadi teringat dulu ketika Eis di marahi Mak, maka dia akan menangis seperti itu. Ketika aku mendekat, aku melihat isyarat tangan gadis itu yang menyuruhku menjauh.


Bersambung, 



Penulis : Reni Juniarti

Posting Komentar untuk "Cerbung "Ibuku Gila" Part 8"

Kami menerima Kiriman Tulisan dari pembaca, Kirim naskah ke email redaksi lenggokmedia@gmail.com dengan subjek sesuai nama rubrik atau Klik link https://wa.me/+6282388859812 untuk langsung terhubung ke Whatsapp Kami.