Cerpen, "Trauma" Oleh Refniyati
"Trauma"
Oleh Refniyati
"Polisi." Ucap Partas ketika ditanya ibunya siapa yang datang, sontak Bujang
yang tengah berbaring di balai tempat tidur terperanjat melihat orang.
berseragam, tinggi, gagah, dengan pistol di pinggangnya, hendak melangkah kan
kaki masuk ke rumah. Bujang bangkit lalu tergopoh-gopoh bergegas lewat pintu
belakang, ia melarikan diri. Dengan sarung dililitkan di pinggang bergegas
menuju kaki bukit dan masuk lebih kedalamnya lagi. Langit petang yang merah,
perlahan abu-abu lalu memekat kelam tertutup hutan yang lebat.
Hawa dingin
menusuk, Bujang memacu langkahnya. Sosok berseragam seolah-olah mengejar dan
memanggil dirinya. Sesekali ia menoleh ke belakang. Pergelangan kakinya yang
memerah akibat terkunci kayu selama bertahun-tahun itu sebenarnya masih terasa
ngilu ketika ia berjalan. Sesekali tergelincir di jalan yang licin. lalu
terperosok ke semak-semak di kiri kanannya. Mulutnya komat-kamit merapal doa dan
minta ampun. "Ampuni kami, ampun," ucapnya lirih. Berkali-kali kalimat itu ia
lontarkan meski tiada yang mendengar dan melihatnya. Malam gulita, deru angin
bersahutan seolah-olah tengah mengamuk. Rentetan di langit bak mesiu yang lepas
dari pengempunya, riuh. Seketika sang kawanan rimba membisu, entah itu tertidur
atau barangkali ketakutan melihat langit. Tak terkecuali burung hantu yang
sepertinya tidak menjalankan aksinya malam itu. Selang beberapa saat, berderai
hujan turun tanpa ampun di sekujur tubuh bukit. Kekayuan berderak, helaian daun
kering melayang entah kemana, jatuh membumi atau barangkali terbang ke dimensi
yang berbeda, yang jelas telah gugur dari tampuknya. Pucat pasi wajah Bujang,
sehabis diterjang cuaca.
Deru napasnya memperlihatkan seolah-olah ia tertimpa
reruntuhan bukit batu yang ditaklukkan di malam itu. Ketakutan membawa
langkahnya berpacu, sehingga ia tak peduli lagi akan yang akan terjadi nanti.
Menaiki bukit batu, bukit tertinggi di kampungnya yang terletak di bagian hulu.
Kawasan yang jarang terjamah karna memang banyak hal mistis yang diyakini
penduduk setempat. Kabarnya, di kawasan tersebut pernah terjadi pembunuhan
besar-besaran, hal ini dibenarkan masyarakat dengan banyaknya ditemukan
tengkorak manusia dan puing-puing tempat tinggal yang diukir di dinding batu
juga beberapa pengakuan tetua kampung. Bujang berselonjor di bawah pohon _torok_
yang rindang, daun yang seukuran keset itu diraihnya untuk menutup diri dari
guyuran hujan. Sarungnya yang lusuh telah kuyup disekakan kemuka. Bekas cipratan
air bercampur tanah perjalanan. Bibirnya bergetar karna menggigil kedinginan
juga ketakutan. Bukan suasana hutan lengang yang membuatnya takut, atau juga
hal-hal mistis yang di maksud penduduk desanya, melainkan orang yang berseragam
dirumahnya. Kejadian berpuluh-puluh tahun yang lalu menggerogoti ingatannya.
Dimana ia menyaksikan pembunuhan habis-habisan, tangis bersimbah dimana-mana,
lolongan ketakutan orang-orang pribumi. Yang paling membekas di ingatannya dan
paling menyesakkan saat ia melihat Aral teman sejawatnya di hunuskan senjata
oleh pihak penjajah. "Lari Jang, lari." Suara Aral tercekat memerintah.
Bujang
yang ketakutan bingung hendak bagaimana. Menyelamatkan Aral sama halnya ia
menyerahkan diri. Prajurit itu berdiri tegap dengan garang yang tak segan-segan
menghabisi siapapun di hadapannya. Duarrrrr. Sebuah peluru lepas disisi kanan
Bujang. Kaget bukan kepalang, Bujang berlari sekuat tenaganya merangsek ke semak
belukar bersembunyi. Kesetiakawanannya tak lagi dapat ia pegang. Dalam situasi
pelik, ia tak bisa menyelamatkan Aral. Hujan turun lebat, dibalik semak-semak ia
melihat tubuh Aral terkulai lemah. Darah membanjiri sekitarnya, raung ketakutan
senyap seketika. Di sekeliling, tubuh-tubuh bergelimpangan. Prajurit asing itu
menyipitkan mata, jeli memerhatikan sekitar, memastikan tidak ada yang tersisa.
Dengan napas tertahan bujang menggeser posisinya hati-hati. Takut kalau-kalau
menimbulkan bunyi dan ia bisa ketahuan. Selang beberapa lama, prajurit-prajurit
itu tak terlihat lagi. Rentetan senapan pun tak lagi terdengar, melainkan suara
mobil yang membawa prajurit dan hasil alam semakin menjauh. Sepertinya mereka
telah hengkang dari kampung. Bujang tak kuasa menahan air matanya, disatu sisi
ia beruntung Tuhan menyelamatkan nyawanya, disisi lain ia harus menyaksikan
kehancuran dan mengalami ketakutan itu sepanjang hidupnya. Bujang tinggal
dikawasan kampung bukit, yang mana sebelumnya adalah kawasan ladang orang-orang
dari Sumatra Barat. Berladang. Begitu masyarakat melangsungkan hidup. Saat
kemerdekaan telah tersiar di seantero Indonesia. Masyarakat mulai hidup dengan
tenang. Tatanan kehidupan yang primitif mulai berangsur mengarah ke modernisasi.
Tak hanya berladang, pekerjaan lain pun telah dilakukan, sekolah mulai berdiri.
Perdagangan mulai hilir mudik ke kota kecamatan. Kampung bukit termasuk dalam
jajaran bukit barisan yang membentang di sepanjang pulau Sumatera. Membentuk
sebuah lembah dengan alam yang asri juga penduduk yang bersahaja. Di sanalah
Bujang bermastautin. Setelah kondisi tubuhnya pulih dari luka-luka waktu itu,
Bujang juga tidak bisa bekerja seperti sedia kala. Perilakunya juga tak lagi
biasa, ada masalah dengan mentalnya. Misnah lah satu-satunya keluarga bujang
yang tersisa, ialah anak kakaknya sendiri yang selamat saat pembunuhan kala itu.
Saat itu Misnah baru berusia delapan tahun. Ia berhasil lari bersama rombongan
lainnya. Saat ia diharuskan melanjutkan sekolah ke kota, Bujang dirawat oleh
tetangganya.
Selesai pendidikan Misnah kembali ke kampung bukit. Bekerja sebagai
pengajar di satu-satunya sekolah di sana, sembari mengurus pamannya. Beberapa
tahun belakangan, Bujang mulai berlaku normal, ia mulai berbaur sama siapa saja
tanpa rasa takut seperti biasanya. Namun, ia masih sering menangis di tengah
malam. Atau barangkali meneteskan air mata bahkan disaat ia tertawa. Kadangkala
ia mengamuk membabi buta di lingkungan warga. Hal itu membuat Misnah harus
menguncinya di rumah. Dipasung, jika perlakuan Bujang membahayakan. _Tak ada
yang benar-benar bisa menerima kehilangan dengan mudah, meski digerus waktu
sekalipun. Ingatan tak bisa di hapus. Ketakutan menjelma belati yang mematikan,
perlahan._ **** Di rumah, polisi telah pamit. Tadinya ia menumpang sholat,
Berhubung rumah Misnah berdekatan dengan kantor desa, lampu dikantor tidak
hidup. Pembangkit listrik desa mengalami gangguan belakangan ini, walau begitu
rumah Misnah takkan terkena dampaknya. Karna rumah mereka masih menggunakan
lampu minyak tanah. Misnah menyadari ia belum memberi obat kepada pamannya.
"Berikan ini kepada Datukmu, Nak!" ucap Misnah setelah menyiapkan beberapa butir
obat untuk diberikan kepada Bujang. "Datuk tidak ada, Mak!" balas Partas.
Mendengar itu, Misnah meninggalkan botol lampu yang hendak diisi minyak lalu
bergegas mencari pamanya di sekeliling rumah, sepeninggalnya beberapa saat lalu
Bujang bilang dia mau tidur. Misnah mencari ke rumah tetangga, tapi nihil.
Beberapa dari mereka ikut membantu pencarian. Meski tidak berhubungan darah,
tetangganya selalu peduli akan apa yang terjadi. Serupa keluarga sendiri.
"Pamanmu ke arah sana tadi," ucap seorang laki-laki paruh baya sembari menunjuk
ke arah kaki bukit. Teringat oleh Misnah sesuatu hal, pamannya pasti takut
melihat keberadaan polisi di rumahnya tadi.
Betapa tidak, kejadian serupa pernah
terjadi sebelumnya. Langit gelap, rintik hujan mulai mengecil dan pelan sama
sekali, sehingga pusung tetap menyala. Ditemani beberapa orang tetangga, Misnah
menyusuri puncak bukit yang angker itu. Hawa dingin mencekam, nyanyian hutan
sayup-sayup memanggil. Selang beberapa lama berjalan mengikuti semak-semak yang
patah bekas pijakan. Misnah dan rombongan menemukan Bujang dalam posisi
tersandar di bawah pohon dengan kedua tangan yang mendekap. Bujang ketakutan,
air matanya berkucuran sembari giginya gemeratuk karna kedinginan. "Ya Tuhan,
maafkan Inah Paman."
Tamat
Posting Komentar untuk "Cerpen, "Trauma" Oleh Refniyati"
Silahkan tinggalkan komentar untuk respon atau pertanyaan, kami akan balas secepat mungkin.