Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget Atas Posting

"Ibuku Gila" ) Part 11

 


#IBUKU GILA

#PART 11

Setelah kejadian malam itu, Eis jadi pendiam. Aku tidak pernah lagi mendengar nyanyiannya pagi hari, tidak lagi mendapat godaan dan candaannya padaku. Rumah ini seakan mati, Ayah yang aku lihat paling menderita. Sering aku jumpai lelaki yang membesarkan aku itu menatap Eis yang termenung sambil sesekali melap air matanya dengan punggung tangannya. Aku tidak tahu dengan apa aku harus menghibur adikku itu.

Aku melewati hari-hariku dengan seribu rasa dalam dada. Entah kenapa aku lebih menyukai di kantor daripada di rumah. Selain pekerjaan yang semakin menumpuk melihat luka di wajah Ayah dan mata adikku membuatku merasa menjadi lelaki yang sama sekali tidak berguna. Bagaimana bisa aku melihat orang-orang yang aku sayangi itu berduka tanpa melakukan apapun?

Tidak terasa sudah hampir empat bulan sejak kejadian itu. Ketika aku pulang seperti biasa, larut malam, aku melihat sesuatu yang berbeda di rumah. Rumah yang biasanya sudah dalam keadaan gelap ini masih terang benderang. Aku melirik jam tangan, pukul 23.22. Bergegas ku parkir mobil dan masuk ke rumah, tidak dikunci, perasaanku semakin tidak enak. Tujuan pertamaku adalah kamar Mak.

“Rasanya sakit, Kak.” Aku menghentikan langkah ketika mendengar suara Eis yang terisak. Siapa yang dia panggil kakak?

“Sabar, semua adalah ketentuan Allah. Ini pasti yang terbaik. Percayalah ada rencana yang lebih indah dari Allah untukmu, Dek.” Aku sangat mengenal suara itu, pasti tidak salah. 

“Tapi sakit, Kak, ngilu dalam sini.” Eis memegang dadanya, sungguh aku ‘pun merasakan sakit yang sedang adikku alami.

“Sabar itu bukan berarti tidak sakit, sayang. Justru karena sakitlah makanya pahala sabar itu besar. Bahkan Allah mengatakan dalam Al-Quran, jadikanlah salat dan sabar sebagai penolongmu.”

“Tolong Eis, Kak, tolong Eis.” Eis menangis dalam pelukan Humaira, wanita bersahaja itu memeluk Eis. Aku juga dapat melihat jelas bahwa dia ‘pun menangis.

“Mintalah pertolongan hanya pada Allah, sayang.”

Suaranya terdengar begitu sejuk dan merdu di gendang telingaku. Betapa aku ingin bergabung tapi aku tahu keberadaanku nanti akan menganggu mereka. Aku memutuskan meninggalkan kamar Eis, melanjutkan langkahku ke kamar Mak. Akan tetapi langkahku ‘pun berhenti karena aku melihat kamar tersebut dalam keadaan gelap gulita. Ayah dan Mak pasti sudah tidur.

Aku memilih masuk ke kamarku, tanpa menyapa Eis dan Humaira terlebih dahulu. Aku ingin sekali ikut menghibur Eis namun aku tidak tahu bagaimana caranya. 

***

Sepertinya malam memelukku dengan erat hingga mataku enggan terbuka. Sayup-sayup aku mendengar suara seseorang mengaji. Merdu. Siapa yang sedang mengaji itu, setahuku Eis tidak memiliki suara semerdu itu. Dan lagi dia jarang sekali mengaji meski salatnya jarang bolong sepertiku.

Perlahan aku menyibak selimut yang nangkring di tubuhku. Menajamkan pendengaranku. Perlahan kesadaranku pulih, dan menyadari kalau tadi malam ada Humaira di rumah. Mungkinkah?

Aku sangat yakin sekarang kalau itu adalah suara gadis manis itu, ternyata dia tidak pulang tadi malam. Hatiku seperti disapa embun pagi, sejuk. Ternyata malam sudah berganti subuh, aku mendengar zikir dari mesjid yang tidak jauh dari rumah.

Buru-buru aku masuk kamar mandi, mandi dan langsung berwudu. Kami memang bukan dari keluarga religius, akan tetapi salat adalah sesuatu yang wajib kami lakukan.

Pukul 5 pagi, biasanya Eis sudah sibuk di dapur dengan Mbok Nar. Aku melangkah keluar kamar, entah kenapa hatiku berdebar-debar. Aku sangat yakin bahwa Humaira memang menginap malam tadi di rumah.

“Eh, Bang, tumben udah turun biasanya masih meram di kamar.” Betapa ingin ku getok jidat adikku itu, bisa-bisanya dia membongkar kebiasaan burukku.

“Iya nih, kok tumben Bang Satria udah turun.” Mbok Nar malah ikut-ikutan menyudutkanku.

“Iya Mbok, entah kenapa pagi ini ingin minum teh, badan pegal-pegal dari malam tadi.” Aku mencari-cari alasan, mana ada hubungan antara teh dengan pegal. Satria__Satria, nyari alasan aja nggak bener. Umpatku dalam hati.

“Kecapean itu, Bang, makanya kalau kerja jangan sampai malam. Sesekali manjain badan.” Mbok Nar menasehatiku sambil membuatkan teh jahe.

“Nih Mbok bikinkan wedang jahe, biar badannya enakan.” Mbok Nar memang bersuku Jawa, jadi paling pintar kalau buat jamu dan minuman-minuman berkhasiat lainnya.

“Eis, tadi Abang dengar suara ngaji, siapa sih?” aku pura-pura tidak tahu.

“Oh iya, Bang, lupa ngasih tahu kalau di rumah ada Kak Mey.”

“Humaira?” aku pura-pura kaget.

Eis mengangguk. Yes, dia percaya aku tidak mengetahui keberadaan Humaira di rumah kami.

“Emang ada apa, kok tumben nginap?”

“Nggak ada sih Bang, kebetulan Bapak Kak Mey pulang ke Riau jadi Kak Mey nggak ada kawan di rumah. 

Ulala, hatiku ditumbuhi bunga bermekaran mendengar penjelasan Eis. Akan tetapi aku pura-pura tidak terjadi apa-apa dalam hatiku. 

“Berapa hari?”

“Seminggu.”

Aku ingin salto karena senang mendengarnya. Seminggu ini aku akan melihat gadis itu di rumah. Seandainya seumur hidup. Eh.

“Assalamualaykum.”

Kami menoleh ke sumber suara, aku langsung terpana melihat keanggunan gadis itu dalam balutan baju rumahan.

“Waalaykumsalam,” jawab Eis.

“Masak apa Eis?” Gila, aku dicuekin. 

“Ini Kak, buatin bubur untuk Mak dan sarapan untuk kita nanti.”

“Wah, kelihatannya lezat, boleh kakak bantu?”

“Nggak usah Kak, sana gih duduk dekat Bang Satria, kasihan tu sendirian.” Eis mengarahkan dagunya ke arahku.

Humaira salah tingkah, aku melihat rona merah di pipinya. Gadis itu menunduk mungkin dia malu.

“Wah, pagi-pagi dapur udah rame nih,” Ayah menyelamatkan Humaira. Setidaknya itu yang ada dalam pikiranku. Benar saja, gadis itu langsung tersenyum melihat ke arah Ayah dan Mak yang baru bergabung.

“Ayah dan Mak mau minum apa biar Mey buatkan?” gadis itu tersenyum manis.

“Eh, jangan cah ayu, biar Mbok aja.”

“Nggak apa-apa, Mbok, Mey aja. Bolehkan, Ayah?” dia meminta persetujuan Ayah. Ayah mengangguk sambil tersenyum.

Dengan lincah gadis itu menyiapkan teh untuk Ayah dan Mak, dia seperti melayani orang tuanya sendiri. Pikiranku langsung kemana-mana.

***


Bersambung.......

Posting Komentar untuk ""Ibuku Gila" ) Part 11"

Kami menerima Kiriman Tulisan dari pembaca, Kirim naskah ke email redaksi lenggokmedia@gmail.com dengan subjek sesuai nama rubrik atau Klik link https://wa.me/+6282388859812 untuk langsung terhubung ke Whatsapp Kami.