Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget Atas Posting

Memeluk Bumi

 MEMELUK BUMI

Oleh, Reni Juniarti

Zahara, gadis manis dengan sepasang mata indah itu mengerjap menatap lurus mataku. Ada rasa ingin tahu yang besar di sana. Ku pasang senyum termanis yang aku miliki, sungguh aku sangat terpesona dengan gadis kecil ini. Perkenalan kami terbilang aneh, yah, aku mengenalnya sekitar tiga bulan yang lalu di dekat hutan yang hampir gundul sebelah selatan kampung ini. Kampung Berawan, nama yang aneh, seaneh penduduknya tidak terkecuali dengan gadis manis ini. Entah dari mana asal muasal nama itu, kalau dilihat dari suasananya, kampung ini biasa saja, bahkan jarang Berawan. Panas.

“Betulkah Uni?” Matanya mengerjap lagi, aku terpesona. Pipinya kemerahan dan rambutnya yang legam sepinggang.

Aku mengangguk. Ku sibak poninya agar aku bisa melihat mata bening itu dengan jelas.

“Ara tahu ini apa?” Aku menunjukkan bibit pohon pinus padanya.

Gadis itu menggeleng. “Inilah pinus yang Uni ceritakan.” Matanya kembali membulat. Tangan mungilnya menjulur pelan menyentuh pinus di tanganku. Dia membelai pinus dalam polybag yang aku bawa, mulutnya menganga takjub, aku gemas melihatnya.

Uni, cantik sekali pohon ini, seperti bunga depan musholla itu ‘kan?”

Aku mengangguk tanpa mengalihkan pandanganku dari wajah gadis kecil di depanku ini. Aku ingat di depan musholla memang ada sejenis tanaman yang sangat mirip daunnya dengan daun pinus. Aku ingat itu adalah salah satu jenis tanaman hias, tapi aku lupa namanya.

“Boleh Ara minta satu, Uni?” Mata indah itu kembali mengerjap, ada harapan di sana. Aku ingin menatap harapan yang ada di bening bola matanya berlama-lama, sengaja aku tak menjawab pertanyaannya itu. Hanya seutas senyum ku ukir di wajahku.

Uni, boleh?”

“Boleh, asal Ara mau belajar ngaji dengan Uni?”

“Kata Ibu, itu tidak penting, Uni, yang penting itu ..., “

“Zahara, pulang!” 

Teriakan seorang wanita tiga puluhan menghentikan ucapan Zahara. Wajah gadis kecil itu ketakutan, dia langsung berbalik dan berlari ke arah wanita itu. Aku melihat jelas kemarahan dan kebencian di mata wanita itu untukku. Aku menarik napas dalam. 

Sampai saat ini aku tidak pernah tahu apa alasan Uni Dar, ibu Zahara begitu membenciku, aku tidak pernah merasa melakukan salah padanya. Aku juga tidak pernah menyakitinya, bagaimana bisa aku menyakitinya kalau kenal saja belum? Tapi kali ini Uni Dar sudah keterlaluan, kemaren-kemaren dia hanya menatapku sinis, acuh tak acuh saat ku tegur, tapi kali ini kenapa Zahara juga mulai dia larang bersamaku? Sebenarnya apa salahku?

Aku memutuskan untuk menanyakannya pada Uni Dar, aku harus tahu apa yang menjadi masalah antara kami. 

Uni!” Panggilku setengah berteriak karena wanita yang aku yakin sebenarnya cantik itu sudah agak jauh. Dia cuek seakan tidak mendengar, padahal aku yakin dia mendengar panggilanku.

Uni Dar!” Sengaja suaraku ku keraskan dari sebelumnya. Dia tetap melenggang cuek. Aku merasa seperti ada sengatan di kepalaku, ingin sekali aku melempar wanita itu dengan polybag yang ada di tanganku. Sekuat tenaga aku menahan kemarahan yang mulai menyelimuti hatiku, aku menarik napas panjang dan menghembuskannya lewat mulut berulang-ulang. Besok aku harus menemui wanita itu, apapun dan bagaimanapun caranya.

***

Pagi ini dingin begitu menggigit, memaksaku merapatkan jaket coklat tua yang aku pakai. Sengaja aku pilih waktu pagi untuk menemui Uni Dar, tapi sebelum bertemu wanita ini aku ingin menemui Zahara terlebih dahulu. Gadis manis bermata indah yang telah menawan hatiku dan memasung perasaanku padanya. Entah pemikat jenis apa yang dimiliki Zahara sehingga aku begitu menyayanginya.

Aku sangat tahu di mana menemukan Ara, panggilan untuk Zahara. Yah, di kaki bukit dekat sungai yang sepertinya sudah dicemari limbah pabrik. Gadis kecil itu pasti ke sana, hampir setiap pagi dia ke sana dan berperilaku aneh. Bagaimana tidak aneh jika melihat gadis manis itu telungkup di bawah pohon besar, dan merupakan satu-satunya pohon yang tersisa meski sebagian dahannya juga sudah meranggas. Entah apa yang ada dalam pikiran gadis manis itu, sengaja aku biarkan dia beberapa saat, menatapnya penuh tanya, karena aku yakin, ketika aku menanyakannya langsung maka senyum selalu menjadi jawaban. Ara, tidak pernah memberi alasan kenapa dia melakukan itu, berpeluk dengan bumi. Aku melangkah mendekat setelah merasa cukup memandang kebiasaan aneh Ara. Dia selalu melakukan ini setiap pagi menyapa bumi. Meski dingin memeluk tubuh mungil itu, embun membelai wajahnya yang sedikit pucat, dia akan tetap memeluk bumi sambil memejamkan mata.

Aku pandangi wajah yang terpejam itu, bibirnya sedikit membiru mungkin dia kedinginan. Aku melepas jaket coklat yang aku pakai dan menyelimutkannya pada Ara. Perlahan matanya terbuka dan binar bahagia langsung terlihat pada bening bola matanya. 

Uni Ar, mau ke mana?”

“Ketemu, Ara.”

“Kenapa?”

Uni mau main ke rumah, Ara, boleh?”

Perlahan dia duduk, ada keraguan di bola matanya. Keningnya berkerut seperti berpikir, lucu, gadis kecil itu juga menggigit bibir bawahnya. Aku tahu dia ingin menolak tapi tidak enak padaku.

“Ara, Uni boleh main ke rumah, Ara?”

“Mmm, nanti Ibu tidak suka.”

Suaranya pelan hampir tak terdengar, wajahnya menunduk. Aku menangkupkan kedua tanganku ke pipi Ara, menatap bening matanya yang kini berkabut duka. Wajahnya sendu.

Uni tetap mau ke rumah Ara, meski Ibu tidak suka. Uni tidak akan membuat marah Ibu nanti.”

“Tapi kata Ibu, Ara tidak boleh lagi main sama, Uni.”

Wajahnya kembali menunduk. Bah, kali ini aku merasa Uni Dar sudah keterlaluan. Apa yang aku lakukan sehingga wanita itu begitu membenciku. Bukan Arsila Ningrum Prasetyo namaku kalau tidak mencari tahu penyebabnya. Aku juga bukan tipe orang yang mencari tahu dari orang lain, aku wajib menemui Uni Dar. Harus!

“Yuk, Ara, Uni antar pulang.” Aku melihat keraguan di wajah anak itu. Aku ulurkan tangan dan membantunya berdiri. Dia menurut, begitu juga saat aku menarik tangannya lembut. Kami berjalan bergandengan, matahari mulai mengirim sinarnya ke bumi menimpa wajah para pejalan kaki yang sesekali berselisih jalan dengan kami. Aku juga merasakan hangatnya menyentuh wajahku, meski dingin belum sempurna pergi.

“Assalamu’alaykum, Ibu.”

“Wa’alaykumussalam, Ara. Sudah pulang? Cepat mandi dan makan, Ibu mau ke pasar sebentar mengantar kue-kue ini. Selesai makan, bantu ibu membereskan rumah ya.” Suara Uni Dar bagaikan rentetan peluru dari dalam tanpa melihat ke arah kami. Rumah panggung itu memang tidak terlalu besar, tapi bersih dan entah kenapa aku merasa nyaman. Ini pertama kalinya aku menyambangi rumah penduduk, biasanya dari perumahan karyawan aku akan langsung ke pabrik. Tidak lama berselang dia menoleh, matanya langsung menyipit tidak suka begitu melihatku.

“Ara, kenapa bawa orang asing ke rumah? Apa kamu lupa pesan Ibu?”

“Aku yang maksa ikut, Uni, jangan marahi Ara.”

“Ara, masuk dan mandi. Dan kamu, siapapun kamu pergilah, kami tidak menerima tamu.” Wajahnya masam menatapku.

Ara takut-takut masuk, sesekali dia menoleh ke arahku. Aku mengangguk tersenyum, semoga dia paham maksudku Uni tidak apa-apa, Ara. Begitu Ara masuk, Uni Dar langsung bergegas ke arah pintu, aku tahu dia akan menutup pintu maka secepat kilat aku masuk lebih dulu. Matanya melotot tidak suka.

“Aku tahu ini tidak sopan, Uni, tapi aku benar-benar butuh penjelasan. Kenapa Uni begitu membenciku, kesalahan seperti apa yang pernah aku lakukan terhadap Uni?”

Dia tersenyum sinis, “aku membenci semua orang yang berhubungan dengan pabrik sialan itu.” Wanita itu menunjuk pabrik tempatku bekerja.

“Tapi kenapa, Uni? Apa kesalahan kami?”

Matanya langsung berkilat marah, dia menatapku tajam, aku melihat dadanya turun naik, aku tahu dia sedang meredam kemarahannya. Tiba-tiba dia menarik tanganku keluar, aku kaget dan hampir terjungkal.

“Apa kamu pikir kampung kami ini seperti ini dari dulu? Tidak Arsila Ningrum Prasetyo, kampung kami ini hijau dan asri sebelum Bapak kamu yang terhormat mendirikan pabrik dekat kampung kami.” Aku kaget, dari mana dia tahu nama asliku, dan dia juga tahu aku adalah anak pemilik pabrik itu. 

“Kamu pernah dengar firman Allah dalam Al Quran surat Ar-Rum yang berbunyi, Telah nampak kerusakan di darat dan di lautan akibat perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)? Kalau pernah aku kasih tau, kalian yang berbuat kami yang menanggung. Itulah alasan kenapa aku membencimu.” Mata Uni Dar menatapku tajam, “mati-matian aku berusaha mengangkat marwah kampungku untuk meninggalkan segala ritual syirik, tapi dalam sekejap kemiskinan menyeret mereka kembali ke sana. Kamu lihat, pohon beringin besar itu, mereka menganggap itu keramat karena itu satu-satunya pohon yang masih hidup setelah sekian lama.” Aku terdiam, mata berkaca-kaca milik Uni Dar menyedot semua rasa ingin tahuku tadi. Seketika lidahku kelu tak mampu berucap.

Aku di tampar oleh rasa sombongku, merasa paling berguna dan paling hebat, tapi aku justru lupa ukuran kehebatan bukan ada dalam diri kita tapi pada manfaat kita bagi orang lain. Benar kata Uni Dar, pabrik kami telah merenggut kebahagiaan kampung ini, sungai mereka tercemar, udara mereka tercemar dan iman mereka juga mulai tercemar. Seperti sabda Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Abu Na’im yang artinya, kemiskinan itu dekat dengan kekufuran. Dan secara tidak langsung keluargaku telah memiskinkan mereka, menghilangkan mata pencarian mereka. Hutan dan sungai itu adalah sumber mata pencaharian mereka dan kami telah merusaknya.

Uni Dar juga menjelaskan, Ara selalu memeluk bumi karena anak itu percaya kalau kita menyayangi bumi maka bumipun akan menyayangi kita. Gadis kecil ini memang terobsesi dengan pohon pinus, semua bermula dari cerita ibunya, yang konon dulunya kampung mereka ada hutan pinus. Betapa sederhana dan polos pikiran anak itu. Aku juga malu saat tahu Ara bukan tidak mau belajar mengaji denganku, tapi gadis kecil itu sudah pandai mengaji karena ibunya, Uni Dar, adalah seorang Qoriah, betapa aku kaget setelah tahu nama lengkapnya. Misdar Hayatun Nisa. Qoriah berkaliber nasional bahkan berkali-kali juara di tingkat internasional, sedang aku?

TAMAT

 Uni : Kakak




Posting Komentar untuk "Memeluk Bumi"

Kami menerima Kiriman Tulisan dari pembaca, Kirim naskah ke email redaksi lenggokmedia@gmail.com dengan subjek sesuai nama rubrik atau Klik link https://wa.me/+6282388859812 untuk langsung terhubung ke Whatsapp Kami.