Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget Atas Posting

Cerpen "Diterkam Datuk" oleh Refniyati


 LIPAH

(Refniyati)


Diterkam Datuk

    Rumput teki bak hamparan permadani terlihat berkilau. Langit senja dengan seksama memantulkan jingganya, sesekali meliuk dihembus angin. Kokah siamang samar-samar terdengar di lereng bukit vila yang terpampang. Pekat, kabut malam mulai berdatangan.

    Suara alu terdengar dari rumah ke rumah, yang sebentar lagi suara kokotuk bersahut dari seberang. Pertanda malam telah menjemput, orang-orang telah masuk kerumah masing-masing, hanya satu dua anak-anak yang berada di perjalanan menuju tempat mengaji. Membawa Al-quran, segelas kopi, dan hanya melilitkan sarung di pinggang, ada pula yang tampak menenteng sesuatu dalam kantong plastik. Barangkali hasil kebunnya. Telah menjadi kebiasaan, guru mengaji diberi hasil kebun atau semacamnya, alih-alih bayar jasa untuk ilmunya. Bayar sebisanya saja.

    Lipah lamat-lamat menatap ke jalan raya. Lengang, laksana hatinya. Ia merindukan orangtuanya, dan kerabat yang lain. Berdekatan tapi terasa jauh.  “Huft, andai Mak masih ada. Tentu ia akan mendengar semua kesahku,” ucap Lipah lirih. Rindu. 

    Meski begitu ia tak dapat menyembunyikan kekesalannya ke pada abahnya, karna dialah Lipah menjalani hidup yang begitu pelik. “Abah tak mengindahkan ucapanku waktu itu,” ucapnya sendu.

   Semilir angin menambah beku sekitar, sejuk sekali. Lekas ditutupnya jendela itu dan menyumpalkan pengait di sana. Lampu teplok telah dinyalakan Mina anak bungsunya. Api meliuk mengikuti irama angin yang berhasil menerobos dinding rumahnya yang dimakan waktu.

 Suara azan terdengar lantang, yang sebelumnya diawali dua sampai tiga kali bunyi ketukan. Suara Toha, siapa lagi kalau bukan lelaki yang satu ini, saban hari lima waktu tak pernah absen. Ada atau tidaknya yang menghiraukan panggilan Yang Kuasa itu.

   Lipah mengernyit dahi, suara itu membuat semangatnya redup. Lafaz azan itu indah sekali jika dikumandangkan orang lain kecuali, Toha. Bukannya mengambil air sembahyang, tapi Lipah memilih berbaring di samping Utar, anaknya yang lumpuh.  

  Badannya terasa berat hendak bangkit, meski ia tau panggilan itu adalah utang yang harus ditebusnya. Tapi kekesalan menguasai dirinya. “Aku tidak tahu harus bagaimana, takdir menjadikan keluarga kita begini,” ucap Lipah sembari berlinangan air mata. Melihat demikian, Utar meraih pipi Maknya sembari mulutnya komat kamit seperti mejelaskan sesuatu, menenangkan Lipah. 

   Dulu Lipah tak pernah alpa dalam sembahyangnya, mengaji, pagi maupun malam hari, saat ia masih remaja. Jika azan berkumandang Lipah bersama temannya bergegas ke telaga dan berebutan hendak duluan berwudhu, takut keburu gelap dan kawasan telaga yang cukup licin akan sulit ditempuh. Atau sekali-kali membawa obor.

  Terdengar suara pengait pintu dilepaskan. Lipah menoleh. Tampak Toha berjalan ke arah pangkin di sisi kanan rumahnya. “Tidak sepertinya ia pulang lebih awal,” ucap Lipah mengernyit. “Ah entahlah, mau dirumah atau tidak tetap saja tak bisa dibedakan keberadaanya. Toh, dia takkan mendengarku yang ada ceramahnya yang keluar dari mulut rentanya itu.”

  Angin kemarau semakin kuat berhembus, sesekali terdengar atap bergesekan dilibas sang bayu membuat rumah seakan-akan hendak runtuh, ya barangkali memang sudah saatnya. Pula sudah uzur. 

  Tiba-tiba suara pengait pintu kembali terdengar, “Siapa?” Lipah hendak bangkit. Toha yang juga mendengar pun lekas turun dan menyambutnya.

“Ada apa, Ngah?” ucap toha melihat raut wajah tamunya yang tampak ketakutan. Lipah yang berbaring telah berdiri di depan pintu.

“Ada orang diterkam Datuk!”

Sontak Lipah dan Toha terbelalak, terakhir mendengar berita serupa yaitu beberapa tahun yang lalu saat ia masih tinggal di ladannganya di lereng bukit vila. Menggigil tulang mendengarnya.

“Jangan bergurau, Ngah. Malam-malam begini.”

“Tidak patutlah hal begini diperguraukan,” dalih Ongah serius.

  Datuk adalah sebutan khusus untuk  harimau. Hewan yang paling ditakuti. Pantang menyebut namanya, ia akan marah. Panggilan Datuk merupakan panggilan terhormat. Tak ada yang berani menentang pantangan itu. Penduduk kampung berpegang kuat akan pantangan dan aturan-aturan tetua dahulu, pituah adat. Meski mayoritas beragama islam, tapi bukan hukum islam yang menjadi tolak ukur pertama melainkan Pituah-pituah tetua terdahulu lebih dipercayai dan  dihormati masyarakat hingga sekarang. Tak hanya Datuk untuk panggilan harimau, juga ular yang dipanggil selendang putri, dan banyak lainnya. Hal ini dengan maksud berlaku lebih sopan kepada yang lebih kuat. 

  Bukankah percaya kepada ketetapan Allah adalah bukti perlindungan yang nyata. Bahkan orang yang berpredikat haji dan paham agama sekalipun masih tak bisa lepas akan kepercayaan demikian.

   Di surau tak terdengar suara Toha yang lantang, ia pergi ketempat orang meninggal itu, suasana semakin lengang, nyamuk yang biasanya sibuk berdengung seolah-olah terbungkam. Hening sama sekali. Malam menjadi lebih panjang dari biasanya, suhu sekitar mendadak terasa lebih dingin hingga ke tulang, hujan mulai merintik tipis. 

    Jikalau keadaan saat ini, siang, tentunya hujan akan diselingi terik matahari. Hujanpanas, pertanda terjadi hal buruk. Jika terjadi demikian, itu tandanya telah terjadi sesuatu, misalnya ada yang mati muda atau mati berdarah atau peringatan dari kubua godang.

   Lipah menambah pengunci pintu, jendela dirapatkan lebih erat, hanya ada ia dan kedua orang anaknya. Toha pergi ke rumah orang yang meninggal.

Duarrrr!

   Lipah terperanjat dari duduknya, jantunganya berdetak lebih kencang, Utar dan Mina yang tertidur karna takut, ikut tersentak. “ Apa itu Mak?” tanya Mina menggigil ketakutan. Lampu teplok mulai meredup, minyak tanah di jerigen pun telah habis. Sepertinya tidak akan bertahan sampai pagi. Lipah menenangkan dua anaknya. Sebenarnya ia juga ketakutan, tapi ia berusaha terlihat berani agar ketakutan anaknya sedikit mereda.

   Pagi sekali, seperti biasanya langit kemarau memancarkan binar, namun suasana terasa berbeda. Orang-orang yang biasanya jam segini telah bergegegas ke ladang, ke sawah, ke kebun atau ketepat kerja lainnya, tampak meliburkan diri.

 Alu di rumah-rumah penduduk masih tak terdengar, senyap. Pertanda penghuninya masih mendekam di rumah.  Menjelang tengah hari baru terlihat pintu terbuka, ibu-ibu mulai terlihat bergosip.

“Bergegas darimana, Ndun?” tanya Lipah saat Hindun melintas di depan rumahnya.

“Oh ini dari rumah Pak kepala desa, mencari tau kebenaran beritanya, kau tau kan orang yang diterkam datuk?” ucapnya serius.

Lipah mengangguk. Menandakan ia mendapat informasi tersebut. 

   Hindun melanjutkan ceritanya, ia menjelaskan, orang yang diterkam datuk itu ialah pak Solih. Saat ia bermalam di ladangnya di daerah kawasan bukit kapur. Istrinya yang saat itu baru kembali dari rumahnya menjemput alat masak, mendapati suaminya tak lagi bernyawa. Untung saja, ia masih sanggup mencari bantuan ke kampung, dan orang-orang mulai berdatangan. Mereka menduga, pak solih telah diamuk hariamau. dugaan warga diperkuat karna memang banyak didapati jejaknya dan tubuh pak solih yang menggenaskan. Organ tubuhnya bagian dalam berserakan, kepalanya pecah dan belulangnya berserakan. 

   Lipah dan Hindun bergidik ngeri dengan kejadian tersebut. Bahkan ini lebih parah dari kejadian bebapa tahun yang lalu. Korbannya hanya diterkam di bagian leher. Kabarnya karna ia melanggar pantangan, ia bersiul di dalam hutan, dan hal ini tak boleh dilakukan.

Dari kejadian itu, masyarakat semakin yakin akan pantangan dan pituah orang terdahulu dan mereka mempercayai dan menghormatinya.

“Aku pulang dulu,” kalimat hindun membuat lipah tersentak dalam khayalannya.

   Lipah pun masuk ke rumah dan mengemas parangnya, ia juga tidak akan bekerja hari ini. Lagipula tak ada yang menjaga anaknya, Toha belum pulang sejak kemari malam. Bisa jadi untuk beberapa hari ini ia tak kembali. Ia selalu saja menjadi oranng paling sibuk saat orang meninggal. Bahkan bukan kerabat dekat sekalipun. Entah ada yang demikian saat ia meninggal nanti. Entahlah.




Posting Komentar untuk "Cerpen "Diterkam Datuk" oleh Refniyati"

Kami menerima Kiriman Tulisan dari pembaca, Kirim naskah ke dengan subjek sesuai nama rubrik ke https://wa.me/+6282388859812 klik untuk langsung terhubung ke Whatsapp Kami.