Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget Atas Posting

Cerpen Islami, "Gamis Oh Gamis"

 

Gamis oh Gamis

Oleh : Margareta


“Gamisku sudah jadul semua. Aku harus beli lagi yang baru. Masa kepengajian baju ini lagi?” ucapku lirih. Aku mencari mama ke seluruh rumah. 

“Ma… mama…!” teriakku memecahkan kelengangan rumahku yang besar dan mewah. Ternyata mama lagi asyik berkebun di taman belakang. 

“Ma, minta uang dong, Ma…,” pintaku memelas di hadapannya. 

“Buat apalagi, Sayang? Papa sudah kasih kamu uang, masa sudah habis?” Mama keheranan. 

“Iya Ma, itu ‘kan buat biaya transport dan jajan. Sekarang Mia pengen beli gamis baru. Masa gamisnya itu-itu mulu?”

“Gamis kamu ‘kan udah banyak. Ngapain beli gamis lagi?” 

“Semuanya sudah pernah Mia pakai, Ma. Mia mau gamis baru pokoknya!” jawabku keukeuh. 

Gamis berwarna salem yang aku lihat di sebuah toko busana muslim kemarin berkelebat lagi. Satu set dengan kerudung lebar plus dalaman kerudung warna senada, aku pasti sangat anggun. Mia yang cantik dan sholihah pastinya, itulah diriku, batinku senang. 

“Ya udah, kapan kamu belanjanya? Satu juta cukup, ‘kan?” tanya Mama. 

“Cukup Ma, nanti sore aja. Thanks ya Mama cantik.” Kucium pipinya. Apa yang tidak buat putri tunggalnya? kataku dalam hati. 

***

Braaak! 

Aku tersungkur di dekat pintu perpustakaan. Oleh karena terburu-buru, aku menginjak ujung gamis baru yang panjang menjuntai. Gamis katun jepang bermotif bunga-bunga sakura kecil, gamis kesekian yang menjadi penghuni baru lemari besarku. 

“Kamu nggak apa-apa?” tanya suara penuh kekhawatiran. Aku cuma meringis, keningku terbentur pintu. Kuraba, terasa ada benjolan kecil. 

“Eh … nggak, cuma sakit sedikit,” jawabku. Ia menuntunku duduk ke kursi yang berjejer rapi di depan perpustakaan. 

“Mbak Sari, ‘kan?” Aku mengenalinya sebagai Ketua Senat Mahasiswa, aktivis kampus dan rohis juga. 

“Saya Mia, Mbak, anak hukum,” lanjutku. Aku mengenalkan diri. 

“Eh, iya. Saya Kartika Sari,” jawabnya kalem. Semua mahasiswa mengenalnya. Gadis yang ramah dan baik hati. Sejak saat itu, kami menjadi akrab. Seringkali kami bertemu dalam acara keislaman di kampus. Ia asyik diajak ngomong apa saja. 

***

“Pulang bareng aku, yuk!” ajak Sari siang itu. Kebetulan hari ini aku tidak bawa mobil ke kampus.

“Beneran nih? Nggak merepotkan?” Aku memastikan ajakannya. 

“Nggak kok, yuk ah!” ajaknya lagi. Begitulah akhirnya, aku membonceng di belakangnya. Motor yang kami kendarai memasuki sebuah rumah megah berhalaman luas. Sari mengajakku masuk ke rumahnya.

“Sepi Ri, orang tuamu ke mana?” tanyaku setelah ia menghidangkan segelas jus alpukat segar. 

“Oh, ummi lagi ada pengajian di masjid, abi lagi ke Malaysia, ada perjalanan bisnis. Jangan tanya saudaraku yang lain ya, aku anak tunggal,” pungkasnya. 

Ternyata kami sama-sama anak tunggal. Kemudian ia mengajakku ke kamarnya yang sangat luas. Aku heran. Di kamarnya, tak banyak pernak-pernik, hanya ada nakas kecil. Di seberangnya, ada sebuah lemari besar penuh dengan buku bacaan. Wah, ternyata teman baruku ini hobi membaca.

Ada juga sebuah lemari pakaian kecil. Ketika mengambil mukena dari dalam lemari, kulihat tak banyak isinya. Hanya ada beberapa potong gamis dan tunik. Padahal sehari-harinya, Sari selalu mengenakan gamis dan baju longgar. 

Masa anak orang kaya, gamisnya bisa dihitung jari? batinku heran. Rasa penasaran ini kuutarakan langsung kepadanya. 

“Ri …,” panggilku pelan setelah salat Asar berjamaah bersamanya. 

“Kamu nggak suka ke mal ya?” tanyaku. “Nggak suka belanja pakaian?” 

“Suka,” jawabnya lagi. Ia menyimpan mukena yang selesai dilipatnya, lalu duduk di atas tempat tidur. 

“Cuma aku memang jarang beli gamis atau baju. Itu hadiah dari umi ketika ulang tahunku sebelumnya. Kau tahu mengapa? Sesungguhnya semua benda yang kita punya akan diminta pertanggungjawabannya. Lagi pula, gamis dan tunik yang kupunya sudah lebih dari cukup. Tidak perlu banyak-banyak. Bisa bergantian memakainya, diselingi dengan tunik dan rok panjang, dikombinasikan dengan setelan yang lain, ‘kan? Umi dan abiku mengajarkan bahwa masih banyak saudara kita yang kurang beruntung. Untuk makan saja mereka kesusahan. Lebih baik uangnya disisihkan buat mereka.” Aku terdiam mencerna perkataannya. 

“Ingat tidak? Suatu hari, Umar datang terlambat ke masjid. Beliau berkata pada jamaah, ’Maafkan saya terlambat karena harus memilih pakaian lain untuk saya pakai.’ Padahal, baju yang saat itu beliau pakai, dengan dua belas tambalan! Siapapun tahu, beliau adalah orang yang paling ditakuti para raja sejazirah Arab. Tidakkah ia menjadi teladan kita?”

Deg! Uraiannya menohokku. Koleksi gamisku dua lemari besar, membuatku malu. Sari, walau terlahir dari keluarga yang sangat mampu, tetapi kehidupan glamour tak mewarnai hari-harinya. Ia tetap sederhana dengan semua fasilitas yang diberikan orang tuanya. Ia mampu memaknai arti kelebihan rezeki yang Allah berikan. Sementara aku yang telah hijrah dan mengaji bertahun-tahun, ternyata tak menghiraukan ajaran yang Rasulullah contohkan.

Aku bersyukur Allah mengingatkan lewat temanku. Hidayah Allah merupakan berkah dalam perjalanan hidupku. Gamis-gamisku akan kusumbangkan untuk para muslimah yang ingin berhijab, namun terkendala uang.

Ah....… Sari, ternyata aku membutuhkan teman yang mengingatkan kala terlena pada sesuatu yang kuanggap wajar. 


Biodata Penulis Margareta, dilahirkan di Manna, pada 9 Oktober. Guru Bahasa Inggris di SMAN 8 Bengkulu Selatan ini sangat suka menulis. Ia ingin setiap tulisannya tidak hanya menghibur tetapi on mission, menyebarkan kebaikan. Beralamat di Bengkulu Selatan. Email: margaretayusuf@gmail.com.







Posting Komentar untuk "Cerpen Islami, "Gamis Oh Gamis""

Kami menerima Kiriman Tulisan dari pembaca, Kirim naskah ke email redaksi lenggokmedia@gmail.com dengan subjek sesuai nama rubrik atau Klik link https://wa.me/+6282388859812 untuk langsung terhubung ke Whatsapp Kami.