Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget Atas Posting

"Pulang" Bagian 3

 

"Pulang"
(Refniyati)
Bagian 3

Sembari menunggu emaknya selesai mandi, Mina melihat-lihat ke hilir sungai, siapa tau selimang ataupun situkah didapatinya barang satu dua ekor. Lama tak mendapatkan lauk lezat itu, Mina ingin sekali makan dengan pais selimang buatan ibunya.  Selama beberapa tahun terakhir lidahnya kebas hanya mengenyam ikan laut, atau patin yang dimasak olehnya ataupun dibeli dirumah makan. Ia ingin sesuatu yang lezat memecah selera, entah itu pais, ataupun kokek, pais ialah ikan yang dimasak dengan cara dibakar, sebelumnya ikan akan dibumbui dan dibalut daun pisang sedangkan kokek ialah ikan yang dibumbui dengan cabe rawit yang pedas dan dibubuhi durian masak.  Seketika ia menelan ludah membayangkan hidangan itu.

Mina turun ke sungai, melipat celana dan bajunya agar tidak basah dan bisa lebih leluasa menangkap ikan. Ia teringat waktu dulu, sepulang sekolah ia dan teman-temannya akan berburu situkah, dibawah teriknya mentari siang dengan menggunakan kacamata yang gagangnya terbuat dari kayu dan kaca sisa perabotan pak Mus. Lalu ia dan teman-temannya akan beria-ria disepanjang sungai kijang bahkan sampai ke sungai desa seberang. Jika hari sekolah, mereka akan kembali lebih awal karena siangnya ia akan MDA jika hari Minggu atau hari libur sepanjang hari mereka akan habiskan di sungai. Kadang ikan yang diperoleh cukup banyak, kadang hanya cukup untuk dimakan dia dan adiknya. 

"Tak ada ikan sekarang, Na," ucap seorang ibu-ibu yang tengah asyik menggosokkan lengannya dengan batu ukuran sedang. 

"Biasanya banyak, Mak wo," balasnya. 

"Entah kalau kamu beruntung, datanglah ikan itu berduyun-duyun," lanjutnya, dengan tangan yang masih asyik menggosokkan batu. Telah menjadi kebiasaan masyarakat saat disungai, bukannya sabun ataupun pembersih lainnya tidak ada. Tapi menggunakan batu akan lebih mengangkat kotoran secara menyeluruh, ya membuang daki. 

Mentari siang mulai condong ke barat, sungai semakin ramai karena banyaknya para perempuan yang baru kembali dari ladang ataupun sawah mereka. Begitu juga anak-anak yang baru pulang sekolah mereka berhamburan, melompat dari tebing sehingga membuat air memancar ketepian, beberapa orang tua meninggikan suaranya.

"Ancau, hoi."

Mina tersenyum sembari geleng-geleng kepala. Ia paham tingkah anak-anak seperti itu lumrah terjadi di kampungnya bahkan sejak saat dia kecil dulu. Lalu ia kembali melanjutkan aktivitasnya, dibolak-baliknya batu-batu itu dengan hati-hati. Aliran yang deras tapi dangkal adalah tempat favorit situkah bersembunyi sehingga akan mudah ditangkap walau dengan tangan kosong. Entah berapa batu yang telah dibaliknya bahkan jarak yang cukup jauh ke hilir tak satupun didapati ikan kesukaan itu. Seekor anaknya saja jadilah, pengobat rindu yang telah lama, ngiler betul.

"Moh, balik!" ucap emaknya yang telah selesai mandi, di kepalanya baskom berisi piring dan gelas yang siap dicuci ditopang oleh tangan kiri, dan kanannya memegang balutan daun pisang yang berisi pakis segar. 

"Iyaa," balas Mina lalu bergegas ke tebing. Ditentengnya cucian emaknya. Begitulah ketika ia tak di rumah, sang emak harus mengemban semua tugas, mulai itu memasak, mencuci, menyiangi sawah, dan kadang menderes karet ketika ayahnya pergi ke ladang atau bekerja ditempat lain 

Begitulah kerasnya kehidupan perempuan di kampungnya. Jangankan beli skincare maupun mengunjungi pusat perbelanjaan mewah, untuk menghidupi kehidupan sehari-hari pun begitu pelik, harus lintang pukang menggeluti pekerjaan. Mina sadar dia bukan berasal dari keluarga kaya maupun berpendidikan, ayah dan ibunya tidak tamat SD dan untuk pekerjaan mereka  hanya petani kecil, tapi ia tak berputus asa dalam mencapai cita-citanya. Bersekolah, berpendidikan, dapat bermanfaat bagi orang banyak. Beruntung kedua orangtuanya mengerti dan mendukung keinginan putrinya itu. 

Selama beberapa tahun diperantauan, betapa kerinduan menyelimuti seorang anak dengan orang tuanya, tanah kelahirannya dan sebaliknya seorang orang tua yang tidak tau apa yang terjadi dengan anaknya diluar sana. 

***

"Pohon duriannya mana Mak?" tanya Mina saat melewati jalan menuju rumah.

 Jarak yang cukup jauh itu terasa sangat asing baginya. Cenderung lebih dekat sekarang. Entah langkahnya sekarang yang lebih panjang hanyakarena ia telah dewasa atau memang posisi sungai yang semakin menyusut dan mendekati perkampungan. Beberapa langkah saja dari bibir sungai telah bertemu langsung dengan perumahan penduduk. Berbeda sekali saat waktu dulu, rasanya akan sangat lelah berlari dengan teman-temannya saling mendahului karena takut kawasan itu cukup sepi, ditambah lagi pohon durian dan Jejawi yang bersebelahan seperti monster siap memakan anak kecil yang suka berkeliaran. 

"Sudah ditebang," jawab emak sekenanya.

 Mina merasa tak puas dengan jawaban itu, ia tahu pohon itu memang ditebang dari bekas yang terpotong rapi. Tapi kenapa ditebang, bukankah pokok durian itu selalu memberikan buah yang luar biasa banyaknya. Enak dan begitu lezat.

"Iya, maksudnya kenapa ditebang, Mak?" lagi-lagi Mina protes.

"Dijual Ongah." balas emak pendek. 

Mina terdiam merenungi  betapa kasiannya kawasan itu telah gersang. Lebih kasihan lagi dirinya yang tak bisa makan lauk selimang dan situkah itu. 

 Ekonomi yang pelik sekarang membuat masyarakat mengupayakan apapun untuk menghasilkan uang. Padahal dampak yang dilakukan akan jauh merugikan nantinya. Tak hanya durian, rumpun betung di pinggiran sungai pun telah habis dibabat. 

"Bahaya kalau banjir, Mak, tak ada yang menahan,"

"Bajir tak pernah lagi sekarang," balas emak. 

"Kenapa begitu, Mak?"

"Pepohonan tak ada lagi, ditebang dan dijual ke kota."

Lagi-lagi Mina terdiam, memahami penyebab dari ucapan emaknya. Benar saja, jangankan luapan sungai, untuk keperluan mandi dan mencuci saja masyarakat mulai kesulitan. Akibat di hulu pepohonan yang ditebangi. Mina teringat kalau kayu-kayu gelondongan yang tertata di pinggiran jalan menuju kota itu salah satunya diperoleh dari hutan di kampungnya. Padahal ia kerap kali bercerita kepada teman-teman nya yang pencinta alam bahwa betapa kayanya tanah Cipang akan pepohonan. Melihat situasi hari ini, ia tak yakin sebutan kaya itu pantas digamit hutan di kampungnya. 

Letak sungai yang berada di seberang jalan utama desa itu membuatnya harus menyeberangi jalan dan diharuskan menunggu karena saat itu mobil-mobil pengangkut hasil hutan itu lewat, begitu banyak jumlahnya, hijau dan kuning, mobil itu penuh dengan kayu gelondongan, belum lagi debu-debu bertebaran akibat jalan berpasir yang dilindas. Mina menutupi baskom bawaannya yang berisi kain yang telah dicuci. Sedangkan ibunya telah tiba dirumah. 

***

Petang itu setelah membantu emaknya memasak, mereka makan bersama, kecuali ayahnya karena belum kembali dari ladang. Ibun, Mina dan adiknya, makan berlauk gulai pakis serta sambal belacan. Selain kelaparan tapi rasa masakan yang lezat membuat Mina menambah nasi beberapa kali. 

"Mak, Mina dapat beasiswa S2!" ucapnya seusai makan.

Emaknya tampak terdiam, lalu dengan suara berat ia bertanya "Jadi nanti kembali ke kota?"

Mina menyeka sudut matanya yang mulai terasa hangat, ia tahu kepulangannya sangat dinantikan oleh keluarganya namun ia membicarakan kepergian berikutnya. 

"Belum tau, nunggu persetujuan emak dan ayah, pun beasiswanya diluar negeri, Mak," Mina memberitahu. 

Emaknya terdiam lebih dalam, mendengar kata luar negeri ia membayangkan kehilangan putri mereka satu-satunya. Namun ia juga harus memahami maksud dan keinginan anaknya itu.

"Nanti, bicarakan ke ayahmu dulu," balasnya. 

Mina mengangguk paham. 




Posting Komentar untuk ""Pulang" Bagian 3"

Kami menerima Kiriman Tulisan dari pembaca, Kirim naskah ke email redaksi lenggokmedia@gmail.com dengan subjek sesuai nama rubrik atau Klik link https://wa.me/+6282388859812 untuk langsung terhubung ke Whatsapp Kami.