Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget Atas Posting

Putri Hujan dan Zevanya. Cerpen Oleh F.Veronika

 Putri Hujan dan Zevanya

Karya F. Veronika

    Mereka berkata akan selalu ada pelangi setelah hujan, aku pikir mereka salah! Tidak akan ada pelangi setelah hujan dimalam hari. Seorang gadis kecil duduk termenung dihadapan jendela kamarnya. Sudah setengah jam lebih ia berada di sana menatap guyuran hujan yang membasahi kota Bandung. Senyum manis terbit di bibir mungilnya.

   "Zevanya?" suara seseorang dari arah belakang berhasil mengagetkannya. Anak itu menoleh dan tersenyum kepada seseorang yang baru saja masuk ke dalam kamarnya. 

    "Iya mama..."

  "Belum selesai?" tanya wanita yang tak lain adalah Amira, ibu dari anak itu. Anak itu menggeleng. "Belum mama...sebentar lagi Vanya masih mau melihat hujan." Amira menghela napas sesaat, lalu mengangguk kemudian. Ia sudah sangat hapal kebiasaan putri kesayangannya ini. Setiap hujan Zevanya selalu duduk didekat jendela untuk melihat hujan. 

 "Vanya sudah minum obat?" Zevanya menggeleng yang membuat Amira mengernyitkan dahinya. 

    "Kenapa?"

  "Pahit mama..." lirih Zevanya sambil menundukkan kepalanya. Amira tersenyum kecut kemudian mengusap kepala anaknya lembut.

    "Vanya mau sembuhkan?"

    "Mau"

   "Kalo gitu Vanya harus minum obat! Vanya kan udah janji sama dokter Ana"

     "Maafkan Vanya mama..."

    "It's okey sayang! Ya udah mama ambilin obatnya yah" 

 "Iya ma" Zevanya Ayudea Veronika, gadis kecil berusia 10 tahun ini divonis mengidap leukimia atau kanker darah saat ia berusia 8 tahun. Sejak saat itu hari-hari Zevanya selalu dipenuhi dengan menegak obat-obatan dan menjalani beberapa pengobatan lainnya. Keluar masuk rumah sakit adalah hal yang biasa ia lakukan. Semua itu ia lakukan hanya untuk satu tujuan yaitu bertahan hidup. Ironis bukan, disaat anak-anak seusianya tengah asik bermain bersama teman-teman mereka Zevanya malah sibuk dengan semua rasa sakit yang menimpanya. Hanya keberadaan Amira, sang mama yang membuat anak itu bertahan. Kevin papanya telah meninggal saat Zevanya berusia 2 tahun akibat  kecelakaan pesawat. 

   "Ini sayang obatnya!" Zevanya tersenyum lalu mengambil beberapa butir obat yg disodorkan mamanya. Zevanya meneguknya bersamaan dengan segelas air putih. Rasa pahit menjalar dilidahnya yang membuat Zevanya meringis sambil menahan mual diperutnya. Amira menggigit bibir bawahnya menahan tangis. Sebagai seorang ibu tentu saja perasaannya hancur melihat kondisi anaknya yg semakin hari semakin memburuk. Tanpa Amira sadari air matanya telah meluncur bebas dipipinya. 

  "Mama jangan nangis... Vanya baik-baik aja kok! " ujar Zevanya sambil menyekah air mata di pipi Amira menggunakan ibu jarinya. 

  "Mama... Vanya itu kuat kayak hujan!"

    "Hujan? "

  "Iyaa, hujan itu kuat mama!  Walaupun dijatuhkan dari ketinggian oleh awan, tapi dia gak pernah ngeluh...hujan juga selalu meninggalkan pelangi meski nanti ia bakalan lenyap di bumi." Amira benar-benar terdiam mendengar perkataan putrinya. Ia berjongkok didepan Zevanya dan mengusap kepalanya lembut.

    "Anak mama tambah pinter yah sekarang!"

   "Hehehe itu Vanya diajarin sama dokter Ana sih," ujar Vanya dengan cengiran khasnya.

 "Ya sudah sekarang Vanya istirahat yah...besok pagi kita ke rumah sakit ketemu dokter Ana" mata Zevanya langsung berbinar mendengar perkataan mamanya. 

    "Benar ma? "

   "Iya sayang." Pagi harinya Amira membawa Zevanya ke rumah sakit tempat di mana dokter Ana bekerja. Hari ini Zevanya akan melakukan kemoterapi untuk yang kesekian kalinya. Tidak ada raut wajah sedih pada anak itu. Senyum ceria yang selalu ia tampakkan membuat orang lain juga ikut tersenyum kala melihatnya.  Orang yang melihatnya pasti akan berpikir bahwa anak itu baik-baik saja padahal kenyataannya tidak. Ia menyimpan begitu banyak kesakitan di dalam senyumnya. 

   "Mama nanti bakalan nungguin Vanya kan? " 

   "Iya dong sayang! Mama bakalan selalu di samping Vanya" 

   "Eh mama itu dokter Ana! Dokter Anaaa!!" Amira mengikuti arah pandang Zevanya. Dari arah depan mereka terlihat seorang yang tengah berjalan dan tersenyum hangat. Itu dokter Ana, dokter spesialis yang menangani Zevanya sejak dua tahun belakangan. 

   "Cantiknya dokter udah siap buat kemoterapi?" sapa dokter Ana ramah.

 "Udah dong!" Zevanya mengangguk antusias.

    "Baguss! Mari kita keruangan Vanya..." dokter Ana mengaitkan tangannya dengan tangan mungil Zevanya. Amira tersenyum melihat kedekatan dokter dan pasiennya ini.  Mereka berjalan memasuki ruang rawat yang sudah disulap menyerupai kamar Zevanya. Ruangan ini adalah ruang khusus untuk Zevanya sewaktu-waktu kondisinya memburuk. Zevanya tidak melakukan rawat inap karena ia sudah bersekolah dan anak itu juga tidak terlalu menyukai suasana rumah sakit.  Dokter Ana mengangkat tubuh mungil Zevanya untuk naik di atas brangkar. Saat periksaan berlangsung dokter Ana selalu mengajak Zevanya bercerita tentang kondisinya akhir-akhir ini. Dengan antusiasnya Zevanya bercerita dan berkeluh kesah tentang semua rasa sakit yang ia alami. 

  "Kemaren kaki Vanya susah digerakin dok! Vanya takut banget gak bisa jalan lagi kayak yg lainnya..." lirih Vanya yang membuat dokter Ana dan Amira mamanya saling pandang. 

   "Sekarang dokter mau tanya! Obat yang dokter kasih Vanya minum dengan rutin kan?"

    "Iya, Vanya minum rutin kok dok tanya mama kalo gak percaya!" dokter Ana tersenyum dan mengacak rambut Zevanya gemas.  

  "Tahan yah ini sakitnya cuma sebentar kok!" Zevanya mengangguk. Amira menggenggam erat tangan Zevanya saat kateternya mulai disambung dengan selang yang terhubung dengan cairan kemonya. Zevanya memejamkan matanya menikmati setiap rasa sakit yang hinggap ditubuhnya. Belum lagi efek samping yang akan dideritanya setelah ini. Setelah selesai Zevanya harus dirawat beberapa waktu di sini hingga kondisinya membaik. Siklus ini harus ia rasakan dan jalani secara terus menerus. Entah sampai kapan ia tidak tau, yang jelas ia ingin bertahan dan terus hidup bersama orang-orang yang ia sayangi. Saat ini Zevanya tengah berbaring di atas brangkar ditemani oleh dokter ana. Mamanya sedang keluar untuk membeli makanan dan juga beberapa perlengkapan untuk rawat inap. Zevanya menyuruh dokter Ana mendekat melalui isyarat tangannya. Dokter Ana yang saat itu duduk di sofa langsung berdiri dan menghampiri Zevanya. 

    "Kenapa? Apakah ada yang sakit?" tanya dokter Ana lembut. 

   "Seluruh tubuh Vanya sakit dokter, Vanya gak bisa gerak..." keluh Zevanya.

   "Tahan sebentar lagi yah! Itu mungkin efek kemo yang kita lakukan tadi," Zevanya mengangguk lemah.

    "Dokter..."

    "Iya cantik!"

   "Apa Vanya bisa sembuh?" dokter Ana mengerutkan keningnya bingung.

   "Tentu saja Vanya bisa sembuh! Asalkan... Vanya rajin minum obat sama dengerin omongannya mama!" 

  "Vanya selalu minum obat, selalu dengerin omongan mama, Vanya juga rajin belajar dan gak pernah nakal tapi kenapa tuhan gak mau sembuhin Vanya! Tuhan benci Vanya yah dokter?" dokter Ana tertegun beberapa saat setelah itu ia langsung memeluk pasiennya itu erat.

   "Vanya gak boleh ngomong gitu! Tuhan sayang sama Vanya sama seperti yang lainnya, tuhan kasih vanya penyakit karena tuhan sayang sama Vanya! Tuhan tau Vanya itu lebih kuat dan sabar dari yang lainnya..." 

   "Tapi Vanya capek dokter...tubuh vanya sakit semua! Hiks... Hiks..." butiran bening mengalir deras dipipi anak itu yang membuat hati dokter Ana sakit sekaligus pilu. 

   "Dokter kan udah pernah bilang kalo Vanya itu kuat kayak hujan...Vanya itu putri hujan! Akan selalu ada pelangi setelah hujan, jadi Vanya gak boleh nyerah okey cantik!!" kata-kata dan ucapan lembut dokter Ana mampu menenangkan Zevanya. Tangisnya mulai meredah walaupun tatapan sendu dan kesakitan tertampang jelas diwajahnya. Dokter Ana melihat jam di pergelangan tangannya kemudian ia tersenyum hangat kepada Zevanya.

    "Waktunya minum obat!"

    "Lagi?"

  "Iyaa kan vanya mau sembuh jadi harus minum obat tepat waktu," ujar dokter Ana penuh semangat berharap gadis kecil didepannya ini juga ikut bersemangat.

   "Tapi obat itu rasanya gak enak dokter! Vanya gak suka..." dokter Ana menghela napas sejak lalu mengelus kepala Zevanya lembut.

   "Gini aja deh kita buat perjanjian! Vanya minum obatnya nanti dokter beliin boneka besar yang banyak gimana?" 

    "Ehmss dokter kalo Vanya pengen tukar hadiahnya boleh?"

     "Boleh memangnya Vanya mau apa? "

    "Vanya mau dibeliin buku cerita aja dokter soalnya Vanya suka baca buku!" dokter Ana tersenyum dan menganggukkan kepalanya. 

   "Boleh nanti dokter beliin buku cerita yang banyakkkkk bangettt buat Zevanya si putri hujan tapi sekarang harus minum obat dulu okeyy" 

  "Siap buk dokter!" Zevanya meletakkan tangannya dipelipis menirukan gaya hormat saat upacara. Dokter Ana yang melihat itu tertawa kecil dan mengacak rambut Zevanya. Baginya Zevanya bukan hanya sekedar pasien biasa, ia sudah menganggap Zevanya seperti putrinya sendiri. Dokter Ana tersenyum melihat Zevanya yang sedang meminum obatnya. Kemauan Zevanya untuk sembuh membuat dokter Ana kagum. 

     "Cantiknya dokter harus istirahat yah..." 

     "Tidur dokter?"

     "Iya sayang"

     "Tapi nanti kalo mama datang dokter bangunin Vanya yah!" 

     " Iya nanti dokter bangunin"

     "Dokter Ana..." panggil Zevanya lembut.

     "Kenapa lagi cantik!?"

     "Makasih...makasih udah mau ngobatin  dan jagain Vanya!"

     "Itu sudah menjadi tugas dokter saying..."

 "Vanya sayang dokter Ana" dokter Ana tersenyum dan menganggukkan kepalanya. Ia merapikan brangkar tempat berbaring Zevanya  kemudian menarik selimut menutupi sebagian tubuh mungil gadis itu. Sebelah tangannya mengelus kepala Zevanya lembut membiarkan anak itu larut kedalam tidurnya. Zevanya terbangun dari tidurnya saat mendengar pergerakan disekitarnya. Ia tidak tau berapa lama ia tertidur. Saat ia membuka mata ia hanya melihat mamanya yang sedang merapikan beberapa kantong plastik di meja kecil sudut ruangan.

"Mama udah lama datangnya!? Kok gak bangunin Vanya sih!" ujar Zevanya. Amira mendekat dan duduk disamping tempat tidur Zevanya.

       "Mama gak tega bangunin vanya..."

       "Dokter Ana kemana ma?"

      "Dokter Ana lagi bertugas sayang! Nanti pasti kesini lagi" ucap amira lembut.

   "Anak mama belum makan kan? Yuk makan dulu mama suapin!" Zevanya mengangguk meski tak bersemangat. Amira mengambil wadah yang berisi bubur kesukaan Zevanya dan mulai menyuapinya. Suapan demi suapan masuk ke dalam mulut Zevanya hingga buburnya habis tak tersisa. Amira tersenyum, akhir-akhir ini nafsu makan Zevanya bertambah.

  "Ma di luar hujan yah?" tanya Zevanya saat telinganya mendengar suara gemericik air dari luar jendela yang tertutup.

    "Iyaa... Vanya mau liat hujan? " sebenarnya Zevanya sangat ingin melakukan hal yang ia sukai itu namun rasa sakit di kepala dan juga tubuhnya yang cukup sulit digerakkan membuat ia mengurungkan niatnya. Ia tidak ingin menyusahkan mamanya. 

    "Gak deh ma..." ucapnya lirih. Amira mengerutkan keningnya bingung sekaligus heran. Tidak biasanya zevanya menolak untuk melihat hujan. Biasanya anak itu akan berseru kegirangan saat mengetahui diluar sedang hujan, ini malah sebaliknya. 

    "Vanya kenapa?" tanya Amira heran.

    "Vanya gpp mama! Vanya pengen tidur lagi aja"

    "Serius? Vanya kan baru aja bangun masa mau tidur lagi..."

  "Vanya capek mama..." ujar Vanya lirih. Amira tidak lagi bertanya saat ia melihat wajah anaknya yang terlihat pucat dan kelelahan. Ia membantu Zevanya untuk berbaring dan memakai selimutnya. Perlahan Zevanya mulai terpejam. Amira masih setia menatap wajah damai Zevanya ketika tertidur. Semakin lama Amira memandang wajah Zevanya ia semakin merasa ada yang aneh dengan cara Zevanya tertidur. Tidurnya terlalu damai. Rasa takut kehilangan menyelimuti hatinya. Perlahan ia dekatkan tangannya dipipi Zevanya dan mengelusnya lembut.

    "Vvanya..." tidak ada respon dari anaknya. Amira menepuk-nepuk lembut pipi Zevanya berharap anak itu terbangun dari tidurnya.

     "Vanya?" rasa takut itu semakin menjadi jadi. Dengan cepat ia berdiri lalu mengguncang tubuh anaknya pelan berharap dugaannya salah.

     "Vanya bangun sayang jangan bikin mama takut!!" 

    "Vanyaaaaa!!" Amira berteriak histeris dan langsung menekan tombol darurat yang terletak di samping brangkar anaknya. Tak beberapa lama rombongan suster dan dokter Ana memasuki ruangan dengan tergopoh-gopoh. 

    "Dokter tolong selamatkan putri saya dokter saya mohonnnn..." dokter Ana tersenyum singkat kemudian memerintahkan salah satu suster untuk memapah Amira keluar karena ia akan memeriksa keadaan Zevanya. Meski berat Amira harus menuruti apa yang disuruh dokter Ana. Ia menunggu di luar ruangan dengan perasaaan yang hancur. Dokter Ana langsung memeriksa keadaan zevanya.

    "Vanya apakah kamu bisa mendengar suara dokter?" zevanya yang masih terpejam tidak menunjukkan respon apapun bahkan saat dokter Ana menyinari kedua matanya. Mereka yang berada di dalam ruangan tau bahwa gadis kecil ini telah hilang kesadarannya. Dokter Ana segera memeriksa detak jantung dan pernapasan Zevanya. Ekspresi wajah dokter Ana mendadak berubah menjadi pucat. Ia mundur beberapa langkah. Ketakutan terbesar mereka selama ini terjadi. Anak itu memilih menyerah dan meninggalkan mereka semua. Amira memasuki ruangan dengan kondisi yang kacau. Ia masih belum bisa menerima kenyataan ini. 

   "Kenapa kalian diam saja! Cepat sembuhkan anak sayaaa! " Amira berteriak histeris kepada semua orang yang terdiam menahan tangis. Ia berlari ke arah dokter Ana dan mencekram bahu dokter Ana cukup kuat.

   "Dokterr putri saya masih hidup tolong periksa sekali lagiii dokter saya mohonnn! Hiks...hiks..."

    "Maaf..." ucap dokter Ana lirih. Ia tidak bisa berkata apa-apa lagi, ia sama hancurnya dengan Amira. Kepergian Zevanya yang mendadak menimbulkan luka mendalam di hati semua orang. Gadis dengan segala keceriaan itu telah pergi meninggalkan mereka semua. Amira berlari dan memeluk tubuh Zevanya erat. Keadaannya kacau, ia hancur sehancur hancurnya. Ia masih belum bisa menerima kepergian putri kesayangannya ini. Dokter Ana memalingkan wajahnya ke arah lain tidak ingin menyaksikan adegan memilukan itu. Sore itu Zevanya, sang putri hujan telah pergi bersamaan dengan meredanya hujan di kota Bandung.



Biodata : Futri Veronika, atau yang sering dipanggil dengan nama pena futri. Lahir 17 tahun lalu tepat pada tanggal 2 November. Punya hobi membaca, menulis, dan mendengarkan lagu. Bercita-cita menjadi guru sekaligus penulis yang bukunya dapat menginspirasi orang banyak. Saat ini ia menjadi salah satu siswi di SMA Negeri.





Posting Komentar untuk "Putri Hujan dan Zevanya. Cerpen Oleh F.Veronika"

Kami menerima Kiriman Tulisan dari pembaca, Kirim naskah ke email redaksi lenggokmedia@gmail.com dengan subjek sesuai nama rubrik atau Klik link https://wa.me/+6282388859812 untuk langsung terhubung ke Whatsapp Kami.