Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget Atas Posting

Ketika Cinta Menusuk dari Belakang, Cerpen Karya Sefi Eko

 Ketika Cinta Menusuk dari Belakang

Karya : Sefi Eko

  Bulan terlihat begitu indah malam ini. Awan yang biasanya menyelimuti seolah enggan menyentuhnya. Sinar lembutnya menembus sela dedaunan dan jatuh di kedua mataku. Bulir indah yang dari tadi tertahan, tanpa sadar telah membasahi wajahku. 

  “Ratna, ayolah. Aku sudah tak punya pilihan lagi. Katakan, aku harus bagaimana?” tanya Mas Ardi, lelakiku. Entah sudah pantas apa belum aku menyebutnya dengan ‘lelakiku’. Kami memang telah bersama selama hampir 5 tahun terakhir ini. 

  Orang tuaku masih saja belum memberikan restu atas hubungan kami. Mama yang sudah beberapa kali bertemu dengannya pun masih belum bisa membuka hatinya untuk Mas Ardi. Kalau ditanya, jawabannya selalu sama, “Perasaan Mama masih belum sreg, Ratna. Mama enggak tahu kenapa. Tunggu dulu, jangan dalam waktu dekat ini, ya.”

  Jawaban yang sama selalu aku dapatkan sejak setahun pertama hubungan kami. Mas Ardi masih saja bersabar dan setia menunggu restu Mama dan Papa. 

  Jangan tanyakan, “Nggak bosan apa? Pacaran begitu lamanya?” Huft, bukan bosan lagi. Hampir menua dan keriput ini ujung dahiku karena mikirin akhir kisah kami. 

   “Ratna, aku sayang kamu. Kamu tahu apa yang sudah aku lakuin buat kita. Apa pun sudah aku lakuin. Karier dan kekayaan, yang diminta oleh orang tuamu sudah aku dapatkan semuanya. Sekarang mau apa lagi?” kata Mas Ardi membuatku terbungkam. 

  Mata teduh itu menatapku dalam. Mata itu seolah masuk dan menelanjangi hati dan pikiranku. Hatiku malah serasa ingin berlari dan memaksaku untuk memalingkan muka. 

 Tangan kekar itu menyentuh punggungku. Disentuhnya pipiku, dan dihapusnya air mataku. Perlakuannya membuatku tergugu dan tambah merasakan perih di dada. 

  “Mas ... Ratna bingung. Ratna harus bagaimana? Ratna sayang Mas Ardi, Ratna juga sayang Mama Papa. Ratna ... tidak tahu harus bagaimana? Hiks ... Mas, katakan! Ratna harus bagaimana?” Ku goyangkan bahu bidangnya berkali-kali. Mas Ardi menyambutku dengan pelukan. 

  Rasa hangat dan nyaman begitu menyelimutiku ketika tubuh kekar itu mendekapku dalam pelukannya. Kemeja putih harum itu basah dengan air mataku. Mas Ardi membiarkanku tenggelam dan bertarung dengan emosiku sendiri. Dan seperti biasa, yang dia lakukan hanya diam dan mengelus rambut hitamku. 

  Bunyi dering gawai Mas Ardi membuatnya menoleh dan beberapa saat kemudian, Mas Ardi membiarkan dering gawai itu berbunyi sampai akhirnya mati sendiri.

 “Rat, sebentar. Aku harus menerima panggilan telepon ini. Tapi, maaf. Kamu enggak bisa mendengarkan ini dulu. Aku kesana sebentar, ya,” ucap Mas Ardi. Sepertinya dia enggak membutuhkan izinku. Toh, sebelum aku mengiyakan, dia sudah berjalan menjauhiku.

 Lima menit kemudian, dia kembali dengan muka merah padam. Sepertinya ada sesuatu yang terjadi.

  “Sayang, aku harus pergi dulu. Aku ada hal penting. Nanti aku kabari kamu, ya.” Sebuah ciuman mendarat di rambutku sebelum Mas Ardi berjalan menuju mobilnya.

  Aku yang sama sekali enggak mengerti apa yang terjadi, hanya terdiam menyaksikan kepergiannya. 

      “Papa baik-baik saja, kan?”

  “Mungkin sebentar lagi Papa akan keluar dari tempat ini, Nak. Papa sudah enggak tahan lagi,” jawab Papa siang itu. 

  Dinding berkaca pemisah kami berdua itu, membuatku harus cepat-cepat mengontrol emosiku kembali. Amarah yang bersarang di dada sejak lima tahun itu, tetap saja hadir kembali kala aku mengunjungi Papa. 

  Ya, Papa sudah meringkuk di Penjara ini lebih dari lima tahun. Papa yang dulu pengusaha sukses di bidang furnitur ditipu oleh buyernya bernilai hampir 2 Milyar rupiah. Sebanyak 3 kontainer yang sudah dikirimkan ke Amerika Serikat tidak dibayar. Hingga membuat Papa kalang kabut mencari pinjaman ke sana kemari untuk membayar hutang pada supplier furnitur. 

  Sementara untuk menagih ke buyer, Papa sudah mencoba menghubungi dengan segala cara. Namun, sepertinya buyer yang di sana bekerja sama dengan pihak ketiga untuk pengambilan barang dan pengurusan dokumen ekspor impor. Dan saat ini, buyer Papa itu sama sekali tidak bisa dihubungi. 

  Akibatnya, Papa dituntut oleh supplier furnitur ke pengadilan, dan mendapat vonis lima setengah tahun. Rumah, dan segala fasilitas yang dulu kami punya, terpaksa dijual untuk membayar hutang. Sekarang kami tinggal di rumah kontrakan, dan hanya mengandalkan hidup dari hasil kerjaku dan jualan kue kecil-kecilan Mama.

 “Hm ... kata pengacara kapan, Pa?”

 “Tunggu berkas-berkas siap. Kurang lebih ... hm ... enggak sampai seminggu lagi.” Suara papa memberat, ada emosi yang turut tertahan di sana. “Jangan kasih tahu Mama kamu. Papa mau kasih surprise ke Mama, ya?” pinta Papa sambil tersenyum.

  “Iya, Pa. Ratna enggak akan bilang apa-apa ke Mama. Papa baik-baik, ya. Ratna pulang. Ini ada titipan rendang masakan Mama,” pamitku siang itu.

 Petugas yang berada di sampingku terlihat menyambut wadah makanan buat Papa dan cepat ku tinggalkan hotel prodeo di jantung kota Ukir siang itu.

  Malamnya, kucoba menghubungi Mas Ardi. Tapi, sepertinya dia sedang sibuk. Sudah dua kali kucoba, panggilanku enggak dijawabnya. Akhirnya, kukirimkan saja pesan padanya. 

   [Mas, seminggu lagi Papa keluar. Kamu bisa kesini minggu depan, kan?] 

 Tak lama kuterima pesan dari Mas Ardi.

  [Maaf, aku lagi sibuk, sayang. Nanti aku telepon balik.]

  Baiklah, risiko pacaran dengan pengusaha yang jam kerjanya enggak tentu ya begini. Enaknya kalau mau jalan, enggak harus tunggu jam pulang kerja. Enggak enaknya ya gini, bisa-bisa kalau lagi sibuk, kita dicuekin. Hmpf.

 Jam di dinding masih menunjukkan jam delapan malam. Enggak biasanya, Mas Ardi sibuk di jam-jam begini.Suara dering gawaiku tiba-tiba berbunyi saat aku hendak tidur.  Tertera nama Om Wisnu, pengacara Papa di sana. Tumben Om Wisnu telepon aku malam-malam.

  “Assalamualaikum. Iya, Om. Ada apa?” jawabku begitu mengangkat telepon.

  “Rat, kamu sudah dikasih tahu Papa kamu kalau seminggu lagi beliau bisa pulang, ya?”

  “Iya, Om. Memang kenapa, Om?”

 “Nggak apa-apa. Malah bagus kalau Papa kamu sudah kasih tahu. Ini soal kasus Papa kamu itu. Om sepertinya akan mengajukan penyelidikan kasus itu lagi.”

 “Sudah ketemu siapa di balik semuanya, Om?”

  “Kamu ingat nama Hardianto Syamsi?”

  ‘Deg, kok kayak nama Mas Ardi, ya?’ batinku. 

   “Nggak, Om. Siapa dia?” Ketidakyakinan membuat jawabku terkesan ambigu. 

   “Dia adalah pesaing Papa kamu. Ternyata dia yang membujuk pembeli Papa kamu untuk menarik investasi di perusahaan Papa kamu dan mengalihkan ke perusahaannya. Hardianto bahkan rela terbang keluar negeri dan bertemu langsung dengan mereka.”

     “Kira-kira motifnya apa, Om?”

  “Dalam dunia bisnis apa saja bisa. Apalagi kalau menyangkut soal uang. Apa saja akan dilakukan. Anyway, kapan kamu menikah? Om boleh tahu enggak calon kamu siapa? Mau dibantuin mengecek backgroundnya, enggak? Hehehe,” kata Om Wisnu. 

  “Bisa aja, Om Wisnu. Ratna kirimi fotonya, ya. Ganteng, enggak?” kataku sambil mencari fotoku yang terbaik bersama dengan Mas Ardi.

  Centang biru langsung terlihat begitu foto itu sampai di Om Wisnu.

  “Ratna, ini calon kamu?”

  "Iya, Om. Kenapa, Om?”

 “Ini yang namanya Hardianto Syamsi.” Deg! Kepalaku mendadak pusing dan badanku limbung. Brak! Gawai yang terletak di tangan, jatuh di lantai dan menghantam lantai keramik kamarku. Sayup kudengar suara Om Wisnu memanggilku. “Ratna! Rat! Ratna ...”

Tamat





Posting Komentar untuk "Ketika Cinta Menusuk dari Belakang, Cerpen Karya Sefi Eko"

Kami menerima Kiriman Tulisan dari pembaca, Kirim naskah ke email redaksi lenggokmedia@gmail.com dengan subjek sesuai nama rubrik atau Klik link https://wa.me/+6282388859812 untuk langsung terhubung ke Whatsapp Kami.