Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget Atas Posting

Cerpen "Sebatang Lemang" Karya Refniyati

 Sebatang Lemang

Foto by: Shutter stock.com

Lampu teplok yang mulai lindap menyisakan asap hitam mengepul, sekali-kali diliukkan angin dan nyaris padam. Tampak kelalatu berkerumun di sekitar, entah mengejar cahaya atau mencium aroma minyak tanah yang tinggal sedikit lagi. Tak dihiraukan Lipah makhluk itu beterbangan, tangannya asyik memilah atah padi ketan. Sudut matanya yang keriput, sesekali menyipit menatap penampi di hadapannya. 

Kadang kala ia menumpang ke rumah tetangga dengan penerangan daya sepuluh watt. Tapi kali ini ia lebih memilih berdiam di rumah, memaksa matanya menahan kantuk dan perih. Sebenarnya jika ia sisihkan sedikit uang penjualan tanah kala itu, rumah mungilnya juga tak akan kalah benderang, karena terhubung dengan listik negara. Tapi semua uangnya malah diboyong Danu tanpa sisa. 

Danu adalah anak satu-satunya yang berada di kota. Sejak remaja ia menimba ilmu di sana, karena di kampungnya tidak ada sekolah lanjutan. Untuk itu, Lipah pun menyanggupi penghidupan semata wayangnya. Rela bersakit, menahan terik menyelami hujan, menderes, menebas, berladang dan menggeluti pekerjaan lainnya asal dapat mengenyangkan perut dan berkirim uang untuk anaknya. Persoalan gelap di rumah bukan masalah, meski rata-rata rumah penduduk di kampungnya telah dialiri listrik. Bagi lipah, penerang dari kegelapan ialah ilmu pengetahun. Untuk itu, ia percayakan kepada anaknya, agar kelak menjadi orang besar, berilmu, dan bermanfaat bagi banyak orang. 

Pagi itu, Lipah tampak menyibukkan diri dengan bambu-bambu yang di ambil di kepala empang kemarin sore. Tangannya yang keriput lihai menggosokkan sabut kelapa yang telah diikatkan pada sebatang kayu yang panjangnya seukuran ruas bambu, membentuk sikat. Digosoknya silih berganti bagian dalam bambu itu lalu dilapisi dengan daun pisang  yang telah dibersihkan. Lebih sepuluh ruas banyaknya. 

Sementara itu, suaminya tengah asyik membuat perapian dengan membentuk penyangga menyerupai gawang sepak bola tapi ukurannya kira-kira semeter setengah dan tingginya selutut orang dewasa. Juga telah teronggok kayu bakar disisinya. 

Dua baskom adonan siap di masak, satu terdiri dari beras ketan yang dicampur santan dan dibubuhi sedikit garam dan satunya lagi adonan dari beras yang ditumbuk halus lalu dicampur dengan labu masak.

"Banyak," ucap suaminya ketika melihat Lipah mengaduk baskom adonan.

"Nanti bisa dibagi-bagikan, dan bisa dibawa Danu balik," balas Lipah. Tangannya asyik memasukkan adonan ke dalam bambu.

Saat ini Danu bekerja di kota sebagai pegawai di sebuah perusahaan. Sejak remaja, ia telah mengadu nasib di rantau orang, bersekolah, maupun kerja serabutan hingga mendapati posisi yang sekarang dan menghidupi istri dan dua orang anaknya. Terbilang berhasil dan cukup sibuk, sehingga membuat Danu jarang sekali mengunjungi orang tuanya. Hanya di momen-momen tertentu, seperti momen hari raya, membuat Lipah, ibunya kerap kali bertaruh rindu. 

Kepulangan Danu terakhir kalinya yaitu tiga tahun yang lalu. Tahun-tahun setelahnya kepulangan Danu terhalang oleh beberapa alasan. Orang tua istrinya sakit saat momen lebaran dan tahun setelahnya terhalang karena pandemi. Syukur tahun ini masih ada sedikit kelonggaran, sehingga Danu bisa pulang. Jika harus mengikuti anjuran pemerintah tahun lalu lebaran di rumah, tentu kerinduan Lipah akan anak cucunya semakin mendarah. Tidak bisa berkabar sebagaimana yang orang-orang lakukan, atau silaturahmi secara virtual karena di kampung tidak ada jaringan internet. 

Berbinar-binar hati Lipah mendengar anaknya merencanakan kepulangan tahun ini. Persiapan demi persiapan telah dilakukan jauh hari. Seperti halnya membentang tikar pandan yang baru diselesaikannya, sedikit merenovasi rumahnya yang sederhana agar terlihat lebih lapang, menata ruangan senyaman mungkin terakhir memasak lemang kesukaan anaknya.

Pernah pada lebaran waktu itu Danu membawakan lemang untuk kerabat kerjanya maupun tetangga, mereka suka sekali dengan lemang buatan Lipah. Alangkah bahagianya hati Lipah mendengar pengakuan anaknya. 

"Gedubang, mana, Pah?" "Dekat tungku masak di belakang."

"Induk ayam loreng itu agaknya tak ada niat beranak lagi, habis mati semua anaknya. Itu sajalah kita gecoh, ya!" ucap suaminya.

"Boleh Bah, agak ditambah ayam jantan itu barang seekor cukuplah kiranya," suara Lipah semangat. 

Suaminya tampak manggut-manggut dan tersenyum, giliran untuk anaknya Lipah tanpa berpikir panjang untuk memutuskan perkara memotong ayam, biasanya ayam-ayam itu hanya mati diserang penyakit karna memang ia tak tega menyembelih ayamnya lantaran karna alasan bermacam-macam. 

Lipah tampak cekatan, seolah-olah jemarinya hapal betul mana yang akan dikerjakan. Memang pekerjaan demikian telah diemban selama bertahun-tahun. Bahkan dari tetuanya dahulu. Memasak lemang biasanya diadakan di hari tertentu. Khususnya hari-hari besar Islam. Hal ini telah menjadi warisan turun temurun di desanya. Tradisi. 

Menjelang tengah hari, bara perapian pun telah menjadi abu. Itu artinya lemang telah masak. Berhubung hari ini adalah hari puasa terakhir ia ingin menutup bebukaan dengan yang istimewa sebagaimana menyambut ramadan dahulu, rendang ayam akan menjadi menu penutup dan khususnya biar di cocol lemang esok harinya. Alangkah nikmatnya lemang pulut dimakan bersama rendang. 

Setelah semua selesai, Lipah pun tampak celingukan melihat keluar jendela. Terlebih jika mendengar suara kendaraan, ia berharap anaknya tiba. Tapi nihil. Diraihnya sebatang lemang yang telah masak, dibukanya dengan hati-hati lalu diletakkan di piring serta rendang ayam yang masih hangat, berharap nanti ketika Danu tiba di rumah bisa langsung mencicipi lemang buatannya.

Tiba-tiba suara terdengar suara gaduh di luar, Lipah mengemasi parang dan bambu dan segera bergegas. Seketika tubuh lipah terasa lemas, jantungnya seolah berhenti berdetak mendapati pemandangan di hadapannya. Tubuh yang digotong dengan darah segar disekujurnya, serta pecahan kaca yang tertancap.

“Daaaanuuuuuuuu, pekik Lipah. 

Seketika pandangannya menjadi gelap, lalu tak sadarkan diri.


Profil Penulis

Refniyati, perempuan kelahiran 22 Desember di sebuah desa yang terletak di perbatasan Riau-Sumatera Barat tepatnya desa Cipang Kiri Hulu, saat ini bermastautin di kecamatan Ujungbatu, Rokan Hulu, berkuliah di STKIP Rokania.

Suka baca sejak kecil. 2017 mulai menekuni dunia tulis menulis. Alumni kelas Akademi Sastra Indonesia, sempat juga di KMO serta banyak kelas menulis berbayar maupun free. Ikut pelatihan berbasis Literasi, sebagai peserta kelas maupun pemateri sesekali.(wkwkw)

Karya yang pernah terbit beupa puisi maupun cerpen, diantaranya, Sajak Sang Perindu (2018) merupakan antologi puisi solo perdana, Antologi Warna Sang Aksara (2018) Untaian Kata untuk Juli, Antologi 999 Penyair Riau, Striking Saturday, maupun antologi lainnya bersama penerbit ellunar. Saat ini menjadi penulis tetap di sebuah redaksi, lenggokmedia.com dan aktif di komunitas Pondok Cerdas. Selain itu, juga kerap berbagi tulisan berupa quote maupun puisi di instagram ytrfn22, dan cerita Ongoing di Wattpad Refniyati.  Email: yatirefni@gmail.com Instagram : refniyati12 FB: Refniyati. Mari berkenalan lebih lanjut! 










Posting Komentar untuk "Cerpen "Sebatang Lemang" Karya Refniyati"

Kami menerima Kiriman Tulisan dari pembaca, Kirim naskah ke email redaksi lenggokmedia@gmail.com dengan subjek sesuai nama rubrik atau Klik link https://wa.me/+6282388859812 untuk langsung terhubung ke Whatsapp Kami.