Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget Atas Posting

"Dekapan Terakhir Nenek" Cerpen karya Nadia

Dekapan Terakhir Nenek

 

    Kala terik menyinari aku terdiam mengingat kenangan lalu. Perlahan waktu berlalu, berakhir dengan secerca luka. Tak kusangka kini kulihat nenek  sedang terbaring di brankar, tanpa sengaja bulir itu tak mampu terbendung, ku tepis segala ingatan menyesakkan naluri. Kala senja datang perlahan aku merayu Tuhan agar nenek kembali pulih, namun tangisku luntur seketika.

   Aku bergegas mandi agar bisa menangis leluasa mengeluarkan rasa perih di kerongkongan, baru saja aku selesai mandi, adik sepupu datang menghampiri. "Kak, Uwet lah meningga” (Kak nenek telah tiada). Aku terdiam dengan amarah kukatakan “usah bubua lagang itu uwet wak pasti bisa sehat nyo” (Jangan berbicara seperti itu Nenek pasti bisa pulih seperti biasa). Namun segeraku periksa hanphone tapi tak kudapati kabar tentang nenek, samarku dengar suara tetangga perihal kabar nenek yang telah tiada.

   Aku semakin terisak ketika kulihat  adik lelaki ku menangis. Namunku tepis semua pikiran jahat yang menghampiri, aku berusaha tidak menangis sembari bersiap-siap menuju rumah nenek sambilku lafalkan kalimat istigfar sebagai penenang hati yang gundah.

     Kala senja mulai telah terjadi, aku bergegas ke rumah Nenek, kulihat banyak sanak saudara dan masyarakat memenuhi rumah Nenek. Aku terdiam di tepian jalan sembari kucoba menampar pipiku seakan berharap hanyalah mimpi, yang kudapati hanya rasa sakit yang terasa ketika pipi ini kutampar. Kulihat paman bergegas menuju kepadaku,ia berkata.“Bulieh nangih do, iko lah takdirnyo” (Jangan menangis memang sudah takdir nya begini). Sembari mengelus kepalaku.

    Aku berlari menuju masuk kerumah semua menatap padaku termasuk kakek ia juga berkata “Usah nangih leh, kalau nangih kilan siapo yang akan buek aku butahan leh” (Jangan menangis jika kalian menangis siapa yang jadi penguatku). Air mataku semakin tak terbendung mengalir tanpa henti, banyak saudara yang memelukku namun tak membuatku berhenti untuk tidak menangis yang terasa hanya semakin sakit.

    Seketika terasa ingin teriak, kalaku dengar suara sirene ambulan itu dan berhenti tepat di depan rumah nenek yang membawa jasad terbungkus kain putih itu turut masuk kerumah. Aku kembali menangis ketika kulihat ibu keluar dari ambulan dengan tertatih jika tidak ada yang menopang tubuhnya sudah pasti ibu terjatuh di teras. Bisa kulihat ibu begitu merasa kehilangan dan terus terisak, ia hanya mengucapkan “Uwet wak ndo lai leh do Nak” (Nenek kita sudah tidak ada lagi Nak). Berulang kali ibu mengatakan kalimat itu pada ku, semakin sesak dan sakit rasa tenggorokan dan dadaku mendengarnya, aku memeluk ibu sembari kuajak ibu beristigfar karena aku juga tak kuasa melihat ibu seperti ini. Malam datang membesuk berpamitan pada senja yang penuh awal mula luka.

    Rumah nenek semakin ramai dan banyak bacaan al-quran dan suara tahlilan yang terdengar mengisi kegelapan yang biasanya menenangkan, namun tidak dengan malam ini. Aku tatap jasad nenek sembari dalam hati ku berkata: “Tuhan aku masih berharap ini mimpi semata.” Namun tak terasa fajar datang menghampiri dengan senyuman mentarinya, namun tak mampu membuatku sekedar tersenyum yang kulihat hanya kesibukan dalam keramaian itu. Mereka bergegas menyiapkan pelaratan untuk  mulai melakukan pemandian jenazah, serta akan segera dikafani dan diantar ke tempat peristirahatan terakhir.

   Aku ikut memandikan nenek, mengusapnya dan menciumnya terakhir kalinya dan seusai mandi nenek dikafani dengan kain putih itu, bulir yang kutahan sejak tadi luntur seketika tak ikhlas rasanya melepas kepergian nenek untuk selamanya, ingatan kenangan dan rasa suka duka yang dilewati bersama nenek hadir menggerogoti pikiran ku, ingin rasanya bertukar posisi dengan nenek. Berat rasanya melakukan yang namanya merelakan, namun itulah takdir rela ataupun tidak jika memang sudah datang menghampiri ia akan pergi. Aku bahkan merasa ragu menjalani kedepannya tanpa tak lagi didampingi Nenek, ya rasa itu terus melintas di benakku, sebab aku sedari kecil lebih sering tinggal bersama nenek, hari-hariku lebih sering dimanja nenek.

    Inilah aku Nadia sosok anak perempuan pertama dari dua bersaudara dan cucu kedua dari enam  cucunya nenek, perempuan yang sedang menjalani perkuliahnya yang pernah bermimpi kelak nenek akan bisa melihatnya menggunakan toga, namun sayang baru saja sedang berproses menjalani masa awal perkuliahannya. Nenek pergi menghadap sang pencipta, kabar nenek masuk rumah sakit masih tergiang dipikiranku, kabar yang menjadi pertanda bahwa nenek takkan kembali lagi, kabar yang sulit diterima oleh diriku.

    Tidak terasa tiba waktunya nenek akan disholatkan dan setelah itu Nenek akan diantar ke pemakaman. Air mataku turun deras tak tertahan, tangisku semakin jadi ketika nenek dimasukkan dalam liang kubur dan diazankan, perlahan tanah itu menutupi.

    Aku terisak dan berkata "Jangan padek kuat menutopnyo, beko Uwet kesakitan”(Jangan terlalu kuat menutupinya, nanti Nenek merasa kesakitan). Aku terus saja berkata “aku ikuik yoh dengan Uwet bia lai  kawannyo” (Aku ikut dengan Nenek ya, biar Nenek  ada yang menemani), begitu juga dengan kakak ku dia juga terisak dan pingsan ketika tanah telah menutupi Nenek, yang tersisa hanya gundukan tanah kubur.

   Hancur, perih segala rasa sakit datang menghampiri tak beraturan dan seketika itu aku merasa dunia sedang tak berpihak, baru kemarin Nenek memeluk hingga berulang kali mencium pipiku dan juga berpesan “Kuliah elok-elok, hati-hati pakai honda tu jagu diri elok-elok yoh Uwet sayang padek samu Nadia” (Kuliah baik-baik ya, hati-hati menggunakan seped motor, jaga diri baik-baik, Nenek sayang sekali sama Nadia).

   Aku sempat heran tak biasanya nenek menciumku dan berkata  seperti itu. Aku  hanya diam dan  sempat tertegun kenapa nenek seakan memberi suatu isyarat namun kutepis pikiran jahat ku, andai dulu aku tahu bahwa pelukan hangat itu menjadi dekapan terakhir dari nenek untukku maka tak akan aku biarkan pelukan itu terlepas .

 

 
Penulis: Nadia, mahasiswa PBSI semester 2

Posting Komentar untuk ""Dekapan Terakhir Nenek" Cerpen karya Nadia"

Kami menerima Kiriman Tulisan dari pembaca, Kirim naskah ke email redaksi lenggokmedia@gmail.com dengan subjek sesuai nama rubrik atau Klik link https://wa.me/+6282388859812 untuk langsung terhubung ke Whatsapp Kami.