Modernisasi Gaspol, Budaya Lokal Jangan Sampai K.O.!
Modernisasi Gaspol, Budaya Lokal Jangan Sampai K.O.!
Oleh : Nabila Syahrir
Di zaman sekarang, modernisasi benar-benar lagi gaspol. Segalanya serba digital, teknologi semakin canggih, dan tren budaya global datang silih berganti. Gaya hidup masyarakat berubah cepat, mulai dari cara belanja, cara bekerja, sampai cara berinteraksi di media sosial. Banyak yang merasa modernisasi itu tanda kemajuan, bikin hidup lebih praktis dan efisien. Tidak ada yang salah dengan itu, Modernisasi memang membawa banyak manfaat, seperti kemudahan akses teknologi, ekonomi yang lebih maju, hingga terbukanya peluang koneksi dengan orang dari berbagai belahan dunia. Namun, di balik semua kilau gemerlap modernisasi, muncul pertanyaan yang sering luput: Bagaimana kabar budaya lokal kita? Jangan sampai modernisasi yang melaju kencang justru bikin budaya lokal K.O. alias tumbang dan hilang dari kehidupan sehari-hari.
Budaya lokal bukan cuma soal tarian, pakaian adat, atau upacara tradisi. Di dalamnya ada nilai-nilai penting seperti kebersamaan, rasa saling tolong, kearifan mengelola alam, sampai kuliner khas yang jadi identitas daerah (Koentjaraningrat, 2009). Budaya lokal itu semacam “akar” yang bikin kita punya ciri khas sebagai bangsa. Sayangnya, modernisasi bikin banyak orang lebih hafal tren luar negeri daripada budaya daerah sendiri.
Contohnya, anak muda sekarang mungkin lebih kenal lagu-lagu K-pop daripada lagu daerah. Bahasa daerah juga makin jarang dipakai dalam percakapan sehari-hari. Bahkan, ada yang menganggap upacara adat itu ribet atau kuno. Padahal, budaya lokal bukan cuma soal seni, tapi juga sarat nilai sosial dan pengetahuan yang berharga, seperti cara menjaga lingkungan hidup (Heryanto, 2015; UNESCO, 2021).
Kalau budaya lokal makin tersingkir, kita bisa kehilangan identitas sebagai bangsa. Selain itu, banyak warisan budaya lokal yang punya nilai ekonomi tinggi kalau dikelola dengan kreatif. Misalnya, kerajinan tangan, kain tenun, atau makanan tradisional bisa dijadikan produk ekonomi kreatif yang bernilai jual tinggi. Modernisasi seharusnya jadi peluang, bukan ancaman bagi budaya lokal (Rahardjo, 2017).
Supaya budaya lokal tidak K.O. di tengah modernisasi, kita harus kreatif melestarikannya. Salah satu caranya lewat digitalisasi budaya. Konten TikTok tentang tarian daerah, cerita rakyat di YouTube, atau foto makanan tradisional di Instagram bisa bikin budaya lokal tetap eksis dan dikenal generasi muda (UNESCO, 2021). Budaya lokal harus ikut nimbrung di dunia digital supaya tidak ketinggalan zaman.
Selain digitalisasi, kita juga bisa buat acara festival yang menggabungkan budaya lokal dengan konsep modern. Misalnya, fashion show baju adat dengan desain kekinian, atau festival kuliner tradisional dengan kemasan yang lebih modern. Kolaborasi ini dapat membambtu budaya lokal menjadi keren, dan tidak terlihat jadul, dan bisa menarik perhatian anak muda.
Modernisasi dan budaya lokal sebenarnya tidak harus saling menyalahkan. Keduanya bisa jalan bareng asal dikelola dengan bijak. Kita harus ingat, modern itu keren, tapi punya jati diri jauh lebih keren. Jangan sampai budaya lokal kita cuma jadi cerita nostalgia atau pajangan di museum. Mari kita jaga budaya lokal tetap hidup di tengah modernisasi yang makin ngebut.
Daftar Pustaka :
Heryanto, A. (2015). Identitas dan Kenikmatan: Politik Budaya Layar Indonesia. Yogyakarta: LKIS.
Koentjaraningrat. (2009). Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta.
Rahardjo, M. (2017). Modernisasi dan Dampaknya Terhadap Budaya Lokal. Jurnal Sosial Budaya, 12(2), 45-59.
Sztompka, P. (2004). Sosiologi Perubahan Sosial. Jakarta: Prenada Media.
UNESCO. (2021). Intangible Cultural Heritage and Sustainable Development. Paris: UNESCO Publishing.
Posting Komentar untuk "Modernisasi Gaspol, Budaya Lokal Jangan Sampai K.O.!"
Silahkan tinggalkan komentar untuk respon atau pertanyaan, kami akan balas secepat mungkin.