Simbol-Simbol Estetika Sufistik dalam Puisi “Sahur” Karya Gunoto Saparie
Simbol-Simbol Estetika Sufistik dalam Puisi “Sahur” Karya Gunoto Saparie
Oleh Winda Radisti
Ekspresi sufistik dalam puisi dapat disajikan dalam berbagai bentuk, di antaranya melalui simbol-simbol yang dihadirkan oleh penyair dalam sajak-sajaknya. Salah satu puisi yang terdapat simbol-simbol sufistik di dalamnya adalah puisi “Sahur” karya Gunoto Saparie berikut.
Sahur
ketika kantuk masih menggayut di mata
kau pun makan dan minum seadanya
dengan niat, doa, dan keinginan sederhana
bagaimana besok menyiasati lapar dan dahaga
tapi ketika kau membaca ayat-ayat suci
mendaras baris-baris indah berirama
bersama tarhim mendayu dinihari
ada isyarat gaib dalam larik-larik cahaya
ketika kantuk masih menggayut di mata
tiba-tiba kau pun ingat kata-kata nenek moyang
agar makan dan minum jangan terlalu kenyang
duhai, sejuknya desir angin menjelang subuh tiba
2020
Puisi ini mungkin terlihat sederhana bagi pembaca awam. Isinya menggambarkan momen sahur yang sunyi serta adanya seseorang yang bangun dini hari, makan seadanya, membaca ayat-ayat suci, dan teringat petuah nenek moyang. Namun jika dibaca perlahan dengan lebih dalam lagi, puisi ini menyimpan simbol-simbol estetika terutama estetika sufistik yang terasa sangat dalam jika dipahami lebih lanjut.
Puisi ini dibuka dengan larik “ketika kantuk masih menggayut di mata , kau pun makan dan minum seadanya”, Saparie tidak sekadar melukiskan suasana fisik. Dinihari yang ditulisnya di situ mengandung makna spiritual. Dalam tradisi sufi, waktu sahur diyakini sebagai saat yang penuh rahmat, ketika kesunyian memudahkan jiwa bertemu dengan kehadiran Tuhan. Dinihari menjadi simbol waktu yang membuka ruang antara dunia dan akhirat, kesadaran dan alam gaib. Menurut Muktafi dan Kundharu (2018), “pengalaman mistikal sufi sering kali berangkat dari momen-momen sunyi yang membuat batin menjadi bening dan mudah menerima cahaya ilahiah” (hlm. 47). Dalam konteks ini, larik tentang kantuk yang belum sepenuhnya sirna dan makan seadanya bisa dilihat sebagai simbol dari kerendahan hati dan kesiapan rohani.
Simbol paling kuat dalam puisi ini muncul ketika penyair menulis, “tapi ketika kau membaca ayat-ayat suci, mendaras baris-baris indah berirama , bersama tarhim mendayu dinihari ,ada isyarat gaib dalam larik-larik cahaya.” Larik ini bukan hanya penggambaran bacaan ayat secara literal, tetapi lebih dari itu ada pengalaman spiritual yang sedang berlangsung. Cahaya yang dimaksud di sini bukan cahaya fisik, melainkan nur, yaitu cahaya Ilahi dalam terminologi tasawuf. Seperti dijelaskan Sujarwoko dkk. dalam kajiannya terhadap puisi-puisi Abdul Hadi W.M., “cahaya dalam puisi sufistik berfungsi sebagai simbol kehadiran Tuhan yang hanya bisa ditangkap oleh jiwa yang disucikan” (2024, hlm. 42). Larik-larik cahaya dalam puisi Gunoto Saparie mewakili pencerahan batin, semacam ilham ryang turun bersamaan dengan suara tarhim dan ayat-ayat suci yang dibaca.
Tidak hanya cahaya dan waktu dinihari, Gunoto juga menyisipkan simbol alam yang sangat sederhana, namun menyimpan makna yang dalam, yaitu diksi angin. Ia menulis, “duhai, sejuknya desir angin menjelang subuh tiba.” Angin dalam tradisi puisi sufi sering digunakan sebagai lambang dari kehadiran yang halus, kelembutan rahmat, atau bahkan suara ilham. Muktafi dan Kundharu menyebut bahwa “simbol alam dalam puisi sufistik tidak hanya sebagai pelengkap suasana, tetapi sebagai ekspresi intuitif dari hubungan batin dengan Yang Gaib” (2018, hlm. 49). Dalam larik ini, angin bukan sekadar udara dinihari, tetapi semacam sentuhan spiritual yang membuat subuh terasa tidak hanya dingin, tapi juga terasa sakral dan bermakna.
Yang membuat puisi ini juga menarik adalah bagian ketika tokoh kau tiba-tiba mengingat pesan dari nenek moyangnya. Ia menulis, “tiba-tiba kau pun ingat kata-kata nenek moyang, agar makan dan minum jangan terlalu kenyang.” Dalam keseharian, petuah seperti ini mungkin dianggap remeh, tapi dalam konteks spiritual, pesan ini sangat sufistik. Ia adalah nasihat untuk mengendalikan hawa nafsu, untuk menjaga batas agar tidak berlebihan dalam hal duniawi. Sujarwoko dkk. mencatat bahwa dalam puisi-puisi sufistik, pesan etis seperti ini sering disampaikan melalui bentuk-bentuk tradisional, termasuk petuah lisan atau adat lokal. “Kearifan lokal yang diwariskan dalam puisi tradisional menjadi ruang ekspresi nilai tasawuf yang tidak menggurui” (2024, hlm. 44). Maka, ketika Gunoto menyelipkan suara nenek moyang, ia sesungguhnya menyambungkan antara spiritualitas Islam dengan akar kebudayaan Nusantara.
Yang menarik, Gunoto tidak menggunakan simbol-simbol sufistik yang biasanya digunakan dalam puisi-puisi bernuanasa sufistik lainnya seperti bintang, samudra, bulan, atau langit malam seperti yang banyak muncul dalam puisi Rumi atau Ibnu Arabi. Ia memilih simbol-simbol yang kecil, halus, dan nyaris tak terlihat seperti desir angin, cahaya dari ayat suci, waktu subuh, dan suara petuah tua yang datang dari ingatan. Tapi justru karena kesederhanaan simbol itu, puisi ini terasa lebih dekat, lebih manusiawi. Sebab dalam tasawuf, pertemuan dengan Tuhan tidak selalu lewat ekstase, tetapi juga lewat kesunyian, lewat rutinitas yang dijalani dengan kesadaran penuh. Atau seperti yang dijelaskan Muktafi dan Kundharu, “puisi sufistik yang hidup di ruang pesantren dan ruang hidup harian tidak selalu eksplisit menyebutkan Tuhan, tetapi menyuarakan nilai-nilai ruhani lewat pengalaman sehari-hari” (2018, hlm. 46). Maka puisi “Sahur” bukanlah puisi yang mengumandangkan kedekatan dengan Tuhan secara lantang. Puisi ini justru menghadirkan kehadiran-Nya dalam larik-larik yang sederhana.
Posting Komentar untuk "Simbol-Simbol Estetika Sufistik dalam Puisi “Sahur” Karya Gunoto Saparie"
Silahkan tinggalkan komentar untuk respon atau pertanyaan, kami akan balas secepat mungkin.