Sejarah Kerajaan Kenawangan
Sejarah Kerajaan Kenawangan
Oleh : Gusti Muhammad Sabran Rahman
Pada masa kekuasaan Kerajaan Kotawaringin, Desa Kenawan dikenal sebagai daerah yang sangat subur dan makmur. Kekayaan alamnya melimpah, terutama hasil hutan dan sumber daya sungai, yang menjadikan desa ini pusat aktivitas ekonomi dan pemukiman penting bagi masyarakat setempat. Penduduk Desa Kenawan hidup dalam tatanan sosial yang harmonis, dengan struktur adat yang kuat serta menjunjung tinggi nilai-nilai budaya lokal dan agama yang menjadi landasan moral dan sosial kehidupan mereka. Adat istiadat dan budaya menjadi perekat sosial yang kokoh, menjaga keharmonisan dalam komunitas mereka.
Namun, kemakmuran Desa Kenawan ini tidak luput dari perhatian kekuatan luar, terutama kolonial Belanda yang mulai memperluas pengaruhnya di wilayah Kalimantan pada paruh akhir abad ke-18 hingga awal abad ke-19. Kolonial Belanda memasuki wilayah ini dengan tujuan utama untuk mengendalikan sumber daya alam serta jalur perdagangan strategis yang sangat penting. Dengan dalih menjalin kerja sama dagang dan pengamanan wilayah, Belanda perlahan-lahan melakukan penetrasi politik ke dalam struktur kekuasaan lokal. Pendekatan mereka tidak hanya menggunakan kekuatan militer, tetapi juga strategi diplomasi yang mengincar para penguasa dan bangsawan setempat.
Melalui berbagai perjanjian yang tampak menguntungkan, Belanda berupaya mengikat para pemimpin lokal, sehingga mereka bisa mengendalikan wilayah tanpa harus bertempur secara besar-besaran. Namun, perjanjian ini membawa konsekuensi yang sangat serius bagi kedaulatan kerajaan-kerajaan kecil, termasuk Kerajaan Kotawaringin dan Desa Kenawan. Sistem administrasi baru yang diperkenalkan Belanda secara halus mulai mengubah pola pemerintahan tradisional, sehingga melemahkan otoritas lokal dan meleburkan kekuasaan adat ke dalam kontrol kolonial. Pengaruh Belanda mulai merembes ke berbagai aspek kehidupan sosial dan politik, menyebabkan ketegangan dan perlawanan.
Masyarakat dan para pemimpin lokal menghadapi dilema besar antara mempertahankan kedaulatan tradisional dan menyesuaikan diri dengan kenyataan kekuasaan kolonial yang semakin menguat. Di tengah situasi ini, sejumlah tokoh bangsawan dan pemuka adat mengambil inisiatif membentuk lembaga pemerintahan yang lebih mandiri dan kuat sebagai respons terhadap tekanan eksternal tersebut. Inisiatif tersebut lahir sebagai bentuk perjuangan mempertahankan eksistensi dan identitas lokal. Lembaga pemerintahan ini kemudian dikenal sebagai Kerajaan Kenawangan.
Pergerakan ini tidak hanya bersifat politis semata, tetapi juga berakar dalam upaya mempertahankan budaya, adat istiadat, dan kearifan lokal yang mulai terancam oleh kolonialisme Belanda. Kerajaan Kenawangan mulai menata sistem pemerintahan dan struktur sosial yang memperkokoh kedudukan para bangsawan dan pemimpin adat, sekaligus menjaga hubungan baik dengan Kerajaan Kotawaringin sebagai induk wilayah. Hal ini menjadi strategi penting agar masyarakat dapat bertahan dan terus memelihara tradisi mereka di tengah gempuran kekuatan asing.
Namun, di tengah upaya penguatan tersebut, tekanan dan intervensi Belanda semakin intensif. Proses perubahan struktur politik dan sosial menjadi tidak terelakkan. Penetrasi Belanda semakin memasuki ruang-ruang pemerintahan tradisional, yang memicu ketegangan dan konflik berkepanjangan di wilayah tersebut.
Pada saat yang sama, terjadi sebuah momentum penting dalam sejarah kepangeranan ini. Pangeran Adipati Abdurrahman, seorang bangsawan terkemuka dari Kesultanan Palembang Darussalam, menerima sepucuk surat dari masyarakat Desa Kenawan yang berada di wilayah Kesultanan Kotawaringin. Surat tersebut berisi permohonan bantuan dari masyarakat setempat kepada orang-orang Melayu di Sumatra untuk membantu mereka menghadapi tekanan dan penindasan pemerintah kolonial Belanda. Permohonan ini mencerminkan solidaritas antar komunitas Melayu Nusantara dalam menghadapi dominasi kolonial dan menjadi tonggak penting dalam perjalanan sejarah berdirinya Kerajaan Kenawangan.
Menyadari pentingnya seruan tersebut, Pangeran Adipati Abdurrahman segera menghadap Sultan Ahmad Najamuddin Prabu Anom, penguasa Palembang pada masa itu, untuk memohon izin berangkat bersama pasukannya. Permintaan itu disambut baik, dan Sultan Ahmad memberikan restu penuh agar beliau berangkat ke Desa Kenawan dengan membawa kekuatan militer yang memadai.
Penting untuk diketahui bahwa ibunda Pangeran Adipati Abdurrahman, yaitu Gusti Rahayu Intan, memiliki garis keturunan langsung dari Sultan Tamjidillah I, penguasa Kesultanan Banjar yang memerintah pada tahun 1734–1759 dengan silsilah sebagai berikut :
“Gusti Rahayu Intan binti Pangeran Marta Yudha bin Pangeran Kusuma Dilaga bin Pangeran Mangku Dilaga bin Sultan Tamjidillah I bin Sultan Tahmidullah I bin Sultan Tahlilullah”.
Silsilah keturunan ini memberikan legitimasi politik dan budaya bagi Pangeran Adipati Abdurrahman dalam memperjuangkan wilayah Melayu di Kalimantan, sekaligus memperkuat ikatan antara Kesultanan Palembang, Banjar, dan Kesultanan Melayu lainnya.
Dengan restu sultan, Pangeran Adipati Abdurrahman berangkat menuju Desa Kenawan bersama para kerabatnya, yaitu Pangeran Abdur Rozaq (kakaknya), Pangeran Zainal Abidin, dan Pangeran Abdullah Ali (adik beliau). Mereka tidak berangkat sendiri, melainkan membawa pasukan besar yang terdiri dari 300 bangsawan Kesultanan Palembang, 200 bangsawan Kesultanan Jambi, serta 200 bangsawan dari Lampung. Jumlah pasukan yang besar ini menunjukkan kekuatan aliansi Melayu yang cukup besar demi membantu perjuangan masyarakat Kenawan.
Rombongan besar tersebut mendarat di Pelabuhan Kumai, Kotawaringin Barat, lalu bergerak menuju Desa Kenawan untuk bergabung dengan rakyat setempat. Pertempuran sengit pun pecah antara pasukan gabungan Melayu-Sumatra bersama rakyat Desa Kenawan melawan pasukan kolonial Belanda. Berkat strategi yang jitu dan semangat juang yang tinggi, senjata dan peluru Belanda berhasil direbut dan dikuasai oleh pasukan gabungan, sehingga Belanda dapat dipukul mundur. Kemenangan ini membawa harapan baru bagi masyarakat Desa Kenawan dalam mempertahankan wilayah dan identitasnya.
Atas jasa besar tersebut, Pangeran Ratu Imanuddin, penguasa Kesultanan Kotawaringin pada waktu itu, mengangkat Pangeran Adipati Abdurrahman sebagai Panembahan di daerah tersebut. Selain itu, Sultan juga menganugerahkan tanah perdikan sebagai wilayah khusus bagi masyarakat Melayu-Sumatra yang menetap di Kenawan. Tanah perdikan yang baru ini kemudian diberi nama Kerajaan Kenawangan, sebagai lambang pemerintahan baru yang mewakili aspirasi lokal dan aliansi Melayu Nusantara.
Namun, masa pemerintahan Pangeran Adipati Abdurrahman di Kenawangan sangat singkat. Ia hanya memimpin selama tiga bulan, dari 1 Januari hingga 21 Maret 1825, sebab beliau memilih kembali fokus pada tugasnya sebagai Adipati di Kesultanan Palembang hingga tanggal 25 November 1825 beliau hijrah ke Sumenep, Madura kemudian hijrah lagi ke Lateng, Banyuwangi, Jawa Timur dan wafat disana, alasan beliau hijrah karena pada saat itu Kesultanan Palembang telah dalam kendali Belanda dan Sultan Ahmad Najamuddin IV Prabu Anom, sultan terakhirnya diasingkan di Manado. Jabatan Panembahan kemudian diserahkan kepada kakaknya, Pangeran Abdur Rozaq, yang melanjutkan perjuangan dan memimpin wilayah tersebut.
Masa pemerintahan Pangeran Ratu Abdur Rozaq berlangsung dari 21 Maret 1825 hingga 1 Desember 1827. Pada masa inilah wilayah Panembahan Kenawangan sempat berada dalam pengaruh Kesultanan Melayu Jambi, yang memperkuat jaringan politik dan sosial antara wilayah Melayu di Sumatra dan Kalimantan. Setelah itu, kepemimpinan berlanjut kepada Pangeran Ratu Zainal Abidin (1827–1829), lalu diteruskan oleh Panembahan Marhum di Bukit atau Pangeran Abdullah Ali (1829–1832). Kepemimpinan terakhir dipegang oleh Panembahan Marhum di Laga atau Pangeran Abdullah Hamzah (1832–1835), putra Pangeran Ratu Abdur Rozaq dari pernikahannya dengan Nyimas Sarah, seorang bangsawan dari Kesultanan Jambi.
Sayangnya, baik Pangeran Ratu Zainal Abidin maupun Panembahan Marhum di Bukit/Pangeran Abdullah Ali tidak meninggalkan keturunan. Sementara itu, Panembahan Marhum di Laga/Pangeran Abdullah Hamzah juga tidak sempat melanjutkan garis keturunan karena gugur terbunuh pada 1 Desember 1835 setelah Belanda melakukan penyerangan besar-besaran ke Kenawan pada 28 November 1835. Penyerangan tersebut berhasil mengusir orang-orang Melayu-Sumatra dari wilayah itu dan menandai berakhirnya masa kepangeranan Melayu di Kenawangan.
Sebagai penghargaan atas jasa dan pengorbanan para pemimpin tersebut, keempat tokoh penting—Pangeran Adipati Abdurrahman, Pangeran Ratu Abdur Rozaq, Pangeran Ratu Zainal Abidin, Panembahan Marhum di Bukit/Pangeran Abdullah Ali, dan Panembahan Marhum di Laga/Pangeran Abdullah Hamzah— mendapatkan gelar “Gusti” dan “Pangeran” dari Sultan Sulaiman Banjar (1801–1825). Gelar ini diberikan bukan hanya sebagai penghormatan atas jasa mereka dalam memperjuangkan nama Kesultanan Banjar, tetapi juga karena mereka memiliki ikatan darah dengan dinasti Banjar.
Sayangnya, tanah perdikan yang dahulu diberikan Sultan Imanuddin kepada masyarakat Melayu-Sumatra kini sudah tidak terawat bahkan hilang. Peristiwa penyerangan Belanda pada 28 November 1835 seolah menjadi awal kehancuran kawasan tersebut. Banyak peninggalan sejarah yang musnah, dan hingga kini masyarakat Desa Kenawan, yang kini dikenal sebagai Permata Kecubung, Kabupaten Sukamara, sudah jarang yang mengetahui kisah perjuangan besar ini. Lebih menyedihkan lagi, makam para raja Kenawangan tersebut hingga sekarang belum berhasil ditemukan, sehingga jejak fisik sejarah tersebut hampir lenyap dari ingatan masyarakat.
FOTO – FOTO MAKAM PANGERAN DIPATI ABDURRAHMAN (RAJA KENAWANGAN PERTAMA)

Posting Komentar untuk "Sejarah Kerajaan Kenawangan"
Silahkan tinggalkan komentar untuk respon atau pertanyaan, kami akan balas secepat mungkin.