Demokrasi Ini Sebenarnya untuk Siapa?
Demokrasi Ini Sebenarnya untuk Siapa?
Demokrasi merupakan sistem pemerintahan terbaik karena kekuasaan dan pengambilan keputusan berada di tangan rakyat. Namun, muncul pertanyaan penting: apakah demokrasi yang kita jalankan ini benar-benar untuk seluruh rakyat? Apakah semua warga negara menikmatinya, atau hanya kelompok elite yang memperoleh keuntungan?
Secara ideal, semua warga memiliki hak untuk berpartisipasi dalam setiap kegiatan pemerintahan. Demokrasi memiliki prinsip “kekuasaan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat”, yang berarti bahwa warga negara berperan aktif dalam menentukan jalannya pemerintahan, memberikan suara dalam pemilihan umum, dan terlibat dalam proses pembuatan kebijakan. Mencari pemimpin di legislatif dan eksekutif adalah tujuan utama dari pesta demokrasi. Diharapkan, pemimpin yang terpilih mampu membawa perubahan dan membangun sistem pemerintahan yang berkeadilan, sehingga berdampak pada kesejahteraan masyarakat secara luas.
Pada dasarnya, pemilu dan pilkada dilaksanakan sebagai cara untuk memilih orang-orang terbaik, baik melalui partai politik maupun jalur perseorangan dengan harapan menghasilkan pemimpin yang memiliki kemampuan, integritas, moralitas, serta kepedulian terhadap kepentingan masyarakat. Namun pada kenyataannya, kita dapat melihat bahwa demokrasi di negara ini masih jauh dari kata ideal. Saat pemilihan umum, demokrasi terasa seperti panggung besar yang ramai. Tetapi setelah pemilu usai, ketika rakyat menuntut haknya, suara mereka sering diabaikan. Pemilu lima tahunan menjadi pesta yang meriah, namun setelahnya rakyat seakan disisihkan.
Demokrasi yang seharusnya menjadi ruang bagi siapa saja untuk berpartisipasi kini mulai terhalang oleh status sosial dan fenomena politik dinasti. Menurut Detik.com, hampir semua partai politik di Indonesia memiliki kasus politik dinasti. Di beberapa daerah, kekuasaan bahkan terpusat pada keluarga atau kelompok tertentu saja. Data Republika Online menunjukkan lonjakan kasus politik dinasti dari sekitar 21,5% di Pilkada 2018 menjadi 32% di Pilkada 2024. Hal ini menunjukkan bahwa demokrasi lebih berpihak kepada mereka yang memiliki garis keturunan politik, bukan kepada rakyat biasa.
Hampir semua partai politik besar di Indonesia terlibat dalam praktik politik dinasti. Contohnya, keturunan, menantu, atau kerabat pejabat tinggi maju sebagai calon kepala daerah maupun anggota legislatif. Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) mencatat 79 dari 580 anggota parlemen memiliki hubungan kekerabatan dengan pejabat lainnya. Jumlah tersebut belum termasuk hubungan tidak langsung seperti jaringan pekerjaan, proyek, maupun hubungan keluarga jauh.
Politik dinasti semakin menguat karena keluarga pejabat memiliki akses pada dana kampanye, dukungan partai, dan popularitas. Masyarakat pun sering kali lebih percaya pada nama besar, meskipun kemampuan politik mereka belum terbukti. Partai politik juga cenderung memilih calon dari keluarga elite karena dianggap memiliki peluang menang lebih besar.
Jika praktik ini terus dinormalisasi, politik dinasti akan membawa dampak serius. Kekuasaan tidak lagi terbuka untuk umum, melainkan diwariskan seperti kerajaan. Ketika jabatan hanya berputar di lingkungan keluarga, kemampuan masyarakat untuk mengawasi kekuasaan akan melemah, dan potensi penyalahgunaan kekuasaan meningkat. Akibatnya, demokrasi Indonesia berubah menjadi kompetisi antar elite keluarga, bukan partisipasi rakyat secara adil.
Selain politik dinasti, biaya politik yang tinggi juga menjadi masalah besar dalam pelaksanaan demokrasi di Indonesia. Untuk menjadi calon legislatif atau kepala daerah, seseorang membutuhkan dana yang sangat besar. Biaya tersebut mencakup: uang rekomendasi partai (mahar politik), kampanye dan iklan, logistik dan transportasi, tim sukses, serta biaya saksi di TPS.
Berdasarkan kajian Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), biaya politik calon bupati atau wali kota dapat mencapai 20–30 miliar rupiah, sedangkan untuk calon gubernur bisa lebih dari 100 miliar rupiah. Kondisi ini membuat arena politik hanya dapat diikuti oleh mereka yang memiliki modal besar seperti pengusaha, keluarga pejabat, atau orang-orang dekat oligarki.
Selain itu, praktik politik uang juga masih marak terjadi. Menjelang hari pemungutan suara, sering kali terjadi pembagian uang tunai atau sembako seperti beras, minyak, gula, dan kebutuhan pokok lainnya. Kadang disertai janji-janji pekerjaan atau proyek masyarakat jika kandidat menang. Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Republik Indonesia mencatat 130 kasus dugaan politik uang selama masa tenang hingga hari pemungutan suara Pilkada 2024.
Praktik ini terus berlangsung karena faktor ekonomi. Banyak masyarakat masih menganggap manfaat jangka pendek lebih penting daripada janji kebijakan jangka panjang. Akibatnya, demokrasi menjadi transaksional: suara rakyat dibeli, bukan diperjuangkan.
Akibat biaya politik yang tinggi dan praktik politik uang, demokrasi di Indonesia menjadi tidak adil. Hanya mereka yang kaya atau memiliki modal besar yang dapat masuk ke arena politik. Calon yang terpilih pun sering kali bukan karena visi dan program terbaik, melainkan karena kemampuan finansial untuk “membeli suara”.
Biaya politik yang besar juga mendorong praktik korupsi setelah kandidat terpilih, karena mereka harus “mengembalikan modal” yang dikeluarkan selama kampanye. Akibatnya, kebijakan yang dibuat lebih berpihak kepada pemodal, bukan kepada rakyat. Demokrasi yang seharusnya menjadi sarana memperjuangkan kepentingan rakyat malah berubah menjadi ajang transaksi kekuasaan.
Berdasarkan pengalaman dan pengamatan saya, banyak masyarakat masih belum memahami makna demokrasi yang sesungguhnya. Sebagian besar beranggapan bahwa siapa pun yang menang dalam pemilu atau pilkada, kehidupan mereka tidak akan banyak berubah. Mereka tetap bekerja dan beraktivitas seperti biasa tanpa merasa memiliki hubungan dengan hasil pemilihan tersebut.
Selain itu, banyak masyarakat yang tidak memperhatikan visi dan misi para calon pemimpin. Pemilihan sering dilakukan tanpa mempertimbangkan rekam jejak, kemampuan, dan integritas calon. Hal ini menunjukkan bahwa kesadaran politik masyarakat masih rendah. Demokrasi akhirnya hanya dianggap sebagai rutinitas lima tahunan, bukan sebagai tanggung jawab bersama untuk menentukan arah bangsa.
Dari seluruh kenyataan tersebut, kita dapat melihat bahwa demokrasi di Indonesia saat ini masih lebih banyak menguntungkan kelompok elite dibandingkan rakyat secara keseluruhan. Demokrasi yang seharusnya menjadi alat rakyat untuk memperjuangkan keadilan, kini berubah menjadi sistem yang hanya dapat diakses oleh mereka yang memiliki kekuasaan dan uang.
Namun, demokrasi tidak sepenuhnya gagal. Ia masih bisa diperbaiki, asalkan rakyat mau lebih sadar, lebih kritis, dan berani mengawal jalannya pemerintahan. Demokrasi sejati tidak berhenti pada pemilu, tetapi hidup melalui partisipasi aktif masyarakat dalam mengawasi dan menuntut keadilan dari para pemimpin yang mereka pilih. Hanya dengan cara itu, demokrasi bisa benar-benar menjadi “dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
Nama Penulis: Dita Ainun Nisa
Program Studi: Tadris Ilmu Pengetahuan Sosial
Kampus: Universitas Islam Negeri Siber Syeakh Nurjati Cirebon.
Posting Komentar untuk "Demokrasi Ini Sebenarnya untuk Siapa?"
Silahkan tinggalkan komentar untuk respon atau pertanyaan, kami akan balas secepat mungkin.