Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget Atas Posting

Dua Wajah Kuratorial Seni: Antara Akademik dan Komunitas

Dua Wajah Kuratorial Seni: Antara Akademik dan Komunitas
Oleh : Mega Julyartha
Prodi Seni Rupa Murni, Universitas Brawijaya

Dokumentasi pribadi Mega Julyartha di Nyambung #8 2025



Teks kuratorial dalam sebuah pameran seni sering kali dianggap sebagai formalitas belaka dari pengantar yang dibaca sekilas sebelum pengunjung mulai menikmati karya. Namun, di balik rangkaian kalimat yang tersusun rapi, teks kuratorial sesungguhnya menyimpan arah, semangat, bahkan filosofi yang membentuk cara pengunjung memahami dan mengalami seni. Perbandingan antara kuratorial Brawijaya Art Fest 2025 dan pameran "Nyambung" yang digelar oleh komunitas sketsa lokal menunjukkan bagaimana latar belakang penyelenggara, baik institusi akademik maupun komunitas yang dapat membentuk bahasa, gaya, hingga makna yang ingin dibangun dalam sebuah pameran.

Brawijaya Art Fest 2025, yang diselenggarakan oleh Program Studi Seni Rupa Murni Universitas Brawijaya, menghadirkan seni dengan pendekatan yang universal dan filosofis. Dalam teks kuratorialnya, seni digambarkan sebagai "simfoni visual" dan "monumen kebebasan berekspresi." Pilihan kata yang digunakan sarat dengan istilah konseptual seperti komunikasi artistik, sanctuary, spektrum emosi, hingga refleksi kolektif. Narasi yang dibangun menempatkan seni sebagai ruang refleksi yang melintasi batas-batas individual seakan-akan karya yang dipamerkan bukan hanya milik seniman atau mahasiswa semata, tetapi juga bagian dari wacana kemanusiaan yang lebih luas. Pendekatan ini mencerminkan peran institusi akademik sebagai penjaga legitimasi pengetahuan dalam dunia seni. Kampus tidak hanya mengajarkan teknik berkarya, tetapi juga bagaimana menempatkan karya dalam kerangka teori seni, sejarah, dan filsafat. Mahasiswa dilatih untuk menjadi perupa yang tidak hanya terampil secara teknis, tetapi juga mampu mengartikulasikan visi artistiknya dalam bahasa yang dapat dipertanggungjawabkan secara akademis.


Dokumentasi pribadi Mega Julyartha di Brawijaya Art Fest 2025

Kuratorial akademik semacam ini memberikan bobot intelektual pada karya seni. Seni tidak lagi sekadar ekspresi personal, melainkan menjadi medium untuk menyampaikan gagasan yang melampaui konteks lokal dan temporal. Namun, di sisi lain, bahasa yang digunakan bisa menciptakan jarak dengan pengunjung yang tidak memiliki latar belakang pendidikan seni. Istilah-istilah konseptual yang rumit dapat memberikan kesan bahwa seni adalah sesuatu yang "tinggi" dan hanya bisa dipahami oleh kalangan tertentu. Berbeda dengan pendekatan akademik, pameran "Nyambung" yang digagas oleh tiga komunitas sketsa lokal yaitu Sket Ndek Kene, Teras Gambar, dan Konco Sketmu dengan menghadirkan seni dengan pendekatan yang lebih dekat dengan kehidupan sehari-hari. Kata "nyambung" sendiri dimaknai secara sederhana: keterhubungan antar manusia. Seni di sini tidak diperlakukan sebagai wacana besar, melainkan hadir dalam obrolan hangat, dalam kesunyian yang berbagi, bahkan dalam perbedaan pandangan yang justru memperkaya.

Salah satu bagian teks kuratorial yang menarik adalah ketika pena bambu diibaratkan sebagai alat meditasi dan sarana untuk melatih kesabaran serta jalan untuk mengenal diri. Bahasa yang digunakan cenderung puitis, naratif, maupun sarat metafora yang akrab dengan keseharian. Tidak ada pretensi untuk menempatkan seni dalam kerangka teori besar atau diskursus intelektual. Yang ada adalah ajakan untuk merasakan seni


sebagai bagian dari praktik hidup sehari-hari, sebagai tempat bertemu, bertumbuh, dan menyambung rasa lewat goresan sederhana. Pendekatan komunitas ini membuat seni terasa lebih inklusif dan mudah diakses. Tidak ada prasyarat intelektual untuk masuk ke dalam ruang pameran mereka. Tidak ada keharusan memahami teori warna, komposisi, atau sejarah seni rupa. Yang dibutuhkan hanya kehadiran yang datang, melihat, merasakan, dan jika berkesan, ikut "nyambung" dalam dialog yang terbuka.

Namun, pendekatan yang terlalu sederhana juga memiliki keterbatasan. Dengan menghindari bahasa konseptual, komunitas berisiko membatasi ruang seni untuk dibicarakan dalam diskursus yang lebih luas. Karya-karya yang lahir dari komunitas mungkin sulit untuk mendapatkan legitimasi di ranah akademik atau institusi seni formal, meski memiliki nilai dan makna yang dalam. Perbedaan antara kuratorial akademik dan komunitas memperlihatkan dua wajah penting dalam ekosistem seni rupa. Akademisi membawa seni ke ranah intelektual dari sebuah ruang refleksi yang mengangkat martabat manusia dan menempatkan seni sebagai bahasa universal yang menyatukan gagasan besar. Dari institusi pendidikan, seni mendapatkan legitimasi konseptual dan posisi dalam wacana intelektual yang lebih luas.

Di sisi lain, komunitas menghadirkan seni sebagai praktik hidup yang nyata, hangat, dan dekat dengan masyarakat. Seni tidak perlu dibebani dengan konsep-konsep rumit untuk bisa bermakna. Dalam ruang komunitas, seni menemukan kehidupan yang otentik dari tempat di mana orang bisa bertemu, berbagi, dan tumbuh bersama tanpa harus melewati jalan panjang teori dan filsafat.

Keduanya tidak bisa dan tidak perlu dipertentangkan. Justru, seni menjadi kaya karena memiliki dua sisi ini. Tanpa akademisi, seni berisiko kehilangan daya jangkau dan pengaruh intelektualnya, terjebak dalam lingkaran yang terlalu intim dan lokal. Tanpa komunitas, seni berisiko menjadi elitis, hanya bisa dinikmati oleh segelintir orang yang memiliki modal kultural tertentu. Ekosistem seni yang sehat adalah yang memiliki ruang untuk kedua pendekatan ini. Mahasiswa seni rupa perlu belajar bagaimana mengartikulasikan karyanya dalam bahasa akademis, tetapi mereka juga perlu turun ke komunitas untuk merasakan bagaimana seni bisa menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Sebaliknya, komunitas juga bisa belajar dari kampus terkait bagaimana praktik keseharian mereka bisa didokumentasikan, dianalisis, dan dimasukkan ke dalam wacana seni yang lebih luas.

Brawijaya Art Fest 2025 dan pameran "Nyambung" adalah dua contoh nyata bagaimana seni bisa hadir dalam wajah yang berbeda, namun sama-sama penting. Yang satu mengangkat seni ke ranah diskursus intelektual, yang lain membawa seni kembali ke jalanan. Yang satu memberikan bobot filosofis, yang lain memberikan kehangatan keseharian. Dan dalam dua wajah kuratorial ini, terlihat bahwa seni rupa Indonesia memiliki keduanya sebagai sebuah kekayaan yang patut dijaga dan terus dikembangkan. Dengan demikian, kuratorial seni bukan hanya tentang bagaimana sebuah pameran dijelaskan. Ia adalah cermin dari siapa yang berbicara, untuk siapa mereka berbicara, dan bagaimana mereka ingin mengajak orang lain berdialog dengan seni. Dan dalam keragaman pendekatan ini, seni menemukan kekuatannya yang sejati yaitu sebagai kemampuan untuk menyentuh manusia dari berbagai latar belakang dengan cara yang berbeda namun bermakna.




Posting Komentar untuk "Dua Wajah Kuratorial Seni: Antara Akademik dan Komunitas"

Kami menerima Kiriman Tulisan dari pembaca, Kirim naskah ke dengan subjek sesuai nama rubrik ke https://wa.me/+6282388859812 klik untuk langsung terhubung ke Whatsapp Kami.