Dua Wajah Kuratorial Seni: Antara Akademik dan Komunitas
Dua Wajah Kuratorial Seni: Antara Akademik dan Komunitas
Oleh : Mega Julyartha
Prodi Seni Rupa Murni, Universitas Brawijaya
Teks kuratorial
dalam sebuah pameran seni sering kali dianggap sebagai formalitas belaka dari
pengantar yang dibaca sekilas sebelum
pengunjung mulai menikmati
karya. Namun, di balik rangkaian kalimat yang tersusun rapi, teks
kuratorial sesungguhnya menyimpan arah, semangat, bahkan filosofi yang
membentuk cara pengunjung memahami dan mengalami seni. Perbandingan antara
kuratorial Brawijaya Art Fest 2025 dan pameran "Nyambung" yang
digelar oleh komunitas sketsa lokal menunjukkan
bagaimana latar belakang penyelenggara, baik institusi akademik maupun
komunitas yang dapat membentuk bahasa, gaya, hingga makna yang ingin dibangun
dalam sebuah pameran.
Brawijaya Art Fest 2025, yang diselenggarakan oleh Program Studi Seni Rupa Murni Universitas Brawijaya, menghadirkan seni dengan pendekatan yang universal dan filosofis. Dalam teks kuratorialnya, seni digambarkan sebagai "simfoni visual" dan "monumen kebebasan berekspresi." Pilihan kata yang digunakan sarat dengan istilah konseptual seperti komunikasi artistik, sanctuary, spektrum emosi, hingga refleksi kolektif. Narasi yang dibangun menempatkan seni sebagai ruang refleksi yang melintasi batas-batas individual seakan-akan karya yang dipamerkan bukan hanya milik seniman atau mahasiswa semata, tetapi juga bagian dari wacana kemanusiaan yang lebih luas. Pendekatan ini mencerminkan peran institusi akademik sebagai penjaga legitimasi pengetahuan dalam dunia seni. Kampus tidak hanya mengajarkan teknik berkarya, tetapi juga bagaimana menempatkan karya dalam kerangka teori seni, sejarah, dan filsafat. Mahasiswa dilatih untuk menjadi perupa yang tidak hanya terampil secara teknis, tetapi juga mampu mengartikulasikan visi artistiknya dalam bahasa yang dapat dipertanggungjawabkan secara akademis.
Kuratorial akademik semacam ini memberikan
bobot intelektual pada karya seni. Seni tidak lagi sekadar ekspresi personal,
melainkan menjadi medium untuk menyampaikan gagasan yang melampaui konteks
lokal dan temporal. Namun, di sisi lain,
bahasa yang digunakan bisa
menciptakan jarak dengan pengunjung yang tidak memiliki latar belakang
pendidikan seni. Istilah-istilah konseptual yang rumit dapat memberikan kesan bahwa seni adalah sesuatu yang "tinggi" dan
hanya bisa dipahami oleh kalangan tertentu. Berbeda dengan pendekatan akademik,
pameran "Nyambung" yang digagas oleh tiga komunitas sketsa lokal
yaitu Sket Ndek Kene, Teras Gambar, dan Konco Sketmu dengan menghadirkan seni
dengan pendekatan yang lebih dekat dengan kehidupan sehari-hari. Kata "nyambung"
sendiri dimaknai secara sederhana: keterhubungan antar manusia. Seni di sini
tidak diperlakukan sebagai wacana besar, melainkan hadir dalam obrolan hangat,
dalam kesunyian yang berbagi, bahkan dalam perbedaan pandangan yang justru
memperkaya.
Salah satu bagian teks kuratorial yang
menarik adalah ketika pena bambu diibaratkan sebagai alat meditasi dan sarana
untuk melatih kesabaran serta jalan untuk mengenal diri. Bahasa yang digunakan
cenderung puitis, naratif, maupun sarat metafora yang akrab dengan keseharian. Tidak ada pretensi
untuk menempatkan seni dalam kerangka teori besar atau diskursus
intelektual. Yang ada adalah ajakan
untuk merasakan seni
sebagai bagian dari
praktik hidup sehari-hari, sebagai tempat bertemu,
bertumbuh, dan menyambung
rasa lewat goresan sederhana. Pendekatan komunitas ini membuat seni terasa
lebih inklusif dan mudah diakses. Tidak ada prasyarat
intelektual untuk masuk ke
dalam ruang pameran mereka. Tidak
ada keharusan memahami
teori warna, komposisi, atau sejarah seni rupa. Yang
dibutuhkan hanya kehadiran yang datang, melihat, merasakan, dan jika berkesan,
ikut "nyambung" dalam dialog yang terbuka.
Namun, pendekatan
yang terlalu sederhana juga memiliki keterbatasan. Dengan menghindari bahasa
konseptual, komunitas berisiko membatasi ruang seni untuk dibicarakan dalam
diskursus yang lebih luas. Karya-karya yang lahir dari komunitas mungkin sulit
untuk mendapatkan legitimasi di ranah akademik atau institusi seni formal, meski memiliki nilai dan makna
yang dalam. Perbedaan antara kuratorial akademik dan komunitas memperlihatkan
dua wajah penting dalam ekosistem seni rupa. Akademisi membawa seni ke ranah intelektual
dari sebuah ruang refleksi yang mengangkat martabat manusia dan menempatkan
seni sebagai bahasa universal yang menyatukan gagasan besar. Dari
institusi pendidikan, seni mendapatkan legitimasi konseptual dan posisi dalam
wacana intelektual yang lebih luas.
Di sisi lain,
komunitas menghadirkan seni sebagai praktik hidup yang nyata, hangat, dan dekat dengan masyarakat. Seni tidak
perlu dibebani dengan konsep-konsep rumit untuk bisa bermakna. Dalam ruang
komunitas, seni menemukan kehidupan yang otentik
dari tempat di mana orang bisa bertemu, berbagi, dan tumbuh bersama tanpa harus
melewati jalan panjang teori dan filsafat.
Keduanya tidak bisa dan tidak perlu
dipertentangkan. Justru, seni menjadi kaya karena
memiliki dua sisi ini. Tanpa akademisi, seni berisiko kehilangan daya jangkau
dan pengaruh intelektualnya, terjebak dalam lingkaran yang terlalu intim dan
lokal. Tanpa komunitas, seni berisiko menjadi elitis, hanya bisa dinikmati oleh
segelintir orang yang memiliki modal kultural tertentu. Ekosistem seni yang sehat adalah yang memiliki
ruang untuk kedua pendekatan ini. Mahasiswa seni rupa perlu belajar
bagaimana mengartikulasikan karyanya dalam bahasa akademis, tetapi
mereka juga perlu
turun ke komunitas untuk
merasakan bagaimana seni bisa menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari.
Sebaliknya, komunitas juga bisa belajar dari kampus terkait bagaimana praktik
keseharian mereka bisa didokumentasikan, dianalisis, dan dimasukkan ke dalam wacana seni yang lebih luas.
Brawijaya Art Fest 2025 dan pameran "Nyambung" adalah dua contoh nyata bagaimana seni bisa hadir dalam wajah yang berbeda, namun sama-sama penting. Yang satu mengangkat seni ke ranah diskursus intelektual, yang lain membawa seni kembali ke jalanan. Yang satu memberikan bobot filosofis, yang lain memberikan kehangatan keseharian. Dan dalam dua wajah kuratorial ini, terlihat bahwa seni rupa Indonesia memiliki keduanya sebagai sebuah kekayaan yang patut dijaga dan terus dikembangkan. Dengan demikian, kuratorial seni bukan hanya tentang bagaimana sebuah pameran dijelaskan. Ia adalah cermin dari siapa yang berbicara, untuk siapa mereka berbicara, dan bagaimana mereka ingin mengajak orang lain berdialog dengan seni. Dan dalam keragaman pendekatan ini, seni menemukan kekuatannya yang sejati yaitu sebagai kemampuan untuk menyentuh manusia dari berbagai latar belakang dengan cara yang berbeda namun bermakna.


Posting Komentar untuk "Dua Wajah Kuratorial Seni: Antara Akademik dan Komunitas"
Silahkan tinggalkan komentar untuk respon atau pertanyaan, kami akan balas secepat mungkin.