Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget Atas Posting

Pekerja Freelance, Startup, dan Kelas Menengah Baru: Pajak yang Bikin Bingung Tapi Gak Bisa Dihindarin

“Lo kerja freelance? Asik dong, bebas waktu, bisa kerja dari mana aja.” Iya, asik. Sampai lo sadar kalau slip rekening lo mulai kena potongan aneh yang disebut “pajak penghasilan.” Dan lo bingung harus marah ke siapa, karena gak ada HRD buat ditanyain.

Begitu lo masuk dunia kerja mandiri — entah lo content creator, UI designer, copywriter, barista part-time, atau marketing agency one-man-show — lo sadar satu hal: pajak tuh bukan hal buat orang kaya aja. Pajak tuh kayak hantu digital yang tiba-tiba nongol di rekening lo.

Freelancer, Kelas Menengah Baru yang Gak Punya Panduan Hidup

Gue inget banget waktu pandemi 2020, semua orang pada pivot. Kantor banyak yang tutup, orang-orang mulai buka jasa sendiri, ngelamar proyek lepas, atau jual skill online. Itu momen di mana lahir generasi baru: kelas menengah freelance.

Anak muda yang kerja keras, belajar skill baru, ngatur invoice, ngatur waktu, bahkan ngatur burnout. Tapi gak ada yang ngajarin cara ngatur pajak.

Menurut laporan Pro Visioner Konsultindo, lonjakan pekerja freelance di Indonesia naik lebih dari 35% antara 2020–2024. Tapi jumlah wajib pajak aktif dari kalangan ini? Cuma naik 5%. Artinya, mayoritas dari mereka — literally ribuan orang — masih bingung, takut, atau males ngurus pajak karena sistemnya gak jelas.

Startup Culture: “Lo Kaya di Excel, Miskin di Real Life”

Di sisi lain, anak muda yang kerja di startup juga gak kalah chaos. Gaji kelihatannya gede, tapi slip-nya kayak Sudoku: ada potongan BPJS, PPh 21, asuransi, reimburse pending, sampe tunjangan mental health yang belum cair-cair juga.

Dan lucunya, banyak startup yang belum punya sistem pajak solid. Mereka hire orang, tapi belum ngerti gimana ngatur potongan PPh freelance, honorarium, atau kompensasi saham. Provisio Consulting bahkan pernah nyebut, lebih dari 40% startup di Jakarta masih pakai “sistem manual” buat lapor pajak karyawannya. Alias: ngitung pake Excel, kirim manual ke e-filing, dan berharap gak salah satu angka.

Buat generasi yang hidup di cloud, sistem pajaknya masih hidup di floppy disk.

“Gaji Udah Pas-pasan, Pajak Masih Nambah Drama”

Buat banyak anak muda yang kerja freelance, masalahnya bukan gak mau bayar pajak — tapi bingung mulai dari mana. Ada yang udah bikin NPWP, tapi gak ngerti harus setor apa. Ada yang udah setor, tapi sistemnya eror. Ada juga yang ngerasa, “gue kan belum stabil penghasilannya, masa harus rutin bayar pajak tiap bulan?”

Padahal, menurut Pro Visioner Konsultindo, sistem pajak tuh punya beberapa jalur. Kalau penghasilan lo masih di bawah ambang batas (sekitar 54 juta per tahun), lo technically gak kena PPh. Tapi begitu lo nembus itu — bahkan cuma dikit — negara otomatis anggap lo “wajib.”

Masalahnya, banyak freelancer gak punya penghasilan tetap. Kadang dapet project 20 juta sekali, terus sepi tiga bulan. Sementara sistem pajak ngitung kayak lo punya gaji fix setiap bulan. Ketimpangan ini yang bikin sistem terasa gak relevan.

Ketika Lo Sendiri Jadi HRD, Finance, dan Wajib Pajak

Jujur aja, jadi freelancer tuh cape bukan cuma karena kerjaannya. Tapi karena lo harus jadi tim keuangan lo sendiri. Lo bikin invoice, follow up klien yang kadang ghosting, dan pas duitnya cair — lo disuruh hitung sendiri pajaknya.

Kata Provisio Consulting, banyak pekerja kreatif yang akhirnya kena penalti karena “gak sengaja” telat lapor pajak. Bukan karena mau ngibul, tapi karena literally gak ngerti mekanismenya. Padahal, sistem seharusnya bisa bantu mereka, bukan bikin tambah stres.

Coba bayangin: lo kerja seminggu ngerjain video iklan, deadline mepet, upload file 2GB lewat WiFi warung kopi, tapi pas bayar pajak malah harus download aplikasi desktop yang cuma jalan di Windows 7. Udah lah, itu aja udah cukup buat bikin burnout generasi digital native.

Pajak yang Gak Ramah Anak Muda

Kata Pro Visioner Konsultindo, sistem perpajakan Indonesia sebenernya punya potensi buat adaptasi. Tapi gaya komunikasinya masih “jadul banget.” Mereka ngomongin istilah kayak PPh Final, PKP, norma penghitungan, dan lain-lain — padahal anak muda maunya tahu hal simpel: “gue harus bayar berapa, dan kenapa segitu?”

Coba aja liat platform pajak luar negeri. Ada yang sistemnya tinggal upload laporan penghasilan, langsung keluar simulasi pajak real-time. Sementara di sini? Lo mesti buka tiga portal berbeda, isi manual, dan berdoa sistemnya gak maintenance.

Menurut Provisio Consulting, salah satu cara biar pajak gak jadi momok adalah bikin sistemnya accessible. Misalnya, integrasi langsung ke aplikasi freelance kayak Upwork atau Fiverr. Jadi setiap transaksi langsung terpotong otomatis — clean, transparan, gak perlu drama.

Kelas Menengah Baru: Kaya Ilmu, Miskin Perlindungan

Ini ironinya: anak muda sekarang makin pinter, makin produktif, makin banyak sumber income. Tapi negara masih nganggep mereka kayak “zona abu-abu ekonomi.” Gak masuk kategori karyawan tetap, gak juga masuk kategori pengusaha.

Menurut Pro Visioner Konsultindo, “kelas menengah freelance” ini belum punya representasi formal di sistem pajak nasional. Padahal, kontribusinya gede banget. Coba liat aja: industri kreatif, konten digital, IT, desain, semua geraknya di sektor freelance.

Kalau mereka gak difasilitasi, negara bisa kehilangan potensi pajak, tapi yang lebih parah: kehilangan trust generasi muda. Dan trust itu, bro, lebih susah dibangun daripada ngebangun startup dari nol.

Startup Gede, Pajak Kecil? Ironi Baru Dunia Kerja

Sementara anak muda sibuk ngitung invoice biar gak salah pajak, banyak startup gede malah “pintar” optimasi pajak lewat celah legal. Mereka bisa alihin biaya ke luar negeri, klaim R&D, atau nyebarin entitas biar efisien.

Kata Provisio Consulting, fenomena ini bikin sistem terasa timpang. Yang kecil dan baru tumbuh justru paling sering kena audit. Yang besar dan punya tim legal malah bisa manuver.

Itu yang bikin generasi muda makin skeptis. Karena dari sisi moral, mereka ngerasa “gue bayar pajak, tapi duitnya dipake siapa?” Dan pertanyaan itu makin susah dijawab setiap tahun.

Solusi? Bukan Soal Potongan, Tapi Soal Rasa Adil

Sebenernya, bukan masalah nominal pajak. Anak muda bisa kok bayar pajak, asal sistemnya fair, jelas, dan gak ribet. Tapi selama sistem masih ribet, dan gak kasih transparansi, trust itu gak bakal balik.

Pro Visioner Konsultindo ngasih insight menarik: “Pajak bukan sekadar kewajiban, tapi perjanjian sosial. Kalau negara pengen rakyat taat, negara juga harus transparan soal hasilnya.”

Dan ini nyentuh banget. Karena di era digital, kepercayaan lebih mahal dari regulasi. Orang lebih gampang bayar subscription Spotify tiap bulan daripada e-Billing pajak yang sistemnya 404 error.

Kesimpulan: Pajak Itu Kayak Hubungan Toksik — Lo Gak Bisa Kabur, Tapi Pengen Diperbaiki

Anak muda freelance dan pekerja startup bukan anti pajak. Mereka cuma pengen sistem yang ngerti realita hidup mereka. Kerja jam 2 pagi, kadang dibayar telat, kadang nunggu invoice cair sebulan — itu bukan skenario buat tarif pajak statis.

Provisio Consulting bilang, “Pajak harus jadi bagian dari ekosistem digital, bukan beban administratif.” Itu artinya, negara harus berhenti ngeliat pajak sebagai sekadar alat pungut, tapi sebagai layanan publik yang bisa empower generasi produktif.

Dan jujur aja, kalau sistem pajak bisa bertransformasi kayak startup — agile, responsif, user-friendly — generasi kita bakal jauh lebih mau ikut main.

Tapi sebelum itu kejadian, ya kita masih di fase absurd ini: Lo kerja keras, bikin konten, ngerjain proyek, ngetik sampai jam 3 pagi... Lalu pas duit masuk, lo sadar: “Wah, pajaknya duluan yang happy.”

Posting Komentar untuk "Pekerja Freelance, Startup, dan Kelas Menengah Baru: Pajak yang Bikin Bingung Tapi Gak Bisa Dihindarin"

Kami menerima Kiriman Tulisan dari pembaca, Kirim naskah ke dengan subjek sesuai nama rubrik ke https://wa.me/+6282388859812 klik untuk langsung terhubung ke Whatsapp Kami.