Polarisasi Politik di Media Sosial dan Dampaknya terhadap Persatuan Bangsa
Polarisasi Politik
di Media Sosial dan Dampaknya terhadap Persatuan Bangsa
Oleh: Siti
Alya Isnaeni
Perkembangan teknologi seharusnya membawa kemajuan bagi demokrasi,
tetapi yang terjadi justru sebaliknya, media sosial kini menjadi arena
pertempuran politik yang sering kali memecah belah masyarakat. Isu polarisasi
politik di media sosial semakin terasa menjelang dan setelah pemilu. Masyrakat
terbagi menjadi beberapa kubu untuk saling menyerang, bukan karena perbedaan
gagasan, tetapi karena fanatisme terhadap tokoh atau partai tertentu.
Fenomena ini terlihat jelas di berbagai platform seperti X (Twitter),
TikTok, maupun Instagram. Banyak orang dengan mudah menyebarkan berita tanpa
memeriksa kebenarannya terlebih dahulu. Bahkan, tidak jarang akun-akun anonim dibuat
hanya untuk menyebarkan provokasi atau ujaran kebencian. Kominfo (2023)
mencatat bahwa literasi digital masyarakat Indonesia masih tergolong rendah, sehingga
pengguna media sosial mudah terjebak dalam penyebaran hoaks, terutama di masa
kampanye politik. Akibatnya, ruang diskusi publik yang seharusnya menjadi
tempat bertukar ide malah berubah menjadi ajang saling hujat dan permusuhan.
Menurut saya, ini merupakan tantangan besar bagi demokrasi Indonesia. Demokrasi
membutuhkan dialog, keterbukaan, dan sikap saling menghormati perbedaan
pendapat. Namun, Ketika media sosial dipenuhi dengan informasi palsu dan emosi
yang meluap-luap, nilai-nilai tersebut perlahan menghilang. Kompas (2024)
menulis bahwa polarisasi politik di media sosial bukan lagi sekadar perbedaan
pendapat, melainkan telah berkembang menjadi konflik identitas yang mengancam
kohesi sosial masyarakat. Yang muncul justru sikap “siapa tidak bersama saya
berarti musuh saya.” Padahal, politik seharusnya tidak membuat kita lupa bahwa
kita semua tetap satu bangsa.
Selain karena rendahnya literasi digital, polarisasi ini juga diperparah
oleh perilaku sebagian elite politik yang sengaja memanfaatkan media sosial
untuk kepentingan pribadi. CNN Indonesia (2024) melaporkan bahwa banyak elite
politik yang menggunakan media sosial untuk membentuk opini publik dan
menyerang lawan politik secara sistematis. Bahkan, Tempo (2024) menegaskan
bahwa sebagian politisi menunggangi media massa di dunia maya demi kepentingan
electoral jangka pendek, tanpa memikirkan dampak jangka panjang terhadap
persatuan bangsa. Sikap seperti ini sangat berbahaya karena dapat menurunkan kualitas
demokrasi dan kepercayaan masyarakat terhadap sistem politik itu sendiri.
Namun, bukan berarti kita tidak bisa memperbaikinya. Masyarakat perlu
belajar untuk menjadi pengguna media sosial yang cerdas: memeriksa kebenaran
berita sebelum dibagikan, menghargai perbedaan pandangan politik, dan tidak
mudah terprovokasi oleh narasi yang menyesatkan. LIPI (2022) dalam
penelitiannya juga menegaskan bahwa peningkatkan literasi digital dan kemampuan
berpikir kritis masyarakat merupakan langkah penting untuk meredam polarisasi
politik di ruang digital. Pemerintah pun memiliki peran besar untuk memperkuat
kebijakan literasi digital dan menindak tegas penyebar hoaks politik.
Saya percaya, politik yang sehat tidak akan lahir dari kebencian,
melainkan dari dialog dan kesadaran bersama bahwa perbedaan adalah hal wajar
dalam demokrasi. Media sosial bisa menjadi alat pemersatu jika digunakan dengan
bijak. Tapi kalua kita harus menjadikannya ladang perpecahan, maka demokrasi
yang kita banggakan justru bisa runtuh dari dalam.
Penulis : Siti Alya Isnaeni
Prodi: Tadris Ilmu Pengetahuan Sosial
Universitas Islam Negeri Syekh Nurjati Cirebon
Posting Komentar untuk "Polarisasi Politik di Media Sosial dan Dampaknya terhadap Persatuan Bangsa"
Silahkan tinggalkan komentar untuk respon atau pertanyaan, kami akan balas secepat mungkin.