Sulitnya Memahami Hak Asasi Manusia Di Negeri Yang Buta Warna Sosial
Boikot terhadap Trans7 menyusul tayangan yang dianggap melecehkan pesantren bukan sekadar soal media dan umat. Ini merupakan cermin retak dari pemahaman kita tentang hak asasi manusia (HAM), bukan hanya dalam teks hukum, tetapi juga dalam kehidupan sosial sehari-hari.
Kita hidup di negeri yang buta warna sosial—tidak mampu melihat keberagaman sebagai kekuatan, dan mudah panik terhadap warna yang berbeda dari dirinya sendiri.
HAM bukan hanya tentang kebebasan berekspresi, tetapi juga tentang penghormatan terhadap martabat orang lain. Sayangnya, kita sering memilih salah satunya dan menutup mata terhadap yang lain. Media menuntut kebebasan, publik menuntut kehormatan. Keduanya sah, tetapi sering kali saling berbenturan tanpa pemahaman.
Psikolog Jonathan Haidt dalam bukunya The Righteous Mind menyebutkan bahwa konflik moral sering terjadi karena perbedaan fondasi nilai. Bagi sebagian orang, kritik adalah bentuk cinta; bagi sebagian lainnya, kritik dianggap penghinaan. Carl Rogers menyebut bahwa komunikasi yang sehat membutuhkan empati tanpa syarat. Namun, dalam kasus Trans7, baik media maupun publik gagal menunjukkan hal itu. Diskusi berubah menjadi serangan balik, klarifikasi dibalas dengan pemboikotan.
HAM di Indonesia kerap dijadikan simbol politik atau alat perlawanan, bukan sebagai inspirasi etis. Michael Ignatieff menyebut bahwa HAM bisa menjadi “bahasa global” yang kosong jika tidak membumi. Kasus ini membuktikan bahwa kita dapat berbicara tentang “kebebasan” dan “martabat” tanpa benar-benar berusaha memahami posisi pihak lain.
Memahami hak asasi manusia ibarat melihat pelangi: penuh warna, kompleks, dan membutuhkan kepekaan. Sayangnya, kita hidup di tengah masyarakat yang buta warna sosial—hanya melihat apa yang nyaman dan menolak apa yang berbeda.
Boikot terhadap Trans7 adalah alarm, bukan sekadar persoalan siapa yang benar atau siapa yang salah, melainkan sejauh mana kita mampu menghargai perbedaan tanpa harus membungkam.
Seperti kata Amartya Sen, “Justice is not about ideals alone, but about removing injustice in real terms.”
Sudah saatnya kita melek warna agar HAM tidak hanya menjadi wacana, tetapi menjadi cara hidup bersama.
Nama : Maulana Adib Alamsyah
Mahasiswa Prodi Pendidikan Matematika UIN Raden Intan Lampung
Posting Komentar untuk "Sulitnya Memahami Hak Asasi Manusia Di Negeri Yang Buta Warna Sosial"
Silahkan tinggalkan komentar untuk respon atau pertanyaan, kami akan balas secepat mungkin.