Resiliensi atau Regresi? Gelombang Quiet Quitting sebagai Manifestasi Disfungsi Kontrak Pskilogis Pekerja Muda
Resiliensi atau Regresi? Gelombang Quiet Quitting sebagai Manifestasi Disfungsi Kontrak Psikologis Pekerja Muda
Oleh : Putri Khofifah Andini
Komunikasi Penyiaran Islam
UIN K.H Abdurrahman Wahid Pekalongan
Tema gelombang quiet quitting kini banyak menjadi highlight yang cukup menarik untuk kalangan pekerja muda saat ini. Fenomena ini dapat diartikan sebagai kondisi ketika para pekerja muda, terutama karyawan, secara sengaja memisahkan diri dari komitmen yang lebih luas dan hanya berfokus pada tugas formal yang tercantum dalam kontrak kerja tanpa memberikan keterlibatan tambahan. Sebenarnya, fenomena tersebut bukan hanya memperlihatkan rasa malas atau minimnya motivasi, melainkan manifestasi dari dinamika kontrak psikologis yang perlahan mengalami disfungsi. Kontrak psikologis sendiri adalah sebuah harapan yang diberikan perusahaan kepada pekerja dalam bentuk peluang berkembang, pengakuan, dan dukungan yang seimbang dengan usaha yang telah mereka berikan.
Resiliensi dalam konteks pekerjaan adalah kemampuan pekerja untuk menyesuaikan diri dalam menghadapi tantangan positif maupun negatif. Namun, ketika pekerja muda merasakan ketidakseimbangan dalam kontrak psikologis—misalnya harapan perusahaan sangat tinggi, tetapi imbalan yang diterima tidak sesuai—mereka cenderung mengurangi tenaga dan keterlibatan yang diberikan. Hal ini bukan sekadar menurunnya produktivitas, tetapi juga menjadi sebuah “tameng” untuk melindungi diri mereka dari kelelahan akibat beban kerja yang dianggap kurang masuk akal.
Saat perusahaan atau organisasi terus menekan pekerjanya untuk menunjukkan loyalitas dan meningkatkan produktivitas tanpa memperhatikan kesejahteraan psikologis, gelombang quiet quitting menjadi tanda bahwa kontrak psikologis mulai rusak. Pekerja muda yang tumbuh di era digital dengan akses informasi luas memiliki kesadaran tinggi mengenai hak dan batasan dalam pekerjaan. Mereka berani menolak tuntutan berlebihan yang tidak disertai penghargaan yang layak. Karena itu, quiet quitting muncul sebagai bentuk protes terhadap ketidakadilan psikologis sekaligus usaha untuk memperbaiki keseimbangan dalam hubungan kerja.
Lebih jauh lagi, quiet quitting mencerminkan adanya pergeseran nilai dan tujuan hidup generasi muda yang turut membentuk pandangan mereka terhadap pekerjaan. Berbeda dengan generasi sebelumnya yang menempatkan pekerjaan sebagai identitas utama dan simbol keberhasilan, generasi muda kini lebih mengutamakan keseimbangan hidup, kesehatan mental, serta kebebasan pribadi. Mereka tidak lagi memandang loyalitas tanpa batas sebagai sesuatu yang ideal, melainkan sebagai pola kerja yang dapat merugikan diri sendiri. Oleh karena itu, menjaga jarak emosional dari pekerjaan menjadi pilihan banyak anak muda sebagai bentuk perlindungan terhadap kondisi psikologis mereka—bukan karena malas seperti yang sering disalahpahami.
Meskipun demikian, gelombang quiet quitting tidak sepenuhnya memberikan dampak positif. Terkadang fenomena ini juga memiliki risiko jika tidak ditangani dengan tepat. Apabila organisasi tidak mampu menyesuaikan diri dan memperbaiki kualitas hubungan psikologis dengan para pekerjanya, dampaknya tidak hanya berupa turunnya kinerja, tetapi juga hilangnya talenta muda yang memilih pergi karena merasa tidak dihargai hingga menimbulkan trauma. Dengan kata lain, quiet quitting dapat berkembang menjadi rasa ketidakpuasan mendalam yang berpotensi melemahkan kemampuan organisasi untuk bersaing di tengah dinamika industri modern. Maka dari itu, organisasi harus lebih peka dalam menangkap tanda-tanda ketidaknyamanan karyawan dan menyediakan saluran komunikasi yang konsisten agar potensi masalah dapat diatasi lebih dini.
Lalu bagaimana selanjutnya? Untuk menghentikan lingkaran “jahat” ini, perusahaan atau organisasi perlu melakukan evaluasi mendalam terhadap budaya kerja. Pekerja muda tidak hanya membutuhkan kata-kata motivasi atau dorongan semangat, tetapi juga kepastian bahwa kontribusi mereka dihargai secara nyata. Hal tersebut dapat diwujudkan melalui komunikasi yang lebih intens, penyesuaian antara realita dan ekspektasi, pemberian penghargaan yang adil, serta tersedianya ruang untuk berkembang. Dengan pendekatan yang lebih humanis, resiliensi dapat tumbuh bukan sekadar sebagai reaksi terhadap tekanan, tetapi sebagai aset berharga untuk bertumbuh bersama organisasi. Di sisi lain, pekerja muda juga dapat merasa lebih nyaman dan menikmati pekerjaan yang mereka lakukan.
Pada akhirnya, gelombang quiet quitting bukan hanya sebuah tren, tetapi panggilan untuk menciptakan perubahan. Apakah fenomena ini akan menjadi regresi atau justru menghasilkan resiliensi sangat ditentukan oleh respons organisasi. Jika perusahaan berani memperbaiki hubungan psikologis dengan para pekerjanya, quiet quitting dapat menjadi momentum untuk membangun budaya kerja yang lebih adil, sehat, dan berkelanjutan. Sebaliknya, jika dibiarkan, fenomena ini bisa menjadi penghalang besar yang perlahan melemahkan stabilitas dan daya saing organisasi di masa depan. Oleh karena itu, program kesejahteraan psikologis bukan lagi sekadar pilihan, tetapi kebutuhan strategis. Organisasi yang berinvestasi pada kesehatan mental karyawan akan mendapatkan manfaat jangka panjang berupa retensi talenta lebih stabil dan produktivitas yang berkelanjutan.

Posting Komentar untuk "Resiliensi atau Regresi? Gelombang Quiet Quitting sebagai Manifestasi Disfungsi Kontrak Pskilogis Pekerja Muda"
Silahkan tinggalkan komentar untuk respon atau pertanyaan, kami akan balas secepat mungkin.