Anak SD, Pornografi, dan Kegagalan Pendampingan di Ruang Digital
Anak SD, Pornografi, dan Kegagalan Pendampingan di Ruang Digital
Oleh : Nisa Lubis
Kasus anak sekolah dasar di Kabupaten Buleleng, Bali, yang dapat mengakses situs pornografi bukan sekadar persoalan “klik yang salah” atau rasa ingin tahu sesaat. Peristiwa ini adalah cermin dari krisis global yang telah lama diperingatkan para peneliti: anak-anak semakin dini terpapar konten dewasa di ruang digital yang seharusnya menopang proses belajar dan hiburan mereka. Ketika hal ini terjadi berulang dan masif, persoalannya tidak lagi bersifat individual, melainkan struktural dan kolektif.
Data TopTenReviews.com mencatat bahwa sejak 2006 terdapat lebih dari 4,2 juta situs pornografi di internet, dengan rata-rata usia pertama kali terpapar berada di sekitar 11 tahun. Bahkan, sekitar 90 persen anak usia 8–16 tahun dilaporkan pernah mengakses konten dewasa, sebagian besar tanpa disengaja. Angka ini bukan sekadar statistik, melainkan sinyal bahaya bahwa masa kanak-kanak kini berlangsung di ruang digital yang tidak ramah bagi perkembangan mereka.
Fenomena global tersebut kini menemukan wajah nyatanya di Buleleng. Laporan Kompas.com pada 1 Mei 2025 mengungkap bahwa anak-anak SD dapat mengakses situs pornografi dengan relatif mudah, baik dari rumah, sekolah, maupun ruang publik digital seperti warung internet dan jaringan Wi-Fi terbuka. Peningkatan penggunaan gawai tidak diimbangi dengan pengawasan dan pendampingan yang memadai dari orang tua, sekolah, maupun lingkungan sosial. Penelitian Exposure to Internet Pornography: A Cross-sectional Study among Primary School-aged Children in Java memperkuat gambaran ini, dengan menunjukkan bahwa paparan pornografi pada anak usia sekolah dasar juga terjadi luas di Jawa, bahkan pada usia di bawah tujuh tahun, dan hampir 19 persen akses berlangsung tanpa disengaja.
Situasi ini perlu dibaca dengan kacamata perkembangan anak. Anak usia 7–12 tahun bukanlah pelaku penyimpangan, melainkan kelompok yang sangat rentan. Jean Piaget menjelaskan bahwa anak sekolah dasar berada pada tahap operasional konkret, yakni tahap berpikir yang masih berpusat pada hal-hal yang nyata dan visual (Piaget, 1952). Dalam konteks ini, konten pornografi tidak dipahami sebagai representasi abstrak relasi intim orang dewasa, melainkan sebagai perilaku nyata yang tampil di layar dan berpotensi ditiru. Ketika visual menjadi sumber belajar utama sementara kemampuan berpikir abstrak dan penilaian moral belum matang, anak berada pada posisi yang sangat rawan.
Kerentanan tersebut semakin kompleks jika dilihat dari perkembangan psikososial. Erik Erikson menempatkan anak sekolah dasar pada tahap industry versus inferiority, yaitu fase ketika anak membangun rasa percaya diri melalui keberhasilan belajar dan penerimaan sosial (Erikson, 1959). Paparan pornografi berpotensi mengganggu fase ini karena memunculkan rasa bersalah, takut ketahuan, dan perasaan “berbeda” dari teman sebaya. Alih-alih tumbuh percaya diri dan produktif, anak justru berisiko memendam kebingungan emosional yang tidak mampu mereka pahami secara utuh.
Risiko tersebut diperkuat oleh cara anak belajar perilaku. Albert Bandura melalui teori belajar sosial menegaskan bahwa anak belajar terutama melalui pengamatan dan peniruan (observational learning) (Bandura, 1977). Eksperimen Bobo Doll menunjukkan bahwa perilaku yang diamati anak cenderung ditiru meskipun anak belum memahami konsekuensi dari perilaku tersebut (Bandura, Ross, & Ross, 1961). Dalam konteks Buleleng, konten pornografi berpotensi menjadi “model perilaku” yang keliru, berfungsi sebagai guru yang salah bagi anak-anak yang kemampuan menirunya berkembang lebih cepat dibandingkan kemampuan menilai risiko.
Dari sisi biologis, kondisi ini diperparah oleh belum matangnya perkembangan otak anak. Bagian otak yang berperan dalam pengendalian diri, pengambilan keputusan, dan penilaian moral, yakni prefrontal cortex, masih berada dalam tahap perkembangan. Paparan rangsangan seksual yang tidak sesuai usia dapat memicu kebingungan, kecemasan, serta perubahan perilaku yang berdampak jangka panjang terhadap perkembangan kognitif dan emosional anak.
Karena itu, memahami kasus anak SD di Buleleng tidak cukup dengan menyalahkan teknologi atau perilaku anak. Persoalan utamanya adalah kegagalan pendampingan. Anak-anak dibiarkan menjelajah ruang digital sendirian, padahal mereka belum siap menghadapi informasi yang terlalu kompleks dan sensitif. Dalam situasi ini, anak bukan sedang “melanggar”, melainkan sedang mencari makna di ruang yang tidak dirancang untuk tahap perkembangan mereka.
Lebih jauh, kondisi ini menunjukkan ketidaksiapan lingkungan sosial, termasuk negara, dalam melindungi anak di era digital. Internet berkembang jauh lebih cepat daripada kemampuan orang tua, sekolah, dan kebijakan publik dalam mengantisipasi risikonya. Regulasi perlindungan anak di ruang digital masih lemah pada tataran implementasi, sementara literasi digital sering berhenti pada jargon tanpa pendampingan nyata. Akibatnya, anak-anak berada di ruang digital yang terbuka luas, tetapi miskin pengawasan, minim dialog, dan nyaris tanpa perlindungan emosional.
Di tengah kerentanan tersebut, rumah seharusnya menjadi garis pertahanan pertama. Pencegahan paparan pornografi tidak cukup dilakukan dengan larangan atau pemutusan akses gawai, tetapi menuntut penguatan peran orang tua sebagai pendamping utama. Pembatasan waktu layar, pengaktifan fitur keamanan, dan pendampingan saat anak menjelajah internet perlu berjalan seiring dengan komunikasi yang hangat dan terbuka. Ketika anak merasa aman untuk bercerita, beban psikologis dapat diredakan dan risiko isolasi sosial dapat ditekan sejak dini.
Namun, peran orang tua tidak akan efektif tanpa literasi digital yang memadai. Orang tua perlu memahami cara kerja teknologi dan risiko konten digital agar dapat berfungsi bukan sekadar sebagai pengawas, tetapi sebagai pembimbing yang menanamkan nilai, batasan, dan tanggung jawab. Dengan pendampingan yang konsisten dan lingkungan keluarga yang aman secara emosional, rumah dapat menjadi benteng utama perlindungan anak.
Di luar rumah, sekolah dasar juga tidak boleh absen. Literasi digital dan pendidikan karakter digital harus hadir sebagai bagian nyata dari pembelajaran, bukan sekadar wacana tambahan. Guru bukan hanya pengajar akademik, tetapi pendamping anak dalam memahami batasan dan risiko di ruang digital. Sekolah juga perlu membangun kolaborasi aktif dengan orang tua agar nilai dan aturan yang diterapkan konsisten antara rumah dan sekolah.
Pada akhirnya, pertanyaan mendasarnya bukan lagi apakah anak siap menghadapi internet, melainkan apakah orang dewasa—orang tua, pendidik, pembuat kebijakan, dan masyarakat sudah benar-benar siap melindungi anak di dalamnya. Ketika anak SD dapat mengakses pornografi dengan mudah, itu bukan kegagalan anak, melainkan kegagalan kolektif kita dalam menjaga masa kanak-kanak agar tetap aman, bermakna, dan manusiawi di tengah derasnya arus digital.

Posting Komentar untuk "Anak SD, Pornografi, dan Kegagalan Pendampingan di Ruang Digital"
Silahkan tinggalkan komentar untuk respon atau pertanyaan, kami akan balas secepat mungkin.