Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget Atas Posting

Bahasa: Dijajah atau Menjajah?


Bahasa: Dijajah atau Menjajah?
Oleh : Calista Angellealkl

Apakah selama ini teman-teman sadar, jika bahasa sudah berubah menjadi seperti “arena kekuasaan?” Tidak hanya mencakup berbicara dan menulis, tetapi juga tentang siapa yang lebih “berkuasa” di percakapan sehari-hari. Pada zaman sekarang sudah terlihat, seseorang berbicara bercampur bahasa Inggris, seperti meeting, deadline, update, healing. Seolah berbicara menggunakan bahasa Indonesia murni terkesan “kok kurang keren, ya?”. Pada akhirnya menimbulkan pertanyaan yang agak menggelitik muncul “apakah bahasa kita sedang dijajah oleh pengaruh luar, atau justru menjadi penjajah bagi bahasa-bahasa lain di negeri sendiri?”.

Kemungkinan bahasa kita sendiri sedang bingung untuk berdiri di pihak mana antara ikut keren atau tetap menjadi diri sendiri. Faktanya, bahasa Indonesia ini posisinya rumit. Di satu sisi, jadi korban globalisasi terserang pengaruh dari bahasa asing, terutama Inggris. Tetapi di sisi lain juga bisa dibilang penjajah, terutama untuk bahasa daerah. Bahasa Indonesia sekarang menjadi penguasa di berbagai tempat yakni sekolah, kantor, bahkan di ruang keluarga. Anak-anak zaman sekarang lebih fasih berbicara “aku nggak cocok sama dia” daripada berbicara dalam bahasa daerahnya sendiri. Ironis, bukan?

Padahal, jika dipikir ulang bahasa tidak hanya tentang berbicara, tetapi juga soal kuasa. Masalahnya, apakah ada yang mengatur bahasa, biasanya hanya bisa mengatur pemikiran kita dan melihat sesuatu. Hal ini sejalan dengan teori Sapir-Whorf, yang menyatakan bahwa bahasa membentuk cara berpikir manusia. Jika seseorang terus-menerus menggunakan bahasa asing, maka cara pandangnya pun ikut terwarnai oleh budaya luar. Misalnya, Bahasa Inggris sekarang sudah menjadi “raja” di sekolah, kantor, sampai dunia hiburan. Banyak bahasa lain pelan-pelan kehilangan kedudukannya. Bahasa Indonesia pun terkena imbasnya: banyaknya kata asing, perubahan gaya bicara, dan maknanya semakin kabur. Tetapi di sisi lain, kita juga tidak bisa pura-pura tidak tahu jika bahasa Indonesia sering kali mengambil peran sebagai “penjajah” di tanah sendiri.

Perhatikan apa yang terjadi di sekitar, banyak bahasa daerah yang perlahan hilang karena anak muda lebih nyaman memakai bahasa Indonesia, bahkan campuran dengan bahasa asing. Ketika bahasa daerah tidak lagi digunakan, yang hilang bukan hanya kata, tetapi juga nilai dan kebijaksanaan lokal yang terkandung di dalamnya (Fishman, 2001). Di sekolah, bahasa daerah sering dianggap tidak pantas dipakai karena kesannya kurang formal. Di rumah pun, banyak anak yang memilih tidak menggunakannya karena takut dianggap kampungan. Semakin lama, bahasa lokal kehilangan tempatnya dan perasaan bangga yang dulu melekat padanya.

Apakah dengan itu berarti kita harus menolak bahasa asing? Tentu tidak. Dunia sekarang sudah terlalu terhubung untuk bisa menutup diri dari pengaruh luar. Kalau pun sebuah bahasa punah, cara hidup, cara berpikir, dan nilai-nilai yang melekat di dalamnya ikut hilang juga. Tanpa sadar, kita akan kehilangan sebagian dari siapa diri kita. Tetapi itu bukan alasan untuk menolak pengaruh luar. Belajar dan memakai bahasa lain justru menunjukkan jika kita terbuka dan ingin bertumbuh. Hal terpenting adalah kita tahu kapan harus terbuka dan kapan harus menjaga.

Bahasa Indonesia seharusnya menjadi jembatan antara budaya global dan akar lokal. Kita bisa tetap modern tanpa kehilangan jati diri. Sekolah dan media berperan penting dalam menjaga bahasa daerah agar tetap hidup. Bahasa daerah sebaiknya tidak hanya digunakan saat acara kebudayaan saja. Menurut Mahmud (2019), pembinaan bahasa perlu menanamkan nilai karakter dan kebanggaan terhadap identitas bangsa. Seperti yang dikatakan Alisjahbana (1939), bahasa adalah jiwa kebudayaan bangsa. Jika bahasa kehilangan arah, maka jati diri bangsa pun ikut kabur.


Informasi Penulis :

Nama saya Calista Angellea, yang akrab disapa Calista, lahir pada 4 Agustus 2006 di Boyolali. Sejak kecil, saya tumbuh dalam lingkungan yang mendukung untuk terus berkembang, baik dalam bidang akademik maupun nonakademik. Dengan ketekunan dan rasa ingin tahu yang besar, saya selalu berusaha memberikan yang terbaik dalam setiap hal yang di tekuni.Saat ini saya sedang menempuh pendidikan sebagai mahasiswa aktif semester 3 di UIN Raden Mas Said Surakarta.



 

Posting Komentar untuk "Bahasa: Dijajah atau Menjajah?"

Kami menerima Kiriman Tulisan dari pembaca, Kirim naskah ke dengan subjek sesuai nama rubrik ke https://wa.me/+6282388859812 klik untuk langsung terhubung ke Whatsapp Kami.