Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget Atas Posting

BELATI MITOS DAN TUBUH YANG DIRAMPAS: REFLEKSI PERGULATAN PEREMPUAN DALAM SASTRA KONTEMPORER

BELATI MITOS DAN TUBUH YANG DIRAMPAS: REFLEKSI PERGULATAN PEREMPUAN DALAM SASTRA KONTEMPORER

Sastra kontemporer seringkali menjadi arena pertarungan ideologi, merekam gema-gema perlawanan terhadap norma yang menua. Di tengah pusaran budaya yang mendikte, muncul narasi-narasi yang berani membongkar tabir sistem patriarki, menyingkap bagaimana kuasa sosial bekerja secara senyap dan sistematis merampas hak personal. Novel yang berpusat pada tokoh Yuni, seorang siswi SMA yang kukuh pada ambisi pendidikannya, berdiri tegak sebagai cerminan sekaligus kritik pedas atas realitas tersebut. Kisahnya adalah resonansi kuat tentang perempuan muda yang dipaksa bernegosiasi dengan struktur sosial yang menuntutnya untuk memilih antara masa depan impian atau takdir domestik yang telah disiapkan. Melalui narasi ini, kita diajak menelanjangi mitos-mitos yang beredar, menelaah relasi kuasa yang timpang, dan menyelami bagaimana makna perempuan diproduksi dalam lensa masyarakat Indonesia yang konservatif. Resensi ini akan membedah teks tersebut sebagai dokumen perlawanan, menggunakan pisau analisis feminisme untuk memahami mekanisme penindasan yang bekerja, serta peran perempuan sebagai subjek yang berjuang merebut kembali narasi dirinya.Novel “Yuni” karya Ade Ubaidil merupakan salah satu sastra kontemporer yang berhasil menyajikan bagaimana perempuan muda bernegosiasi dengan struktur sosial patriarkal yang mengatur hidupnya. Dengan menghadirkan tokoh Yuni, seorang siswi SMA yang harus menghadapi tekanan budaya dari lingkungan sekitarnya yang berupa lamaran pernikahan dini. Novel ini membuka sebuah kritik terhadap mitos, relasi kuasa, dan produksi makna tentang perempuan dimata masyarakat Indonesia. Menggunakan pendekatan feminisme, resensi ini menelaah bagaimana teks ini bekerja sebagai cerminan sekaligus kritik terhadap sistem patriarki.

Ringkasan Cerita

Yuni adalah seorang remaja SMA yang menolak lamaran hingga 2 kali demi sebuah  cita-cita  untuk  melanjutkan  pendidikan.  Karena  itulah,  Yuni  harus menghadapi cibiran tetangga dan stigma sosial bahwa perempuan tidak perlu pendidikan tinggi untuk menjadi istri dan ibu. Lebih rumit lagi ketika masyarakat memepercayai mitos jika perempuan menolak lamaran sebanyak dua kali akan susah mendapat jodoh. Konflik ini menjadi pusat naratif, mempertentangkan hasrat personal dan tekanan sosial yang berlapis.

 

Analisis Feminisme dan Kutipan Teori

Novel "Yuni" karya Ade Ubaidil merupakan cerminan tajam dari sastra kontemporer yang berhasil menangkap pergulatan perempuan muda dalam menavigasi struktur sosial patriarki yang mengekang. Dengan menghadirkan tokoh utama, Yuni, seorang siswi SMA yang bertekad melanjutkan pendidikan, novel ini secara eksplisit mengkritik mitos-mitos yang beredar, relasi kuasa, dan bagaimana masyarakat Indonesia memproduksi makna tentang keberadaan perempuan.

 

Kuasa Sosial dan Tubuh Perempuan

Analisis feminisme dalam novel ini menyingkap bagaimana sistem patriarki bekerja. Menggunakan konsep Simone de Beauvoir, terlihat jelas bahwa Yuni “menjadi” perempuan bukan karena faktor biologis, melainkan karena masyarakat yang mengatur dirinya, menjadikannya subjek yang hanya layak dinilai melalui kesiapan menikah. Yuni ditempatkan sebagai the other, pihak yang diatur dan harus mengabaikan segala cita-citanya hanya karena ia seorang perempuan, sesuai konsep Beauvoir. Pandangan masyarakat yang mereduksi nilai perempuan terlihat jelas:

“Lagian perempuan, mah, yang penting jago di dapur, di kasur, dan jago sumur, kan?

Ade Ubaidil secara gamblang menunjukkan bagaimana patriarki memposisikan perempuan untuk patuh pada norma. Lebih jauh, novel ini juga memperlihatkan bagaimana mitos beroperasi sebagai kekerasan simbolik. Sejalan dengan pemikiran Bell Hooks yang menyatakan “Patriarchy has no gender”, tekanan terhadap Yuni justru datang dari agen-agen patriarki yang juga seorang perempuan dewasa, seperti tetangga, keluarga, bahkan teman, yang mempercayai mitos penolakan lamaran dua kali. Norma sosial ini terasa seperti belati yang diam-diam diselipkan ke hati, menekan perempuan untuk menerima takdir yang dianggap sebagai rezeki:

“rezeki pantang ditolak. Toh perempuan tetap akan kembali. Ke dapur, jadi ibu, jadi istri. Lebih cepat lebih baik,”


Mitos ini bukanlah kekerasan fisik, melainkan bentuk penundukan melalui norma sosial yang dipaksakan. Novel ini menunjukkan bahwa perempuan sering kali menjadi korban, sekaligus penerus dari norma-norma menindas tersebut. Konsep Judith Butler tentang gender yang performatif dan tubuh sebagai “tempat norma sosial dituliskan” (“The body is a site of social meaning”) juga tercermin kuat dalam narasi. Dalam novel, tubuh Yuni tidak lagi menjadi milik pribadi; keputusannya untuk menikah atau tidak telah beralih menjadi urusan publik. Upaya Yuni untuk merebut kembali kendali atas tubuhnya diwujudkan melalui penolakan yang tegas:

Aku enggak bisa nikah sama kamu!”

Kontrol terhadap tubuh Yuni dilakukan melalui mitos, gosip, dan moralitas semu yang beredar di masyarakat.


Kekuatan Utama Novel: Kekuatan utama novel Yuni terletak pada kritik sosial yang tajam dan relevan. Novel ini dengan cerdas menyingkap operasi patriarki, khususnya isu pernikahan dini, mitos, dan kontrol terhadap tubuh perempuan. Penggunaan simbol dalam cerita juga sangat kuat, seperti obsesi Yuni terhadap warna ungu yang menjadi metafora atas identitas, kekuatan, ambisi, sekaligus luka yang ia tanggung. Meskipun menggunakan bahasa yang efektif dan mudah diakses, novel ini tidak kehilangan kedalamannya, sehingga dapat dibaca oleh berbagai kalangan tanpa mengorbankan kedalaman makna.

Ruang Pengembangan: Meskipun demikian, terdapat ruang pengembangan dalam pendalaman karakter pendukung, terutama beberapa tokoh laki-laki yang melamar dan figur otoritas, yang terasa kurang terdalami secara psikologis. Hal ini menyebabkan antagonisme sosial terasa lebih dominan daripada konflik personal Yuni. Selain itu, karena novel ini merupakan adaptasi dari film, beberapa adegan dalam struktur naratifnya terasa terlalu cepat, yang mungkin membuat pembaca yang mencari kedalaman prosa merasa eksplorasi emosionalnya kurang. Terdapat pula dialog yang terkadang terasa terlalu didaktik atau mengarah pada pengajaran eksplisit mengenai pilihan perempuan.


Secara keseluruhan, Yuni adalah novel yang sangat penting dalam lanskap sastra Indonesia kontemporer dan diskursus feminisme. Ade Ubaidil berhasil menyorot pergulatan perempuan dengan patriarki secara tepat dan menggugah. Dengan kerangka teori feminisme dari Beauvoir, Butler, dan Hooks, novel ini dapat dibaca sebagai teks perlawanan terhadap struktur sosial yang menindas. Novel ini tidak hanya menghibur, tetapi juga memberikan pendidikan sosial dan politis. Bagi kalangan akademik, novel Yuni membuktikan bahwa sastra dapat berfungsi sebagai alat kritik sosial yang efektif, membuka mata pembaca, sekaligus menciptakan ruang pembebasan bagi perempuan.


TENTANG PENULIS

Annissa Meilasari lahir di Purworejo, tahun 2008, dari waktu yang berjalan pelan dan ingatan yang tumbuh diam-diam. Ia kini menetap di Pekalongan, Kecamatan Paninggaran—sebuah ruang sunyi tempat ia belajar mendengarkan dunia tanpa banyak suara.

Ia menempuh pendidikan di Universitas Islam Negeri K.H. Abdurrahman Wahid Pekalongan, namun kehidupan batinnya kerap berlangsung di luar ruang- ruang formal. Annissa menulis untuk menunda lupa, untuk menyimpan hal-hal yang tidak sempat diucapkan, dan untuk memberi makna pada perasaan yang sering datang tanpa alasan.

Bahasanya tenang, kadang rapuh, namun jujur. Ia percaya bahwa kata tidak selalu harus lantang untuk berarti, dan bahwa bertahan, sekecil apa pun langkahnya, adalah bentuk keberanian. Tulisan-tulisannya bergerak di antara ingatan, jarak, dan keinginan pulang—meski tak selalu tahu ke mana.

Esai ini adalah jejak kecil dari proses itu: upaya memahami diri melalui bahasa, serta keyakinan sederhana bahwa setiap yang terus berjalan, pada akhirnya akan sampai.
















Posting Komentar untuk "BELATI MITOS DAN TUBUH YANG DIRAMPAS: REFLEKSI PERGULATAN PEREMPUAN DALAM SASTRA KONTEMPORER"

Kami menerima Kiriman Tulisan dari pembaca, Kirim naskah ke dengan subjek sesuai nama rubrik ke https://wa.me/+6282388859812 klik untuk langsung terhubung ke Whatsapp Kami.