Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget Atas Posting

Cerpen "Dibalik Pintu-pintu Itu"

 DI BALIK PINTU-PINTU ITU

Oleh : Cinta Ayu Fanisa Fitri, Kinara Cahaya Bintang Utami, Naureen Ashalina Zafreen, Syalwa Zhauarisca Putrie, Syifaunnajwa Maulidina

Di sebuah rumah kecil, sepasang suami istri hidup sederhana bersama putri semata wayang mereka. Hari-hari mereka tenang, dipenuhi tawa dan keteduhan. Rumah itu tak pernah benar-benar sunyi, seolah menyimpan kenangan yang berdiam dalam sebuah besi tua, bukan sekadar brankas, melainkan jantung kehidupan keluarga, tempat rahasia dan harta hati mereka terlindung. Di dalamnya terdapat surat tanah kecil dan seutas perhiasan yang menjadi simbol cinta dan perjuangan mereka.

Suatu pagi yang kelabu, ketika cahaya belum sepenuhnya mengusir gelap, Ayah mendapati lemari yang dulu menjaga brankas terbuka, menganga tanpa suara. Brankas itu lenyap bersama kabut, meninggalkan kehampaan yang mencuri rasa aman dan sepotong masa lalu keluarga mereka.

Dengan langkah pelan, Ayah menuju ranjang. Ibu masih terlelap, wajahnya damai di bawah cahaya pucat yang menembus tirai. Ayah menunduk, suaranya nyaris tenggelam oleh detak jam dinding.

“Ibu…. bangunlah sebentar,” lirih Ayah.

“Ada apa, Yah?”

“Brangkas itu…. hilang,” jawab Ayah dengan helaan napas berat.

Hanya kalimat itu yang terucap dari bibirnya, singkat, namun cukup membekukan udara di kamar. Ibu terdiam, menatap kosong pada pintu lemari yang terbuka. Tanpa tangis, tanpa teriakan, hanya dua jiwa tua yang mengerti bahwa sepotong masa lalu mereka telah ikut lenyap bersama kabut pagi.

Beberapa saat kemudian, Ayah mengenakan jaket lusuhnya. Ia menatap Ibu sejenak lalu melangkah keluar.

“Aku akan pergi  ke Balai Seribu Pintu,”

Ayah menapaki jalan berkabut menuju Balai Seribu Pintu, bangunan tua mirip kantor yang lama ditinggalkan. Dinding abu-abu, jendela berdebu, dan papan kusam bertuliskan Balai Pelaporan Kehilangan dan Penemuan.” Di bawahnya, formulir tertiup angin Laporan Ditolak,” “Data Tidak Lengkap.” Ia menatapnya sejenak sebelum masuk, sementara derit gerbang terdengar seperti keluhan masa lalu.

Udara lembap dan dingin menyelimuti ruangan. Di bawah langit-langit tinggi, deretan pintu berwarna membentang di sepanjang lorong. Meja resepsionis kosong, penuh formulir berserakan, dan papan Harap antri sesuai nomor pintu tergantung sia-sia. Dari kejauhan, langkah bergema  muncul seorang penjaga bertopeng logam dengan tatapan dingin dan hampa.

“Barangmu bisa dicari, tapi setiap laporan punya jalannya sendiri. Kau harus melewati pintu-pintu yang kami jaga” tegas sang penjaga.

“Berapa banyak pintu yang harus kulalui?”

“Sebanyak kesabaran yang kau punya” jawab sang penjaga seraya tersenyum samar.

Penjaga menunjuk ke lorong kanan, tempat tujuh pintu pertama berdiri, pintu menuju kebenaran atau keputusasaan. Ayah menggenggam topinya, menelan gugupnya, lalu melangkah ke pintu pertama bertuliskan Pintu Angin.” Dalam hatinya hanya satu harap, menemukan kembali jantung kecil masa lalu yang hilang bersama brangkas tua. Dari sanalah perjalanan panjangnya dimulai.

Pintu pertama berderit pelan. Udara dingin menerpa wajah Ayah, dan suara samar terdengar dari baliknya

“Bawalah bukti bahwa barangmu benar-benar hilang, bukan hanya rasa kehilangan.”

Ayah menatap tangannya yang kosong, apa yang bisa dibuktikan dari sesuatu yang telah lenyap? Ia mengeluarkan foto lama dirinya dan sang istri, tersenyum di depan brankas itu. Angin berdesir, merobek foto menjadi debu. Namun Ayah tak menyerah, ia menampung debu itu di telapak tangannya dan berbisik lirih,

“Jika di rasa tak cukup, biarlah napasku menjadi bukti.”

Angin berhenti sesaat, seolah mendengar kejujuran itu. Pintu pun terbuka pelan, menyisakan bisikan

“Bukti sejati kadang bukan di kertas, tapi di kesungguhan langkah.”

Di depan gerbang kedua yang bertuliskan “Pintu Suara”, terlihat dua penjaga menunggu.

“Kami hanya percaya pada dua saksi yang melihat barang kehilanganmu,” kata mereka.

Ayah terdiam. Tak ada siapa pun selain dirinya dan sang istri yang tahu akan brangkas itu. Ia mengeluarkan surat tulisan tangan dari istrinya, bukan kesaksian, tapi doa.

“Ia tak melihat kehilangan, tapi ia merasakannya,” kata Ayah.

Penjaga tertawa tipis. “Rasa tidak bisa jadi saksi.”

Namun Ayah menjawab, “Maka biarkan rasa ini bersaksi untukku.”

Seketika, ruang bergema oleh suara lirih, bukan dari bibir, melainkan dari dalam dada. Penjaga terdiam dan pintu pun terbuka.

Pintu ketiga bertuliskan “Pintu Tinta terbuka, menampakkan meja, pena, dan formulir tanpa ujung. Di dinding tertera, Tulislah laporanmu dengan tinta air matamu.” Namun tangis Ayah telah kering, maka ia menulis dengan darahnya. Huruf samar bercahaya membentuk kalimat Aku kehilangan masa lalu,” dan pintu pun terbuka perlahan.

Sebuah jam besar berdiri di depan pintu keempat. Jarumnya berhenti di antara dua angka.

“Laporan hanya bisa diterima pada jam di antara dua detik,” ujar penjaga.

Ayah menunggu. Waktu tak datang. Lalu ia mengambil jarum jam itu, memutarnya sendiri.

 “Jika waktu menunggu keadilan, biarlah aku yang menggerakkannya.”

Jarum berdenting, dan pintu terbuka. Namun di balik pintu, ia hanya menemukan antrean panjang manusia, semuanya menunggu waktu yang sama.

Pintu kelima berwarna hitam, seperti cermin kusam.

Penjaga berkata, “Masuklah bersama salinan dirimu sendiri.”

Ayah menatap bayangannya dan menjawab, “Aku tak punya salinan.”

Bayangan itu menjawab, “Kalau begitu, buatlah dirimu di atas kertas.”

Ayah menulis namanya di selembar formulir baru, menandatangani salinan dari dirinya sendiri. Cermin itu bergetar, lalu membiarkan ia dan “salinannya” masuk.

Di ruangan keenam, meja-meja penuh berkas menumpuk.

“Semua laporan harus disegel oleh pejabat tak bernama,” kata suara dari dinding.

Ayah menunggu lama, hingga malam. Tak ada pejabat datang. Akhirnya ia mengambil stempel di meja dan menekannya sendiri di berkasnya. Tinta itu menyala. “Segel telah diberikan oleh yang paling berhak, yaitu dia yang benar-benar kehilangan.” Pintu terbuka perlahan.

Gerbang terakhir tampak sederhana, hanya ada cahaya lembut di baliknya. Tulisan kecil terukir “Tak ada syarat tertulis. Hanya mereka yang tak lagi berharap bisa melewatinya.” Ayah berdiri lama di depan pintu. Harapannya sudah retak, tapi belum mati.

Ia menutup mata, menarik napas, lalu berbisik, “Aku tak lagi berharap menemukan barangku. Aku hanya ingin mengerti kehilanganku.”

Cahaya dari balik pintu bergerak, membentuk sosok kecil yaitu anaknya, tertawa memanggil “Ayah.” Pintu terbuka. Namun bukan menuju ruangan, melainkan ke jalan pulang.

Ayah pulang saat sore mulai runtuh. Kabut menelan jalan desa. Di teras, Ibu duduk bersama gadis kecil satu-satunya.

“Bagaimana, Yah? Apakah mereka akan membantu?” tanya Ibu.  Ayah menggeleng, tapi kali ini dengan senyum tipis.

“Balai itu memang punya seribu pintu... tapi yang paling sulit dibuka ternyata bukan pintu mereka melainkan pintu di dalam diri.”

Anaknya memeluk kaki Ayah, tertawa kecil tanpa tahu apa yang hilang. Dan Ayah tahu, kehilangan brankas itu bukan akhir. Karena yang ia temukan di balik tujuh pintu bukanlah benda,  melainkan makna bahwa cinta, kesabaran, dan kejujuran tetap bisa bertahan di tengah sistem yang berbelit.


Sinopsis :

Cerpen “Di balik Pintu-Pintu Itu” mengangkat isu kerumitan birokrasi dan lemahnya pelayanan publik yang sering mempersulit masyarakat kecil dalam mencari keadilan. Melalui kiasan pintu-pintu yang harus dilalui, cerita ini menggambarkan bagaimana sistem yang berbelit dan tanpa empati dapat menjebak harapan serta mempersulit korban. Isu ini penting diadvokasikan karena mencerminkan ketimpangan antara rakyat dan sistem yang seharusnya melayani mereka. Cerita ini mendorong perubahan menuju pelayanan publik yang lebih manusiawi, transparan, dan berempati terhadap warga. Nilai yang ingin ditanamkan adalah kejujuran, kesabaran, keberanian, serta kesadaran bahwa kehilangan bukan hanya soal materi, melainkan perjalanan batin menuju penerimaan dan keteguhan. Di balik pintu-pintu itu menjadi refleksi tentang kemanusiaan di balik prosedur formal, dan ajakan untuk melihat keadilan bukan sekadar dokumen, melainkan juga kehangatan dan harapan.





Posting Komentar untuk "Cerpen "Dibalik Pintu-pintu Itu""

Kami menerima Kiriman Tulisan dari pembaca, Kirim naskah ke dengan subjek sesuai nama rubrik ke https://wa.me/+6282388859812 klik untuk langsung terhubung ke Whatsapp Kami.