Cerpen "PETA YANG TAK PERNAH USANG" oleh Zahira Sofa
PETA YANG TAK PERNAH USANG
Oleh : Zahira Sofa
Tatapannya kosong entah
kemana, seperti pikiranku yang kini berkecambuk memikirkan apa yang seharusnya
tak kupikirkan. Aku lelah, kepalaku sangat sakit dan tubuhku menjerit seperti
ingin di istirahatkan. Angin malam yang tadinya bersahabat kini ia mulai liar
menusuk kulit hingga tulang rusukku, rasa dingin itu kini mulai menjalar
ketubuhku.
“kapan ya, aku bisa pulang ke
rumah ketemu mama papa .”
“kapan ya, mama sama papa bilang
kangen terus nyuruh aku pulang.”
“kata orang-orang anak terahir itu
paling di kangenin sama orang tua, tapi aku ........”
Suaraku tersekat dan aku tak bisa
melanjutkannya. Tenggorokanku mendadak menyempit, seolah ada gumpalan keras
yang tersangkut di sana, menghalangi udara dan kalimat yang tak sempat aku lanjutkan.
Kalimat itu terasa berat dan terlalu nyata untukku ucapkan.
Perlahan pertahananku runtuh, bibirku mulai bergetar tak terkendali, mati-matian aku menahan suara yang ingin aku ucapkan. Aku mengangkat kedua tanganku untuk menutup wajah ceriaku yang selalu aku tunjukan kepada semua orang. Kepalaku mulai tertunduk kebawah, aku membiarkan bahuku terangkat turun dalam rentak yang cepat, pada malam yang dingin ini aku meluapkan rasa lara yang selalu aku pendam melalui air mata yang kini mengalir deras tanpa jeda, membasahi pipi dan tanganku. Ini bukanlah tangisan yang pertama atau yang ke dua kalinya, melainkan pelepasan diam dari rasa lara yang tak bisa aku ungkapkan.
~***~
Cahaya surya pagi ini mulai
memasuki kamar tidurku melalui celah jendela yang sedari malam tadi terbuka. Aku
sengaja membukanya dengan harapan agar udara malam yang sejuk dan tenang bisa
membatu menenangkan pikiran kacau ku itu agar bisa tidur dengan nyenyak. Cahaya
itu perlahan merayap, menyentuh tepi selimut dan wajah yang masih terlelap.
Udara di dalam kamar terasa tenang, hanya ada suara napas pelan. Kehangatan
tipis yang dibawa cahaya itu menandakan bahwa malam sudah benar-benar usai, dan
hari baru telah di mulai.
“tit tit tit tit tit”
Aku tersentak, kaget karna bunyi
suara alarm dari benda pipih di meja samping tempat tidurku. Bunyinya yang
terus berulang itu memecah ketenangan tidurku, dengan malas tanganku meraih
benda pipih itu dan meraba-raba tombol snooze dengan mata yang masih setengah
tertutup, setelah bunyi bising itu berhenti aku terduduk lemas berusaha
menggumpulkan nyawa. Setelah aku mengumpulkan setengah nyawa ini, lalu aku beranjak
dari tempat tidurku dan menuju kamar mandi.
Setelah mandi aku besiap-siap
dengan menggunakan pakaian terbaikku dan sedikit olesan make up natural agar
wajahku terlihat lebih segar dan semangat menjalani hari ini.
Ya, hari ini aku berkegiatan
seperti biasa, yaitu memulai hari dengan bekerja. aku bekerja di warung makan
sederhana bernama “WARUNG LESEHAN BU SITI” yang berada di salah satu gang padat
di kota Jakarta. Warung Bu Siti selalu ramai, mulai dari tukang ojek yang
hampir setiap hari mampir untuk sarapan hingga karyawan kantoran yang mencari
makan siang yang murah dan tentunya enak. Sejujurnya, aku bukanlah lulusan
sekolah kuliner bahkan aku tidak pernah bekuliah, aku adalah seorang juru masak
autodidak yang terbentuk dari kebiasaanku yang suka memasak dan mengetahui
cara-cara memasak makan yang enak modal dari scroll tiktok dan you tube yang
tak berkesudahan.
Aku
bekerja setahun yang lalu setelah kelulusanku. Dulu aku berharap bisa
melanjutkan pendidikanku ke jenjang kuliah. Namun, orang tua ku tidak mendukungku
untuk melanjutkan pendidikan itu.
( Flashback On )
Suasana ruang makan malam hening, hanya ada bunyi bising dari sendok
yang bergesekan dengan piring, sesekali terdengar dentuman ringan ketika garpu
diletakkan setelah selesai menyuap. Satu
minggu sebelum hari kelulusanku aku di nyatakan di terima di universitas
impianku, hari itu aku sangat senang sekali tapi aku bingung membicarakan hal
ini dengan mamah papah, entah kenapa ada perasaan takut dalam diriku untuk
memberitahu hal ini kepada mamah dan papah.
Aku takut mereka tak mengizinkanku
untuk berkuliah, tapi setelah dipikir pikir bang bhumi dan kak dian saja
berkuliah dan sekarang mereka sudah menikah dan sedang bekerja dengan keahliannya
masing masing, bang bhumi berkerja di kantor dan kak dian bekerja menjadi guru
sekolah dasar.
Aku menghela napas panjang untuk
mengatakannya, karena aku sepertinya tidak yakin akan jawaban mama papa nanti.
“tapi... ah sudahlah, coba saja
dulu apa salahnya kan mencoba?” gerutuku dalam hati.
Setelah selesai makan malam, aku
kumpulkan keberanian untuk membicarakan hal ini kepada mereka, lampu gantung di
atas kepala kami membuat suasana sedikit hangat, tapi hatiku dingin. Papa
sedang menyeruput teh, dan mama sedang membereskan piring sisa makan malam
tadi.
Ini adalah waktu yang tepat,
sekaligus waktu yang sedikit menegangkan. Pikiranku berkelahi, seakan-akan
menyuruhku untuk diam saja atau berbicara sekarang juga. Tanganku meremas ujung
bajuku sampai kusut. Akhirnya , aku membuka mulut, tapi yang keluar hanyalah
udara. Mama menoleh ke arahku, dahinya berkerut sedikit.
“ada apa nak,?” tanya mama pelan
Aku menelan ludah, aku sepertinya
sudah tidak bisa menunda lagi. Semua mata tertuju kepadaku, ekspresi mama dan
papah yang bertanya-tanya akan
kegelisahanku sedari tadi. Dan aku tahu, aku harus mengatakannya sekarang.
“mah, pah, seminggu sebelum
kelulusanku aku di nyatakan lolos SNBP, dan aku pengin ngelanjutin kuliah mah pah.”
Setelah aku selesai mengucapkannya,
suasana di ruang makan mendadak sunyi, aku hanya bisa menunduk tidak berani
menatap mata papa. Aku tahu permintaanku barusan pasti mengejutkan mereka.
Papa
perlahan meletakkan gelas teh yang belum sempat diminumnya lagi. Pandangan papa
beralih kepada mama yang sedang mencuci piring itu. Mama dan papa pun saling
memandang satu sama lain, seakan-akan mereka berdua bingung dengan pernyataan
yang aku ucapkan tadi.
Setelah lima detik papa dan mama
saling pandang dengan penuh kebingungan. Papa menghembuskan napas panjang,
seolah pertanyaanku ingin kuliah adalah beban yang sangat untuk di jawab.
“Nak,” suara papa terdengar pelan.
“bukannya papa dan mama tidak mau
kamu sukses seperti kedua kakakmu.”ucapnya.
Setelah mama selesai mencuci piring mama duduk di samping
papa dan mama hanya diam menunduk, tangannya sibuk memutar-mutar tutup toples
di meja. Suasana jadi terasa sangat sunyi.
“Dulu, waktu bang bhumi dan kak
dian kuliah, papa masih punya banyak simpanan. Dan usaha papa juga masih
lancar,” lanjut papa sambil menatapku dengan tatapan bersalah.
“Tapi sekarang... kamu tahu
sendiri, papa dan mama sudah tidak sekuat dulu. Toko kita juga tidak seramai
dulu.”
Aku terdiam. Aku tahu bahwa biaya
pernikahan kedua kakakku dan biaya kuliah mereka selama bertahun-tahun telah
menguras tabungan mama dan papa. Sekarang, giliran aku yang ingin melangkah,
tapi tabungannya justru sudah habis.
Kakak-kakakmu sekarang sudah pada
punya keluarga sendiri, Mereka juga punya tanggung jawab untuk istri dan anak
mereka. Pap tidak mau membebani mereka lagi dengan biaya kuliahmu,” tambah mama
dengan suara yang agak serak.
Rasanya ada sesuatu yang
mengganjal didadaku. Aku merasa tak adil. Kenapa saat giliranku, semuanya
begitu sulit?
“tapi aku bisa cari beasiswa, ma,
pa. Aku juga bisa kuliah sambil kerja.” Sahutku.
Papa menggeleng pelan. “kuliah itu
butuh fokus, papa tidak mau kamu kelelahan dan sakit nanti. Untuk saat ini,
lebih baik kamu cari kerja dulu. Dan simpan uangmu, siapa tahu tahun depan
keadaan kita jauh lebih baik dari sekarang.
Aku tidak sanggup berkata apa-apa
lagi. Melihat kerutan di dahi papa dan wajah lelah mama, amarahku langsung
hilang, berganti dengan rasa sedih yang mendalam.
Aku berdiri perlahan, lalu
berpamitan untuk masuk ke kamar. Di dalam kamar aku duduk di pinggir tempat
tidur. mataku memandang foto wisuda kedua kakakku yang terpajang di atas meja
belajarku. Rasanya, jalan yang mereka lalui begitu mulus, sedangkan jalanku
baru saja menemui tembok besar.
( Flashback Off )
Selama setahun ini, aku sebagai
anak bungsu yang belum menikah sudah menggantikan peran tiang utama keluarga.
Semua biaya hidup mama dan papa di kampung kini aku yang menanggung. Aku tak
pernah menyangka, di usia 18 tahunku yang seharusnya bersemangat mengejar
bangku kuliah, aku harus merelakan semua demi menjadi sandaran utama keluarga.
Warung kecil mama dan papa sudah
tak seramai dulu. Pelanggan seolah lenyap di telan waktu, apalagi setelah papa
mulai sering sakit-sakitan. Abang Bhima dan kakak Dian memang kadang membantu,
tapi bantuan mereka tak seberapa. Bagaimana pun, mereka sudah menikah dan punya
urusan rumah tangga masing-masing, punya anak yang harus di hidupi. Aku mengerti
dan aku tak pernah menuntut.
Di sini, aku bekerja keras sebagai
tukang masak di warung makan lesehan. Setiap tetes keringatku yang mengalir
karna lelah, badanku yang setiap hari bau bawang goreng, sambal, dan bau asap,
ini semua adalah kerja kerasku untuk obat dan beras di rumah.
Sudah berbulan-bulan aku memendam
rindu yang luar biasa, tapi aku tak berani pulang, takut upah harianku hilang,
takut uang untuk mama papa berkurang. Lalu, suatu malam setelah aku selesai
menggoreng ayam, ponselku yang kutaruh di atas meja dapur bergetar. Layarnya
menampilkan nama “mama”, seketika jantungku berdebar.
“Halo Ma? Mama sehat? Papa
baik-baik saja kan?” tanyaku panik.
“Papa sudah baikan nak. Tapi...
mama sama papa kangennn sekali. Pulanglah nak, kami merindukanmu.” Suara mama
terdengar lembut, dan penuh kasih.
Air mataku menetes tanpa bisa
kutahan. Bukan karena sedih tapi karena lega. Itu adalah kalimat yang selama
ini kutunggu. Akhirnya, kerinduan mereka lebih kuat daripada kekhawatiran soal
uang. Selama ini, mereka selali berkata, “jangan pulang dulu ya, uangnnya lebih
penting, kami baik-baik saja disini.”
Setelah malam tadi mama menelfon
aku segera mengambil izin cuti. Dan keesokan harinya, setelah perjalanan
panjang jauh dari hiruk pikuk Jakarta, akhirnya aku tiba. Pagi itu udara
kampung terasa dingin dan damai. Aku duduk di teras rumah kayu ,memandangi
bunga-bunga berwarna-warni yang menjuntai di pagar.
Aroma kopi hitam papa menyambut
hidungku. Papa duduk di sampingku, tangannya yang kurus memegang cangkir,
matanya memandang jauh ke sawah di seberang jalan. Kami berdua terdiam lama.
“Nak,” suara papa memecah
keheningan.
“Papa tahu, kamu sudah berkorban
banyak untuk kami. Maafkan papa dan mama ya, papa tahu kamu ingin sekali
berkuliah.” Lanjutnya
Aku menggenggam tangan papa yang
dingin. Tangan itu dulunya begitu kuat mengangkat karung beras, tapi kini
terasa rapuh. Aku tersenyum, mencoba menahan air mataku agar tidak tumpah.
“Papa, Mama,” ucapku lembut,
sambil bersandar di bahu papa.
“Kuliah itu bisa kapan saja, tapi
untuk sekarang kesehatan papa dan mama, itu jauh lebih penting dari kuliahku
sekarang.”
Mama melangkah mendekat ke arahku
dan papa, mama memelukku dan papa pun ikut memelukku juga. Kami bertiga pun
berpelukan erat di teras rumah. Pelukan itu terasa hangat, ini adalah pelukan
yang aku rindukan selama ini.
Aku memejamkan mata, membiarkan
semua rasa lelah, rindu dan sakit menunda mimpi larut dalam pelukan hangat
mereka. Ternyata, selama ini ”satu-satunya peta yang tak pernah usang itu
adalah kembali pulang”.
“Selama mama papa masih ada, pasti duniaku baik-baik saja.
Walaupun aku di Jakarta cape, asalkan aku tahu mama papa sehat itu sudah cukup.
Doa-doa kalian yang menyertai hari-hariku disana itu sudah menjadi tempat
paling aman untukku.” Bisikku lirih.
“aku terus berjalan, mencoba
berdamai dengan kenyataan bahwa dunia ini tak selembut pelukan orang kita
sayangi di rumah. Semua harus dihadapi, seolah aku tak punya tempat untuk
kembali. Padahal, “aku hanya ingin
pulang untuk menyembuhkan luka ini,” seperti kata feby putri dalam
lagunya. Si bungsu ini rindu saat tak perlu menjadi sekuat ini. Ia hanya rindu
pada rumah, dimana rapuhnya tak pernah dihakimi.
~***~
INFORMASI PENULIS:
Nama: Zahira Sofa
TTL: Brebes, 19 Maret 2007
Kampus/Prodi: UINSSC / Tadris.
Bahasa Indonesia

Posting Komentar untuk "Cerpen "PETA YANG TAK PERNAH USANG" oleh Zahira Sofa"
Silahkan tinggalkan komentar untuk respon atau pertanyaan, kami akan balas secepat mungkin.