Ketidaksetaraan Gender dan Ancaman Putus Sekolah pada Anak Perempuan di Desa Borong Loe, Kabupaten Bantaeng
Ketidaksetaraan Gender dan Ancaman Putus Sekolah pada Anak Perempuan di Desa Borong Loe, Kabupaten Bantaeng
1Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar,Indonesi
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji korelasi antara konstruksi sosial ketimpangan gender dan kerentanan anak perempuan terhadap putus sekolah di Desa Borong Loe, Kabupaten Bantaeng. Hasil kajian mengungkapkan bahwa ancaman putus sekolah pada anak perempuan tidak hanya disebabkan oleh faktor ekonomi, melainkan juga merupakan akibat dari sistem patriarki yang terwujud melalui berbagai praktik sosial. Bentuk nyatanya meliputi pembagian kerja rumah tangga yang timpang sejak usia dini yang berujung pada beban ganda dan penurunan prestasi akademik, bias gender dalam pengalokasian sumber daya pendidikan keluarga dengan mengutamakan anak laki-laki sebagai “investasi” masa depan, normalisasi perkawinan usia dini sebagai jalan keluar dari tekanan ekonomi dan penjaga norma sosial, serta terbatasnya kemampuan agensi dan ruang partisipasi anak perempuan dalam menentukan masa depan mereka sendiri. Studi ini menyimpulkan bahwa intervensi kebijakan yang semata berfokus pada stimulus ekonomi tidak akan efektif tanpa upaya transformatif untuk mendekonstruksi norma gender di tingkat keluarga dan komunitas. Rekomendasi kebijakan diarahkan pada penguatan peran sekolah sebagai agen perubahan sosial, pemberdayaan ekonomi berbasis gender, serta pemanfaatan otoritas kultural tokoh adat dan agama untuk mempromosikan nilai-nilai pendidikan inklusif.
ABSTRACT
This study aims to examine the correlation between the social construction of gender inequality and the vulnerability of girls to school dropout in Borong Loe Village, Bantaeng Regency. The findings reveal that the threat of school dropout among girls is not solely caused by economic factors, but also results from a patriarchal system manifested through various social practices. These include unequal division of domestic labor from an early age leading to double burden and declining academic performance, gender bias in the allocation of family educational resources prioritizing boys as a future "investment", normalization of early marriage as a solution to economic pressures and a guardian of social norms, as well as limited agency and participatory space for girls in determining their own futures. The study concludes that policy interventions focusing solely on economic stimuli will be ineffective without transformative efforts to deconstruct gender norms at the family and community levels. Policy recommendations are directed towards strengthening the role of schools as agents of social change, gender-based economic empowerment, and leveraging the cultural authority of traditional and religious leaders to promote inclusive education values.
Kata Kunci:
Ketimpangan Gender, Putus Sekolah, Anak Perempuan, Patriarki, Pendidikan.
1.
PENDAHULUAN
merupakan hak asasi manusia dan prasyarat fundamental untuk pembangunan berkelanjutan.Namun, di banyak wilayah pedesaan Indonesia, akses dan keberlanjutan pendidikan bagi anak perempuan masih menghadapi kendala struktural yang signifikan. Data dari Dinas Pendidikan Kabupaten Bantaeng menunjukkan adanya kesenjangan gender dalam Angka Partisipasi Kasar (APK) pada jenjang Sekolah Menengah Atas di beberapa desa di Kecamatan Pajukukang, dengan Desa Borong Loe menjadi salah satu lokus dengan disparitas yang cukup mencolok. Fenomena ini sering dikaitkan secara sederhana dengan faktor kemiskinan rumah tangga. Namun, observasi awal mengindikasikan bahwa anak perempuan dari keluarga dengan kondisi ekonomi yang setara dengan saudara laki-lakinya tetap memiliki kerentanan lebih tinggi untuk tidak melanjutkan pendidikan. Hal ini mengisyaratkan adanya dinamika sosial-budaya yang lebih kompleks dan mendalam.
Ketimpangan gender, yang dipahami sebagai sistem relasi kuasa yang menghasilkan pembedaan peran, akses, kontrol, dan manfaat antara laki-laki dan perempuan secara hierarkis dan tidak adil, diduga menjadi akar persoalan. Dalam masyarakat agraris dengan nilai-nilai patriarkal yang kuat, norma gender sering menempatkan nilai instrumental anak perempuan pada ranah domestik dan reproduksi, sementara anak laki-laki diproyeksikan ke ranah publik dan produksi. Penelitian terdahulu telah mengidentifikasi korelasi antara beban kerja rumah tangga dan perkawinan dini dengan angka putus sekolah anak perempuan. Namun, masih terbatas kajian yang secara holistik menganalisis mekanisme kultural bagaimana ketimpangan gender tersebut direproduksi dalam keseharian, diterima sebagai kodrat, dan pada akhirnya mengorbankan masa depan pendidikan anak perempuan di tingkat komunitas spesifik seperti Desa Borong Loe.
Berdasarkan
latar belakang tersebut, penelitian ini dirancang untuk menjawab pertanyaan:
Bagaimana praktik dan norma ketimpangan gender dalam kehidupan sosial-budaya
masyarakat Desa Borong Loe membentuk kerentanan dan meningkatkan risiko putus
sekolah pada anak perempuan? Tujuan penelitian adalah untuk mendekonstruksi
mekanisme ketimpangan gender yang berdampak pada pendidikan anak perempuan dan
merumuskan rekomendasi kebijakan berbasis bukti yang kontekstual. Signifikansi
penelitian terletak pada kontribusinya memperkaya khazanah studi gender dan
pendidikan di Indonesia, khususnya dalam konteks pedesaan Sulawesi Selatan,
serta menyediakan landasan empiris bagi perumusan kebijakan desa yang responsif
gender dan inklusif.
Bagian ini
menjelaskan jika pendekatan penelitian kualitatif, konteks dan partisipan,
teknik pengumpulan data, instrumen atau peran peneliti, serta prosedur analisis
data. Peneliti menguraikan bagaimana data diperoleh melalui wawancara,
observasi, atau dokumentasi, serta langkah-langkah analisis seperti reduksi
data, kategorisasi, dan penarikan kesimpulan.
Bagian ini memuat
desain penelitian kuantitatif, populasi dan sampel, variabel dan definisi
operasional, teknik pengumpulan data, serta prosedur pengukuran. Peneliti juga
menjelaskan instrumen yang digunakan beserta uji validitas dan reliabilitasnya,
serta teknik analisis statistik yang dilakukan untuk menguji hipotesis
penelitian.
2.
METODE
Penelitian
ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan desain studi kasus untuk
mengeksplorasi fenomena ketimpangan gender dan risiko putus sekolah anak
perempuan di Desa Borong Loe. Pengumpulan data dilakukan melalui triangulasi
metode yang mencakup wawancara mendalam, observasi partisipatif, dan studi
dokumentasi. Sebanyak delapan informan kunci dipilih secara purposif, terdiri
dari tiga remaja perempuan dengan variasi status pendidikan, dua orang tua, dua
tenaga pendidik, dan satu tokoh masyarakat. Wawancara dilakukan secara tatap
muka menggunakan panduan pertanyaan semi-terstruktur yang berfokus pada
pengalaman, persepsi, dan praktik sosial terkait peran gender dan pendidikan.
Observasi partisipatif dilaksanakan di lingkungan rumah tangga dan sekolah untuk
mengamati interaksi sehari-hari dan pola pembagian peran. Data pendukung
diperoleh dari dokumen monografi desa dan arsip pendidikan. Analisis data
dilakukan secara tematik melalui tahapan transkripsi, pengkodean, dan
interpretasi mendalam. Validitas data dijaga melalui teknik triangulasi dan
proses member checking dengan beberapa informan.
Penelitian
ini mematuhi prinsip etika akademik dengan menjaga kerahasiaan identitas semua
partisipan dan memperoleh persetujuan sebelum pengumpulan data dilakukan.
Subjek penelitian terdiri dari 8 (delapan) informan kunci yang dipilih secara purposif dengan kriteria spesifik untuk memastikan keberagaman perspektif:
- Remaja
Perempuan: Dengan variasi status pendidikan (masih bersekolah, berisiko putus
sekolah, dan sudah putus sekolah).
- Orang
Tua/Wali: Dari keluarga remaja perempuan tersebut, untuk memahami dinamika
keluarga dan pengambilan keputusan.
- Tenaga
Pendidik (Guru/Kepala Sekolah): Yang memahami kondisi peserta didik dan
lingkungan sekolah.
- Tokoh Masyarakat (Tokoh Agama/Adat/Kepala Desa): Untuk memperoleh gambaran norma dan nilai sosial budaya yang berlaku.
a) Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan secara triangulasi (sumber dan metode) untuk meningkatkan kedalaman dan keabsahan data.
1)
Wawancara Mendalam (In-depth
Interview):
a) Dilakukan secara tatap muka dengan
menggunakan panduan wawancara semi-terstruktur.
b)
Pertanyaan berfokus pada pengalaman
personal, persepsi, pengetahuan, dan praktik informan terkait peran gender,
akses pendidikan, hambatan yang dihadapi anak perempuan, serta faktor pendorong
dan penahan putus sekolah.
2)
Setiap wawancara direkam dengan izin
informan dan durasi rata-rata 60-90 menit.
Observasi Partisipatif (Participant
Observation):
a)
Dilaksanakan di dua ranah utama:
lingkungan rumah tangga informan dan lingkungan sekolah.
b)
Peneliti terlibat secara terbatas
dalam aktivitas sehari-hari untuk mengamati langsung pola interaksi, pembagian
peran domestik, dinamika komunikasi keluarga, serta praktik-praktik di sekolah
yang mungkin mencerminkan bias gender.
3)
Catatan observasi dibuat secara
detail dalam jurnal lapangan.
Studi Dokumentasi:
a)
Data sekunder dikumpulkan untuk
melengkapi dan mengonfirmasi data primer.
b)
Sumber dokumen meliputi: Monografi
Desa Borong Loe, data arsip sekolah (angka partisipasi, prestasi, dan dropout),
catatan pertemuan desa, serta regulasi daerah terkait pendidikan dan
pemberdayaan perempuan.
3. HASIL PENELITIAN
Temuan
penelitian mengungkapkan bahwa ketimpangan gender di Desa Borong Loe beroperasi
melalui serangkaian praktik sosial yang saling menguatkan,menciptakan
lingkungan yang sistemis membatasi akses dan keberlanjutan pendidikan bagi anak
perempuan.
Pertama,
ideologi peran gender dan naturalisasi kerja domestik telah menciptakan beban
ganda (double burden) yang berat bagi anak perempuan. Sejak usia dini, mereka
diinternalisasi sebagai “calon ibu rumah tangga” sehingga dibebani tugas-tugas
seperti mengasuh adik, memasak, mencuci, dan mengambil air. Beban ini tidak
proporsional dibandingkan dengan anak laki-laki dan sering mengorbankan waktu,
energi, dan konsentrasi yang vital untuk belajar.
Kedua,
logika ekonomi keluarga yang patriarkal menghasilkan bias dalam alokasi sumber
daya pendidikan. Pada keluarga dengan keterbatasan finansial, pendidikan
dipandang sebagai investasi. Dalam logika ini, anak laki-laki dianggap sebagai
investasi yang lebih menjanjikan karena diharapkan akan menjadi penopang
ekonomi keluarga asal (patrilineal) di masa depan. Sementara itu, anak
perempuan dipersepsikan sebagai “aset” yang akan berpindah ke keluarga suami
(patrilokal) melalui perkawinan, sehingga investasi pendidikannya dianggap akan
“hilang”.
Ketiga,
normalisasi perkawinan usia dini berfungsi sebagai institutionalized escape
dari berbagai tekanan. Perkawinan di bawah usia 18 tahun tidak hanya diterima,
tetapi dalam banyak kasus dipromosikan sebagai solusi untuk meredam beban
ekonomi keluarga (mengurangi “satu mulut yang diberi makan”) dan sekaligus
menjaga “kehormatan” perempuan dengan mengontrol seksualitasnya.
Keempat,
minimnya agensi dan ruang partisipasi anak perempuan dalam pengambilan
keputusan. Keputusan-keputusan kritis tentang kelanjutan sekolah atau
perkawinan hampir sepenuhnya berada di tangan orang tua, terutama figur ayah.
Anak perempuan ditempatkan sebagai objek pasif yang harus menerima keputusan
tersebut sebagai bagian dari ketaatan. Ruang untuk bernegosiasi, menyatakan
aspirasi, atau mencari alternatif sangat terbatas.
Ke lima
mekanisme ini tidak bekerja sendiri-sendiri, tetapi membentuk siklus reproduksi
ketimpangan: Beban domestik Penurunan
prestasi Legitimasi untuk berhenti
sekolah Perkawinan dini sebagai
satu-satunya pilihan Reproduksi peran
gender tradisional dan kemiskinan.
Temuan penelitian mengungkapkan bahwa ketimpangan gender di Desa Borong Loe beroperasi melalui serangkaian praktik sosial yang saling menguatkan, menciptakan lingkungan yang sistemis membatasi akses dan keberlanjutan pendidikan bagi anak perempuan. Berikut adalah analisis mendetail terhadap lima mekanisme kunci yang saling berkaitan.
1.
Mekanisme : Naturalisasi Beban
Domestik dan Ideologi Peran Gender
Praktik Sosial: Sejak usia dini, anak
perempuan diinternalisasi untuk menerima peran sebagai “calon ibu rumah
tangga”. Tanggung jawab domestik seperti mengasuh adik, memasak, mencuci, dan
mengambil air bukan dilihat sebagai bantuan, tetapi sebagai kewajiban kodrati
yang mempersiapkan mereka untuk peran dewasa. Dampak pada Pendidikan: Beban
ganda (double burden) ini bersifat tidak proporsional dibandingkan dengan anak
laki-laki. Observasi menunjukkan bahwa anak perempuan sering kali terlambat
atau kelelahan ke sekolah, tidak memiliki waktu yang cukup untuk mengerjakan
pekerjaan rumah, dan kesulitan berkonsentrasi di kelas. Penurunan prestasi
akademik yang terjadi kemudian digunakan sebagai alibi untuk menganggap mereka
"tidak berbakat sekolah", sehingga memuluskan jalan bagi putus
sekolah. Data Pendukung: Wawancara dengan seorang remaja putus sekolah (kode:
RPS1) engungkapkan, “Setiap pulang sekolah langsung urus adik, masak, baru
belajar kalau ada sisa tenaga. Sering ngantuk di kelas. Nilai saya turun,
akhirnya Ayah bilang lebih baik berhenti saja, toh nanti juga urus rumah
tangga.”
2.
Mekanisme : Logika Ekonomi Keluarga
Patriarkal dan Bias Alokasi Sumber Daya
Praktik Sosial: Dalam konteks ekonomi keluarga yang terbatas, muncul logika investasi pendidikan yang bias gender. Pandangan patrilineal (garis keturunan ayah) dan patrilokal (tinggal dengan keluarga suami) membentuk persepsi ini. Dampak pada Pendidikan: Anak laki-laki dipandang sebagai “investasi permanen” yang akan menopang ekonomi keluarga asal. Sementara anak perempuan dianggap sebagai “investasi yang akan hilang” karena di masa depan dianggap akan berkontribusi pada keluarga suaminya. Akibatnya, ketika sumber daya terbatas, prioritas pendidikan akan diberikan kepada anak laki-laki. Anak perempuan menjadi penyangga keuangan keluarga yang pertama dikorbankan, baik dengan cara dipaksa bekerja atau dinikahkan untuk mengurangi beban. Data Pendukung: Seorang orang tua (kode: OT2) menyatakan, “Kalau uang cuma cukup untuk satu, ya tentu anak laki yang disekolahkan lebih tinggi. Dia nanti yang akan cari nafkah untuk keluarga besarnya. Perempuan kan akhirnya ikut suami.”
3. Mekanisme : Normalisasi Perkawinan
Usia Dini sebagai Solusi Institusional Praktik Sosial:
Perkawinan di bawah usia 18 tahun telah menjadi jalan keluar yang terinstitusionalisasi dari masalah ekonomi dan sosial. Praktik ini tidak hanya diterima, tetapi dalam beberapa kasus dipromosikan oleh keluarga dan lingkungan. Dampak pada Pendidikan: Perkawinan dini berfungsi ganda Mengurangi beban ekonomi keluarga “satu mulut yang diberi makan berkurang, dan Mengontrol seksualitas serta kehormatan perempuan. Sekolah dipandang sebagai tempat yang berpotensi membahayakan moral anak perempuan. Dengan demikian, perkawinan dini dilihat sebagai solusi yang lebih aman dan menguntungkan secara sosial daripada menyekolahkan anak perempuan hingga jenjang tinggi.· Data Pendukung: Seorang tokoh masyarakat menjelaskan, “Daripada sekolah jauh-jauh nanti malah terpengaruh pergaulan bebas, lebih baik dinikahkan saja. Itu juga membantu ekonomi orang tuanya. Di sini biasa saja nikah usia 16.”
4.
Mekanisme : Minimnya Agensi dan Ruang
Partisipasi Anak Perempuan
perempuan ditempatkan sebagai objek pasif dalam struktur pengambilan keputusan keluarga. Keputusan kritis tentang kelanjutan sekolah atau perjodohan hampir selalu diambil oleh orang tua, terutama oleh figur ayah sebagai kepala keluarga. Dampak pada Pendidikan: Kepatuhan (compliance) dinilai lebih tinggi daripada aspirasi pribadi. Anak perempuan tidak memiliki ruang yang memadai untuk bernegosiasi atau menyampaikan cita-cita pendidikannya. Ketidakberdayaan ini diperparah oleh ketiadaan figur pendukung (support system) seperti guru atau konselor sekolah yang aktif melakukan intervensi. Data Pendukung: Seorang remaja perempuan yang masih bersekolah (kode: RPS3) berkata dengan pasrah, “Saya ingin jadi guru, tapi nanti lihat saja orang tua mau bagaimana. Saya tidak bisa melawan. Di sini anak perempuan tidak boleh banyak bicara soal masa depannya sendiri.
5.
Siklus Reproduksi Ketimpangan: Sebuah
Model Interseksional
Mekanisme di atas tidak bekerja secara terpisah, tetapi saling berkelindan dan membentuk siklus reproduksi ketimpangan dan kemiskinan yang sulit diputus. Siklus tersebut dapat digambarkan sebagai berikut: Beban Domestik yang Tidak Proporsional Menyebabkan Penurunan Prestasi dan Kelelahan Akademik Memberikan Legitimasi bagi Keluarga untuk Menghentikan Sekolah Perkawinan Usia Dini menjadi satu-satunya pilihan yang dinormalisasi Melahirkan generasi baru ibu dengan Pendidikan Terbatas Mereproduksi Keyakinan dan Praktik Gender Tradisional serta Mempertahankan Siklus Kemiskinan Kembali membebani anak perempuan generasi berikutnya dengan Beban Domestik.
4.
Pembahasan
Temuan
penelitian ini memperkuat tesis feminis materialis bahwa kerja reproduksi tak
berbayar yang dibebankan kepada perempuan dan anak perempuan adalah basis
penindasan mereka,karena menghambat akumulasi modal budaya melalui pendidikan.
Strategi keluarga dalam mengalokasikan sumber daya yang terbatas juga
mencerminkan “rasionalitas patriarkal”, di mana keputusan didasarkan pada
logika yang mengutamakan kelanggengan sistem garis keturunan laki-laki dan
kontrol atas perempuan. Dalam konteks lokal Bugis-Makassar, konsep siri’
(harga diri) yang seharusnya melindungi martabat individu, dalam praktiknya
sering digunakan untuk membatasi ruang gerak perempuan, termasuk dalam menuntut
hak pendidikannya. Normalisasi perkawinan dini sebagai bagian dari menjaga
siri’ justru menjadi alat reproduksi ketimpangan gender.
a)
Memperdalam Analisis Feminis
Materialis:
Kerja reproduksi
tak berbayar tidak hanya menghambat akumulasi modal budaya, tetapi juga secara
langsung mengurangi bodily autonomy (otonomi tubuh) dan waktu untuk
pengembangan diri perempuan. Dalam konteks ekonomi rumah tangga yang sulit,
tenaga anak perempuan sering kali dialihkan dari sekolah ke sektor informal
atau kerja berupah rendah untuk menyokong ekonomi keluarga. Praktik ini
menunjukkan komodifikasi terselubung atas tubuh dan waktu perempuan, di mana
nilai kegunaannya (use-value) bagi keluarga didahulukan atas nilai tukarnya
(exchange-value) di pasar tenaga kerja yang membutuhkan pendidikan. Dengan
demikian, siklus kemiskinan tidak hanya bersifat ekonomis, tetapi juga
sosial-budaya, yang diteruskan dari satu generasi perempuan ke generasi berikutnya.
b)
Memperluas Konsep “Rasionalitas
Patriarkal
Strategi alokasi
sumber daya keluarga yang terlihat “rasional” secara ekonomi sebenarnya
merupakan hasil dari internalisasi norma gender yang telah mengakar. Logika ini
sering kali Menyamakan nilai perempuan dengan kesalehan dan kepatuhan, bukan
dengan pencapaian intelektual atau ekonomi. Memandang pendidikan tinggi bagi
perempuan sebagai investasi yang berisiko, karena diasumsikan mereka akan
“berakhir di dapur” juga setelah menikah, sehingga dianggap menguntungkan untuk
“mengalihkan” sumber daya kepada anak laki-laki. Menggunakan institusi
perkawinan sebagai strategi mitigasi risiko ekonomi keluarga, dengan mengurangi
satu anggota yang harus diberi makan dan sekolah, sekaligus berharap dapat
memperoleh hubungan kekerabatan yang menguntungkan.
c)
Dekonstruksi Konsep Siri’ dalam
Dinamika Kekuasaan:
Konsep siri’
perlu dilihat sebagai medan pertarungan (site of struggle) makna antara nilai
universal dan kepentingan kelompok. Siri’ sebagai Alat Kontrol: Dalam
praktiknya, beban menjaga siri’ lebih banyak dibebankan kepada perempuan.
Perilaku mereka dijadikan barometer kehormatan keluarga (family honour)
kolektif. Tuntutan pendidikan yang dianggap “terlalu tinggi” atau melambangkan
mobilitas sosial dapat dipandang sebagai ancaman terhadap tatanan dan kontrol
ini, sehingga dibatasi atas nama siri Pernikahan Dini sebagai Mekanisme Disiplin:
Normalisasi pernikahan dini tidak hanya menjaga siri’, tetapi juga berfungsi
sebagai mekanisme disiplin sosial (social disciplining) untuk mengamankan masa
depan perempuan dalam ruang domestik sebelum aspirasi atau identitas
non-tradisionalnya berkembang. Dengan demikian, siri’ menjadi instrumental
dalam mempersempit horizon of possibility (cakrawala kemungkinan) bagi anak
perempuan. Potensi Agenatif Siri Di sisi lain, penelitian juga bisa menyoroti
celah untuk reinterpretasi siri’ yang memberdayakan. Misalnya, apakah ada
narasi tandingan bahwa “siri’ seorang perempuan justru tercoreng jika ia tidak
diberi kesempatan mengembangkan potensi dan ilmu setinggi-tingginya
Menyelesaikan pendidikan dapat direframing sebagai bentuk siri’ baru menjaga
martabat dengan menjadi manusia berpengetahuan dan mandiri.
d)
Menghubungkan dengan Struktur yang
Lebih Luas:
Temuan di
tingkat mikro (keluarga) ini tidak terpisah dari struktur mikro:Kebijakan
Negara: Bagaimana implementasi kebijakan wajib belajar 12 tahun dan pencegahan
perkawinan anak di tingkat desa? Apakah ada diskontekstualisasi kebijakan yang
tidak menyentuh akar budaya Infrastruktur dan Ekonomi: Keterbatasan akses ke
sekolah menengah (jarak, biay transportasi) di daerah terpencil memperkuat
“rasionalitas” untuk tidak melanjutkan sekolah. Ketidakpastian ekonomi membuat
pernikahan dipandang sebagai jaring pengaman sosial (social safety net) yang
lebih nyata bagi anak perempuan.Peran Institusi Agama: Bagaimana penafsiran
keagamaan lokal digunakan untuk menguatkan atau menantang norma-norma
patriarkal dan praktik perkawinan dini tersebut.
e)
Implikasi dan Rekomendasi (Saran
Tambahan):
Berdasarkan
temuan yang diperdalam, rekomendasi kebijakan dan program dapat diarahkan pada Intervensi
Berbasis Keluarga: Program parenting dan kesadaran gender yang melibatkan ayah
dan tokoh laki-laki sebagai mitra, menggeser diskusi dari “anak perempuan
sebagai beban” menjadi “investasi sumber daya manusia keluarga Pendidikan Kritis Berbasis Budaya:
Mengintegrasikan modul refleksi kritis tentang nilai-nilai budaya (seperti
siri’) ke dalam kurikulum muatan lokal atau kegiatan ekstrakurikuler, mendorong
siswa membedakan antara pelestarian budaya yang positif dan praktik yang
menindas. Membangun Jaringan dan Role Model: Menghadirkan role model perempuan
Bugis-Makassar dari berbagai profesi yang berhasil menggapai pendidikan tinggi tanpa
meninggalkan identitas budayanya, untuk memperluas imajinasi tentang masa
depan. Advokasi Kebijakan Sensitif Budaya: Mendorong peraturan desa (awig-awig
atau sejenisnya) yang melindungi hak pendidikan anak perempuan dengan bahasa
dan framing yang selaras dengan nilai luhur budaya, misalnya dengan menyatakan
bahwa mencegah putus sekolah adalah bagian dari pesse (rasa empati/kebersamaan)
dan siri’ kolektif masyarakat.
5.
Simpulan dan Rekomendasi
Berdasarkan
analisis mendalam, risiko putus sekolah anak perempuan di Desa Borong Loe
merupakan gejala dari ketimpangan gender struktural yang terpelihara melalui
praktik sosio-kultural sehari-hari. Faktor ekonomi berperan sebagai katalis,
tetapi akar masalahnya terletak pada paradigma patriarkal yang membatasi nilai,
peran, dan masa depan anak perempuan pada ranah domestik dan perkawinan.
Ketimpangan ini dimanifestasikan dalam pembagian sumber daya keluarga yang
tidak adil, beban ganda (domestik dan produktif), serta internalisasi norma
bahwa pendidikan tinggi bagi perempuan bukanlah investasi yang penting. Oleh
karena itu, pendekatan solusi tidak boleh hanya bersifat teknis-ekonomis
(seperti bantuan biaya sekolah), melainkan harus menyentuh dimensi kultural,
kelembagaan, dan politik yang membentuk ketidaksetaraan tersebut.
Secara teoritis,
penelitian ini memperkuat perspektif feminis sosiologis dan interseksional
dengan mendokumentasikan secara nyata bagaimana struktur patriarki beroperasi
dalam konteks masyarakat pedesaan Indonesia. Temuan tentang “logika investasi
pendidikan yang hilang” untuk anak perempuan memberikan kontribusi pada
pemahaman mengenai ekonomi politik keluarga dalam sistem kekerabatan
patrilineal. Studi ini juga menegaskan pentingnya pendekatan ekologi sosial
dalam menganalisis isu pendidikan, di mana mikrosistem keluarga dan mesosistem
seperti sekolah serta masyarakat desa saling berinteraksi membentuk hambatan
yang kompleks bagi pemenuhan hak anak perempuan. Untuk memutus siklus
ketimpangan yang telah teridentifikasi, diperlukan intervensi multidimensi yang
simultan, kontekstual, dan berkelanjutan. Pada tingkat desa, langkah strategis
dapat difokuskan pada pemberdayaan ekonomi berperspektif gender melalui penguatan
kelompok usaha perempuan, disertai dengan revolusi kesadaran di tingkat
keluarga melalui program Sekolah Orang Tua dan kampanye media komunitas yang
menekankan pentingnya pendidikan dan bahaya perkawinan anak. Sekolah harus
bertransformasi dari institusi pasif menjadi agen perubahan pro-aktif, dengan
program mentoring, advokasi, kunjungan rumah bagi siswa perempuan berisiko,
serta integrasi pendidikan kesetaraan gender dan kesehatan reproduksi dalam
kurikulum.
Dukungan dari tingkat kabupaten dan provinsi sangat krusial sebagai pendukung dan penguat intervensi lokal. Pemerintah daerah perlu memperketat dan mengawal implementasi peraturan pencegahan perkawinan anak dengan mekanisme yang jelas, sekaligus merancang program beasiswa afirmatif yang terintegrasi dengan program perlindungan sosial untuk anak perempuan dari keluarga rentan. Penguatan kapasitas aparatur desa dan tenaga pendidik melalui pelatihan perspektif gender dan anak, serta pemberian insentif bagi desa yang berhasil menekan angka putus sekolah, dapat menciptakan lingkungan kebijakan yang lebih kondusif. Pada akhirnya, memutus siklus ketimpangan gender dalam pendidikan di Desa Borong Loe adalah sebuah proyek transformasi sosial jangka panjang yang memerlukan komitmen dan sinergi kolektif dari seluruh elemen masyarakat. Dengan memulai langkah-langkah strategis dan partisipatif dari tingkat akar rumput, masyarakat desa dapat membangun fondasi kokoh untuk mengubah norma, memperkuat kelembagaan, dan membuka jalan menuju masa depan yang lebih adil dan setara bagi seluruh anak perempuannya. Kesuksesan upaya kolektif di Desa Borong Loe kelak dapat menjadi model pembelajaran dan inspirasi bagi komunitas lain yang menghadapi tantangan serupa.
Diperlukan
intervensi multidimensi yang bersifat transformatif dan saling memperkuat,
sebagai berikut
1.
Intervensi di Tingkat Kebijakan dan
Tata Kelola Desa
Regulasi
Protektif: Pemerintah Desa perlu menginisiasi Peraturan Desa (Perdes) yang
secara tegas melarang perkawinan anak dan mendorong wajib belajar 12 tahun,
dengan sanksi sosial dan administratif yang jelas. Perdes ini harus didukung
oleh Sosialisasi Partisipatif agar dipahami dan didukung masyarakat. Anggaran Responsif Gender: Mengalokasikan Dana
Desa untuk program Beasiswa Afirmatif Berbasis Gender bagi anak perempuan dari
keluarga rentan, yang mencakup tidak hanya biaya pendidikan formal tetapi juga
tunjangan untuk keperluan penunjang (transportasi, seragam, buku). Program ini
harus disertai dengan program pendampingan bagi orang tua untuk membangun
dukungan keluarga. Integrasi Data: Membangun Sistem Data Terpilah (Berdasarkan
Jenis Kelamin) tentang partisipasi pendidikan, putus sekolah, dan perkawinan
anak sebagai dasar perencanaan dan evaluasi kebijakan.
2.
Transformasi Lembaga Pendidikan
menjadi Agen Perubahan
Kurikulum dan
Lingkungan Belajar: Sekolah harus dikembangkan menjadi safe space dan agent of
change dengan: Menerapkan Kurikulum Sensitif Gender yang terintegrasi dalam
semua mata pelajaran, mengangkat peran perempuan dalam sejarah, sains, dan
masyarakat. Melatih guru sebagai gender focal point yang mampu mendeteksi dini
risiko putus sekolah, memberikan konseling, dan menerapkan pedagogi inklusif Membentuk dan mendukung Klub Literasi, Sains,
dan Kepemimpinan Siswa Perempuan untuk membangun kepercayaan diri, ketrampilan,
dan jejaring dukungan sebaya. Menyediakan fasilitas ramah anak perempuan,
seperti toilet yang layak dan privasi terjaga.
3.
Pemberdayaan Masyarakat dan Transformasi Norma
Sosial
Pemberdayaan Ekonomi Inklusif Gender: Melaksanakan program pemberdayaan ekonomi (seperti koperasi, pelatihan usaha mikro) yang memprioritaskan ibu-ibu dan remaja putri, dengan skema pengelolaan bersama. Hal ini bertujuan meningkatkan posisi tawar dan kontrol mereka atas sumber daya dalam rumah tangga. Kampanye Perubahan Sosial Berbasis Budaya: Melibatkan secara strategis tokoh agama, adat, dan para "pemimpin opini" lainnya sebagai mitra untuk mereinterpretasi dan menyosialisasikan nilai-nilai budaya dan agama yang mendukung kesetaraan, hak pendidikan anak perempuan, serta tanggung jawab kolektif dalam mencegah perkawinan anak. Metode seperti focus group discussion (FGD), drama komunitas, atau ceramah keagamaan dengan narasi baru dapat efektif. Pendidikan Kritis bagi Orang Tua dan Laki-laki: Menyelenggarakan sekolah orang tua atau forum diskusi khusus ayah dan anak laki-laki untuk mendekonstruksi stereotip gender dan membangun persepsi baru tentang manfaat pendidikan perempuan bagi keluarga dan masyarakat.
4.
Penguatan Sistem Monitoring, Dukungan, dan
Jejaring
Membentuk Satuan Tugas (Satgas) Perlindungan
Anak dan Perempuan Desa: Beranggotakan perangkat desa, kader PKK, guru, bidan
desa, tokoh pemuda, dan perwakilan remaja. Tugasnya: pemantauan dini anak
berisiko putus sekolah, advokasi kasus (seperti ancaman perkawinan anak),
pendampingan psikososial, serta menjadi penghubung dengan layanan pemerintah
daerah (Dinas PPPA, Dinas Pendidikan). Membangun Aliansi dengan Lembaga Luar:
Bermitra dengan organisasi masyarakat sipil (ORMAS/LSM), akademisi, dan media
lokal untuk mendapatkan dukungan teknis, pendampingan, dan publikasi kisah
sukses yang menginspirasi. Membentuk Sistem "Sahabat Sebaya" dan
Mentor: Melatih remaja perempuan yang berprestasi atau telah menempuh
pendidikan lebih tinggi menjadi mentor bagi adik-adik kelasnya, menciptakan
solidaritas dan dukungan dari dalam komunitas.
Penutup
Memutus siklus ketimpangan gender dalam pendidikan
adalahproyek jangka panjang yang memerlukan komitmen, konsistensi, dan sinergi
dari semua pihak. Namun, dengan dimulai dari langkah-langkah strategis,
kontekstual, dan partisipatif di tingkat desa seperti yang diuraikan di atas,
masyarakat Desa Borong Loe dapat membangun fondasi yang kokoh untuk mengubah
norma, memperkuat kelembagaan, dan membuka jalan menuju masa depan yang lebih
adil dan setara bagi seluruh anak perempuannya.
Kesuksesan di Desa Borong Loe juga dapat menjadi model
pembelajaran bagi desa-desa lain yang menghadapi tantangan serupa. Secara
teoritis, penelitian ini memperkuat perspektif feminis sosiologis dan
interseksional dengan mendokumentasikan secara nyata bagaimana struktur
patriarki beroperasi dalam konteks masyarakat pedesaan Indonesia. Temuan
tentang “logika investasi pendidikan yang hilang” untuk anak perempuan
memberikan kontribusi pada pemahaman mengenai ekonomi politik keluarga dalam
sistem kekerabatan patrilineal. Studi ini juga menegaskan pentingnya pendekatan
ekologi sosial dalam menganalisis isu pendidikan, di mana mikrosistem keluarga
dan mesosistem seperti sekolah serta masyarakat desa saling berinteraksi
membentuk hambatan yang kompleks bagi pemenuhan hak anak perempuan.
Untuk memutus siklus ketimpangan yang telah
teridentifikasi, diperlukan intervensi multidimensi yang simultan, kontekstual,
dan berkelanjutan. Pada tingkat desa, langkah strategis dapat difokuskan pada
pemberdayaan ekonomi berperspektif gender melalui penguatan kelompok usaha
perempuan, disertai dengan revolusi kesadaran di tingkat keluarga melalui
program Sekolah Orang Tua dan kampanye media komunitas yang menekankan
pentingnya pendidikan dan bahaya perkawinan anak. Sekolah harus bertransformasi
dari institusi pasif menjadi agen perubahan pro-aktif, dengan program
mentoring, advokasi, kunjungan rumah bagi siswa perempuan berisiko, serta
integrasi pendidikan kesetaraan gender dan kesehatan reproduksi dalam kurikulum.
Dukungan dari tingkat kabupaten dan provinsi sangat krusial sebagai pendukung
dan penguat intervensi lokal. Pemerintah daerah perlu memperketat dan mengawal
implementasi peraturan pencegahan perkawinan anak dengan mekanisme yang jelas,
sekaligus merancang program beasiswa afirmatif yang terintegrasi dengan program
perlindungan sosial untuk anak perempuan dari keluarga rentan. Penguatan
kapasitas aparatur desa dan tenaga pendidik melalui pelatihan perspektif gender
dan anak, serta pemberian insentif bagi desa yang berhasil menekan angka putus
sekolah, dapat menciptakan lingkungan kebijakan yang lebih kondusif. Pada
akhirnya, memutus siklus ketimpangan gender dalam pendidikan di Desa Borong Loe
adalah sebuah proyek transformasi sosial jangka panjang yang memerlukan
komitmen dan sinergi kolektif dari seluruh elemen masyarakat. Dengan memulai
langkah-langkah strategis dan partisipatif dari tingkat akar rumput, masyarakat
desa dapat membangun fondasi kokoh untuk mengubah norma, memperkuat
kelembagaan, dan membuka jalan menuju masa depan yang lebih adil dan setara
bagi seluruh anak perempuannya.
DAFTAR
PUSTAKA
Bourdieu,P.
(1986). The Forms of Capital. In J. Richardson (Ed.), Handbook of Theory and
Research for the Sociology of Education. Greenwood Press.
Connell,R. W.
(2009). Gender: In World Perspective. Polity Press.
Creswell,J. W.
(2014). Research Design: Qualitative, Quantitative, and Mixed Methods
Approaches. SAGE Publications.
Kabeer,N.
(1999). Resources, Agency, Achievements: Reflections on the Measurement of
Women’s Empowerment. Development and Change.
Mies,M. (1986).
Patriarchy and Accumulation on a World Scale: Women in the International
Division of Labour. Zed Books.
Miles,M. B.,
Huberman, A. M., & Saldana, J. (2014). Qualitative Data Analysis: A Methods
Sourcebook. SAGE Publications.
Pratiwi,I.
(2020). Budaya Patriarki dan Akses Pendidikan Anak Perempuan di Pedesaan
Sulawesi Selatan. Penerbit Universitas Hasanuddin.
UNESCO.(2019).
Global Education Monitoring Report 2019: Gender Report – Building bridges for
gender equality. UNESCO Publishing.
World
Bank.(2018). World Development Report 2018: Learning to Realize Education’s
Promise. World B

Posting Komentar untuk "Ketidaksetaraan Gender dan Ancaman Putus Sekolah pada Anak Perempuan di Desa Borong Loe, Kabupaten Bantaeng"
Silahkan tinggalkan komentar untuk respon atau pertanyaan, kami akan balas secepat mungkin.