Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget Atas Posting

"Menakar Inklusivitas di Balik Filosofi ABSSBK: Studi Kasus Moderasi Beragama di Kota Padang"

"Menakar Inklusivitas di Balik Filosofi ABSSBK: Studi Kasus Moderasi Beragama di Kota Padang"
Harmoni dalam Keberagaman: Membedah Akar Toleransi di Kota Padang

Kota Padang, sebagai ibu kota Provinsi Sumatera Barat, merupakan episentrum kebudayaan Minangkabau yang memegang teguh filosofi Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah (Adat bersendikan syariat, syariat bersendikan Kitabullah). Identitas ini seringkali menempatkan Padang dalam posisi yang unik sekaligus kompleks dalam peta moderasi beragama di Indonesia. Di satu sisi, religiusitas yang kental menjadi fondasi moral masyarakat, namun di sisi lain, posisi geografisnya sebagai kota pelabuhan sejarah telah membentuk karakter masyarakat yang sebenarnya inklusif dan terbuka terhadap pendatang. Dinamika ini menarik untuk dibedah secara kritis, terutama ketika kita melihat bagaimana narasi internet dan media sering kali menyederhanakan realitas sosial di lapangan menjadi sekadar angka dalam indeks toleransi.

Secara historis, keberagaman di Padang bukanlah fenomena baru yang muncul akibat globalisasi modern. Jejak sejarah mencatat bahwa interaksi antara etnis Minangkabaudengan etnis Tionghoa, Nias, Jawa, hingga keturunan India telah berlangsung berabad-abad melalui jalur perdagangan. Kawasan Pondok, misalnya, berdiri sebagai artefak hidup yang menunjukkan bahwa integrasi sosial dapat terjadi tanpa harus menggerus identitas agama masing-masing. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, tantangan terhadap moderasi beragama muncul dalam bentuk polarisasi opini di ruang digital. Informasi yang tersebar di internet sering kali menonjolkan sisi eksklusivisme, yang jika tidak dikritisi, dapat mengaburkan fakta bahwa masyarakat Padang memiliki mekanisme kearifan lokal dalam meredam potensi konflik.

Olehkarenaitu,artikelinidisusununtukmenelaahlebihjauhbagaimanapraktiktoleransi di masyarakat Padang bekerja di bawah bayang-bayang identitas adat yang kuat. Sebagai mahasiswa yang sedang belajar berpikir kritis, kita perlu mempertanyakan: apakah ketegangan yang sering diberitakan di media digital mencerminkan keretakan sosial di akar rumput,ataukahitusekadardinamikapolitikadministratif?Denganmengandalkankajian

literatur dari berbagai sumber digital, artikel ini akan mengeksplorasi akar moderasi dalam adat Minangkabau dan bagaimana masyarakat Padang menavigasi perbedaan di tengah arus informasi yang semakin cepat dan terkadang bias.

FilsafatAdatdanIntegrasiNilaiModerasi

Moderasi beragama di Kota Padang tidak dapat dipisahkan dari fondasi kebudayaan Minangkabau yang menempatkan harmoni sebagai tujuan utama kehidupan bermasyarakat. Meskipun filosofi Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah (ABSSBK) secara tegas mengikat identitas komunal dengan nilai Islam, terdapat ruang dialektika yang luas baginilai-nilai toleransi. Berdasarkan kajian literatur digital, salah satu kearifan lokal yang menjadi pilar moderasi adalah prinsip "Lain padang lain belalang, lain lubuk lain ikannya." Pepatah ini mencerminkan pengakuan mendalam terhadap partikularitas dan perbedaan; bahwa setiap kelompok atau individu memiliki ruang hidup dan aturan masing-masing yang harus dihormati.
Integrasi nilai moderasi ini terlihat jelas dalam konsep "Mamak" dan "Kemenakan" yang mengajarkantanggungjawabsosialdankepedulianterhadaplingkungansekitar. Masyarakat Padang memiliki kecenderungan untuk menjaga kerukunan melalui mekanisme "rasa" dan "periksa". Dalam interaksi sosial yang terekam dalam berbagai artikel daring, masyarakat Padang cenderung menghindari konflik terbuka dengan cara mengedepankan musyawarah. Moderasi di sini tidak dipahami sebagai upaya mendangkalkan keyakinan agama, melainkan sebagai kemampuan untuk tetap teguh pada identitas diri sambil memberikan ruang bagi orang lain untuk bernapas dengan identitas mereka.
Lebih jauh lagi, keterbukaan masyarakat Padang dipengaruhi oleh mentalitas "Merantau". Budaya merantau mengajarkan orang Minangkabau untuk menjadi inklusif saat berada di tanah orang, dan secara timbal balik, mereka juga memiliki kesadaran untuk menghargai pendatang yang tinggal di Padang. Bukti nyata yang sering diulas di berbagai portal berita adalah keberadaan kawasan Pondok (pecinan Padang). Di sana, nilai adat tidak berbenturan dengan keberadaan etnis Tionghoa atau Nias; sebaliknya, terjadi akulturasi yang cair dalam bidangekonomidankuliner.InimembuktikanbahwafilsafatadatdiPadangmemiliki

fleksibilitas dalam menerima perbedaan selama prinsip-prinsip dasar penghormatan timbal balik terpenuhi.


DinamikadanTantanganKerukunandiRanahMinang

Meskipun fondasi adat memberikan ruang bagi harmoni, realitas moderasi di Kota Padang saat ini menghadapi tantangan yang kompleks. Tantangan ini tidak hanya lahir dari interaksi fisik antarwarga, tetapi juga dipicu oleh perkembangan teknologi informasi dan pergeseran politik identitas. Dalam bagian ini, kita akan melihat bagaimana persepsi yang terbentuk di dunia digital terkadang berbeda dengan apa yang terjadi di akar rumput, serta bagaimana peran literasi menjadi kunci masa depan toleransi di kota ini.
PersepsiEksternalversusRealitasSosialdiLapangan

Jika kita menelusuri literatur digital dan berbagai laporan dari lembaga pemantau hak asasi manusia, Sumatera Barattermasuk Kota Padangsering kali ditempatkan pada peringkatbawah dalam indeks toleransi nasional. Laporan-laporan ini biasanya didasarkan padaproduk hukum daerah atau peristiwa simbolik yang dianggap tidak inklusif. Namun, sebagai mahasiswa yang berpikir kritis, kita harus mampu melihat melampaui statistik tersebut. Terdapat diskoneksi antara "kebijakan administratif" dengan "praktik sosial harian".

Di pasar-pasar tradisional seperti Pasar Raya Padang atau dalam interaksi ekonomi di sepanjang jalan protokol, warga dari latar belakang etnis dan agama yang berbeda berinteraksi tanpa sekat yang kaku. Konflik berbasis agama hampir tidak pernah meledak secara horizontal di tingkat massa. Hal ini menunjukkan adanya "Katup Pengaman Sosial" (social safety valve) yang bekerja; di mana masyarakat lebih mengedepankan fungsionalitas hubungan ekonomi dan ketetanggaan daripada perbedaan teologis. Dengan demikian, tantangan sebenarnya bukanlah ketidaksiapan masyarakat untuk hidup berdampingan, melainkan bagaimana menyinkronkan narasi kebijakan dengan kearifan sosial yang sudah ada.

PeranTeknologidanLiterasiDigitaldalamMembentukNarasiToleransi

Internet dan media sosial telah menjadi "pedang bermata dua" bagi moderasi beragama di Padang. Di satu sisi, ruang digital sering kali menjadi tempat penyebaran konten eksklusif yang memicu polarisasi. Sebagai kota yang memiliki populasi mahasiswa yang besar,Padang menjadi medan tempur ideologi yang sangat dinamis di dunia maya. Narasi yang mengedepankan identitas kelompok tertentu sering kali lebih cepat viral daripada narasi tentang perdamaian, yang kemudian memperkuat stigma negatif pihak luar terhadap Kota Padang.

Namun, di sisi lain, teknologi juga memberikan peluang besar bagi upaya kontra-narasi. Banyak gerakan komunitas muda di Padang yang menggunakan internet untuk mempromosikan sisi inklusif dari budaya Minang. Mahasiswa sebagai agen perubahan memiliki peran krusial dalam melakukan literasi digital kepada masyarakat luas agar tidak mudah terprovokasi oleh isu-isu yang dipelintir di media sosial. Penguatan literasi ini bukan hanya soal teknis menggunakan perangkat, tetapi soal kemampuan berpikir kritis untuk membedah kepentingan di balik sebuah informasi. Dengan literasi yang baik, masyarakat Padang dapat mendefinisikan kembali wajah toleransi mereka di era modern: tetap memegang teguh identitas keislaman dan keminangan, namun tetap luwes dan terbukadalam pergaulan global.

Berdasarkan analisis yang telah dipaparkan, dapat disimpulkan bahwa moderasi beragama di Kota Padang merupakan sebuah entitas yang dinamis dan berakar kuat pada nilai-nilai kearifan lokal. Filosofi Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah tidak seharusnya dipandang sebagai tembok penghalang bagi inklusivitas, melainkan sebagai fondasi moral yang justru mengajarkan penghormatan terhadap sesama manusia melalui mekanisme musyawarah dan rasa empati sosial. Keberadaan komunitas etnis yang beragam di kawasan- kawasan bersejarah Kota Padang menjadi bukti empiris bahwa harmoni di tingkat akar rumput telah lama terjalin melalui interaksi ekonomi dan sosial yang cair.

Tantangan utama yang dihadapi saat ini bukanlah keretakan hubungan antarwarga,melainkankesenjanganpersepsiyangdipicuolehnarasidiruangdigital.Indekstoleransi

yang rendah sering kali tidak menggambarkan realitas keseharian masyarakat Padang yang sebenarnya mampu menavigasi perbedaan dengan sangat dewasa. Oleh karena itu,diperlukan upayakolektifuntuk meluruskan narasi tersebut melalui literasi digital yanglebih kuat. Peran mahasiswa sebagai kelompok intelektual sangat krusial dalam menjembatani nilai-nilai tradisional dengan tuntutan zaman yang lebih terbuka, sehingga identitas lokal yang kuat tidak menjadi alasan untuk bersikap eksklusif.

Pada akhirnya, moderasi di Kota Padang adalah tentang menjaga keseimbangan antara menjaga identitas diri dan menghargai keberadaan orang lain. Dengan memperkuat pendidikan yang berbasis berpikir kritis dan memanfaatkan teknologi informasi secara bijak, Kota Padang berpotensi menjadi model bagi daerah lain dalam hal "Moderasi yang Berkarakter". Masa depan kerukunan di Ranah Minang sangat bergantung pada kemampuan generasi mudanya untuk terus menghidupkan semangat keterbukaan para leluhur dalam konteks dunia yang semakin terhubung tanpa batas.


Oleh :  Ihtifa Aswar

MAHASISWA UNIVERSITAS ANDALAS PROGRAM STUDI MANAJEMEN PEMASARAN




Posting Komentar untuk ""Menakar Inklusivitas di Balik Filosofi ABSSBK: Studi Kasus Moderasi Beragama di Kota Padang""

Kami menerima Kiriman Tulisan dari pembaca, Kirim naskah ke dengan subjek sesuai nama rubrik ke https://wa.me/+6282388859812 klik untuk langsung terhubung ke Whatsapp Kami.