PERLUNYA LITERASI DIGITAL BAGI GURU
PERLUNYA LITERASI DIGITAL BAGI GURU
Oleh:
Bilqis Hasna Faisya
Mahasiswa Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah
Perkembangan teknologi digital saat ini tidak hanya mempermudah komunikasi dan akses informasi, tetapi juga mengubah cara manusia belajar, bekerja, dan berinteraksi. Transformasi digital telah menjadi kekuatan besar yang mempengaruhi berbagai sektor, termasuk pendidikan. Dalam konteks pendidikan nasional, perubahan ini semakin terasa terutama sejak pandemi COVID-19 yang memaksa pembelajaran beralih secara mendadak ke sistem daring. Situasi tersebut menjadi titik balik penting yang menyadarkan semua pihak— guru, kepala sekolah, orang tua, siswa, hingga pemerintah—akan urgensi penguasaan teknologi, khususnya bagi guru sebagai ujung tombak pendidikan.
Meskipun masa krisis telah berakhir, dampak transformasi digital terus berkembang. Banyak sekolah kini mulai mengintegrasikan teknologi dalam administrasi kelas, perencanaan pembelajaran, penilaian autentik, komunikasi dengan orang tua, serta penggunaan platform digital untuk mendukung proses belajar. Pembelajaran tidak lagi terbatas pada kelas fisik; siswadapat mengakses materi dari mana saja melalui perangkat digital yang mereka gunakan sehari- hari. Namun, kemajuan ini juga mengungkap adanya kesenjangan kemampuan digital di kalangan guru. Sebagian guru mampu beradaptasi dengan cepat dan memanfaatkan teknologi sebagai peluang, sementara sebagian lainnya tertinggal karena minimnya pelatihan, kurangnya fasilitas, dan keterbatasan kompetensi digital. Kondisi ini mempertegas bahwa literasi digital guru bukan lagi keterampilan tambahan, tetapi menjadi kompetensi inti yang menentukan kualitas pembelajaran di era abad 21.
Di tengah arus informasi yang bergerak cepat dan mudah diakses oleh siswa, guru dituntut tidak hanya mengajar, tetapi juga menjadi fasilitator dan kurator informasi yang mampu membimbing siswa menggunakan teknologi secara produktif. Transformasi digital memang membuka peluang besar untuk meningkatkan kualitas pendidikan, namun jika tidak diimbangi peningkatan literasi digital guru secara sistematis, justru dapat melahirkan kesenjangan baru dan memperlebar ketidakmerataan pendidikan. Oleh karena itu, literasi digital harus dianggap sebagai investasi jangka panjang untuk mempersiapkan guru dan siswa menghadapi dunia yang semakin kompleks, otomatis, dan berbasis teknologi.
URGENSI LITERASI DIGITAL BAGI GURU DAN SISWA
Literasi digital menjadi fondasi utama dalam pembelajaran modern karena teknologi telah mengubah cara peserta didik memahami informasi. Generasi sekarang tumbuh dalam lingkungan digital—mereka terbiasa belajar melalui video, gim edukatif, media sosial, dan internet. Perubahan pola belajar ini menuntut guru tidak hanya memahami teknologi secara teknis, tetapi juga memiliki kompetensi pedagogis digital yang memadai. Guru yang melek digital dapat menghadirkan pengalaman belajar yang lebih variatif dan bermakna dengan memanfaatkan video, podcast, simulasi, e-modul, animasi, dan kuis online sehingga pembelajaran lebih mudah dipahami oleh berbagai gaya belajar siswa.
Selain memperkaya penyajian materi, literasi digital memungkinkan guru menerapkan pembelajaran yang berpusat pada siswa. Teknologi membuat siswa lebih aktif melalui proyek digital, kolaborasi online, diskusi virtual, hingga pembuatan karya kreatif seperti poster, video, dan infografis. Pembelajaran menjadi lebih fleksibel, inovatif, dan inklusif. Di sisi lain, literasi digital juga berperan penting dalam pembentukan karakter digital siswa. Guru berperan membimbing siswa agar mampu menggunakan teknologi secara bijak—memahami etika digital, menjaga privasi, menghindari hoaks, serta berperilaku sopan saat berkomunikasi daring. Di era meningkatnya kasus seperti cyberbullying dan penyalahgunaan media sosial, kemampuan guru dalam mendidik literasi digital menjadi sangat relevan.
Kemampuan digital guru juga mempermudah proses penilaian. Dengan platform seperti Google Classroom, Microsoft Teams, atau Moodle, guru dapat mengelola tugas, memberikan umpan balik, dan memantau perkembangan belajar dengan lebih efisien. Penggunaan teknologiini menghemat waktu sehingga guru dapat fokus pada peningkatan kualitas pengajaran. Lebih jauh, literasi digital membantu guru mempersiapkan siswa menghadapi masa depan yang sangat dipengaruhi oleh teknologi seperti kecerdasan buatan, robotika, dan analisis data. Siswa membutuhkan bimbingan dari guru yang memahami keterampilan digital agar mampu bersaing di tingkat global. Tanpa literasi digital yang kuat, guru akan kesulitan mengarahkan siswa menjadi generasi yang siap menghadapi tuntutan dunia kerja masa depan.
Rendahnya literasi digital guru di Indonesia bukan sekadar asumsi, tetapi telah dibuktikan oleh berbagai data nasional dan internasional. Banyak riset menunjukkan bahwa sebagian besar guru masih berada pada level kompetensi digital dasar, sehingga belum mampu memanfaatkan teknologi secara optimal dalam pembelajaran. Kondisi ini menjadi tantangan besar di tengah tuntutan keterampilan abad 21 yang membutuhkan guru yang adaptif, kreatif, dan melek teknologi.
Survei Kemendikbudristek menunjukkan bahwa sebagian guru kesulitan mengoperasikan aplikasi pembelajaran digital, seperti LMS, platform video conference, atau alat pembuatan media pembelajaran. Situasi ini terlihat jelas saat pandemi COVID-19, ketika banyak guru baru pertama kali menggunakan Google Classroom, Zoom, atau Microsoft Teams. Tidak sedikit dari mereka yang kebingungan, melakukan kesalahan teknis, hingga merasa frustrasi karena minimnya pelatihan sebelumnya.
Laporan Pusdatin Kemendikbud mengungkapkan bahwa lebih dari 40% guru berada pada kategori “pemula,” yaitu hanya mampu melakukan tugas digital dasar seperti mengetik atau membuat presentasi, tetapi belum bisa mengintegrasikan teknologi secara strategis dalam pembelajaran. Artinya, banyak guru belum memahami bagaimana teknologi dapat memperkaya metode mengajar dan meningkatkan kualitas pedagogis. Padahal, pemanfaatan teknologi bukan hanya soal menguasai perangkat, tetapi juga kemampuan memilih media yang tepat dan menyusunnya menjadi pengalaman belajar yang bermakna.
Temuan UNESCO semakin menguatkan kondisi tersebut. Indonesia masih tertinggal dari negara seperti Korea Selatan, Jepang, dan Singapura yang ekosistem literasi digital gurunya jauh lebih maju. UNESCO menyoroti minimnya pelatihan berkelanjutan dan kurangnya kesempatan praktik sebagai penyebab utama rendahnya kompetensi digital guru. Tantangan ini diperburuk oleh keterbatasan infrastruktur, khususnya di daerah 3T yang masih menghadapi masalah akses internet, perangkat terbatas, bahkan listrik yang tidak stabil. Selain aspek teknis dan fasilitas, faktor psikologis serta budaya sekolah turut mempengaruhi rendahnya literasi digital guru. Banyak guru merasa takut mencoba teknologi baru karena khawatir melakukan kesalahan atau merasa teknologi terlalu rumit. Sebagian guru senior bahkan menganggap teknologi bukan prioritas. Ada pula guru yang belum memahami etika digital, misalnya membagikan data siswa tanpa izin atau menggunakan aplikasi tidak aman, yang menunjukkan bahwa literasi digital mencakup kemampuan teknis sekaligus kemampuan etis dan sosial.
Menurut pandangan saya, rendahnya literasi digital guru adalah masalah fundamental yang harus segera diatasi. Guru adalah pusat transformasi pendidikan; jika mereka tidak menguasai teknologi, siswa pun akan sulit berkembang dalam dunia yang semakin digital dan kompetitif. Indonesia dapat tertinggal jauh dari negara lain yang telah membangun kompetensi digital guru sejak lama.
Karena itu, dapat disimpulkan bahwa rendahnya literasi digital guru merupakan tantangan besar yang membutuhkan perhatian serius dari pemerintah, sekolah, dan masyarakat. Transformasi pendidikan tidak akan berhasil jika kompetensi digital guru tidak diperkuat melalui pelatihan berkelanjutan, penyediaan fasilitas yang memadai, dan perubahan pola pikir. Langkah konkret harus segera dilakukan agar pendidikan Indonesia mampu bersaing di tingkat global dan mempersiapkan generasi yang siap menghadapi masa depan berbasis teknologi.
LITERASI DIGITAL GURU DI NEGARA MAJU
Pembahasan literasi digital guru tidak dapat dilepaskan dari keberhasilan negara-negara maju dalam membangun ekosistem pendidikan yang berorientasi pada teknologi. Finlandia, Singapura, Korea Selatan, dan Jepang menjadi contoh penting karena memiliki kebijakan digitalisasi pendidikan yang kuat, berkelanjutan, dan terstruktur. Melalui pengalaman mereka, terdapat banyak pelajaran berharga yang dapat diadaptasi oleh Indonesia untuk memperkuat kompetensi digital guru.
Finlandia dikenal dengan kualitas gurunya yang tinggi serta budaya akademik yang memberi kebebasan pedagogis. Literasi digital dianggap bagian dari profesionalisme guru, bukan keterampilan tambahan. Dalam pendidikan prajabatan, calon guru sudah diwajibkan mempelajari teknologi pendidikan, merancang pembelajaran digital, hingga menggunakan simulasi akademik. Guru yang sudah mengajar mendapatkan pelatihan berkelanjutan yang fleksibel dan berbasis praktik. Fasilitas sekolah yang modern dan akses perangkat yang merata membuat guru mampu bereksperimen tanpa rasa takut salah. Pendekatan ini berhasil karena budaya pendidikan Finlandia menempatkan guru sebagai profesional yang dipercaya berinovasi.
Singapura menonjol melalui kebijakan nasionalnya yang sangat terencana. ICT in Education Masterplan mewajibkan setiap guru memiliki standar kompetensi digital minimum yang diuji secara berkala. Literasi digital sudah diajarkan sejak masa pendidikan calon guru, termasuk pelatihan pedagogi digital dan desain pembelajaran berbasis teknologi. Fasilitas sekolah di Singapura sangat lengkap—akses internet stabil, perangkat modern, dan dukungan dana untuk pembaruan teknologi. Hal ini menunjukkan bahwa keberhasilan literasi digital membutuhkan kebijakan kuat, standar jelas, dan konsistensi dari pemerintah.
Korea Selatan juga menjadi model digitalisasi pendidikan yang sukses. Pemerintah memberikan pelatihan intensif dan bertahap bagi guru mulai dari kemampuan dasar hingga lanjutan. Guru dibekali keterampilan membuat video pembelajaran, mengembangkan materi interaktif, dan memanfaatkan data digital untuk menganalisis kemajuan siswa. Infrastruktur internet berkecepatan tinggi disediakan merata di seluruh sekolah, termasuk di daerah pegunungan. Keberhasilan Korea terletak pada sinergi pemerintah, industri teknologi, dan sekolah, yang memastikan guru tidak belajar sendiri tanpa dukungan.
Jepang melalui program GIGA School menyediakan satu perangkat digital untuk setiap guru dan siswa, serta internet cepat di semua sekolah. Guru dilatih menggunakan teknologi sebagai alat pembelajaran kolaboratif, bukan hanya media presentasi. Siswa diajak mengembangkan proyek digital, animasi, pemrograman, hingga penggunaan aplikasi berbasis kecerdasan buatan. Teknologi menjadi bagian integral dari strategi pembelajaran, menggabungkan kreativitas guru dengan pengembangan berpikir kritis siswa.
Jika dibandingkan, keempat negara tersebut memiliki pola yang sama: kebijakan pemerintah yang kuat, pelatihan guru berkelanjutan, budaya sekolah yang mendukung inovasi, serta fasilitas teknologi yang merata. Finlandia unggul dalam kebebasan pedagogis, Singapura kuat dalam standar kompetensi nasional, Korea Selatan fokus pada pelatihan intensif dan dukungan infrastruktur, sedangkan Jepang menekankan integrasi teknologi melalui perangkat individu dan pembelajaran kolaboratif. Meskipun pendekatannya berbeda, semuanya menempatkan guru sebagai pusat transformasi digital.
Pelajaran penting yang dapat diambil Indonesia adalah perlunya kebijakan literasi digital yang tidak hanya berbentuk program sesaat, tetapi strategi jangka panjang yang konsisten. Guru harus mendapatkan pelatihan berbasis praktik, bukan sekadar teori. Selain itu, infrastruktur digital harus ditingkatkan agar guru tidak terhambat masalah teknis. Budaya sekolah juga perlu mendukung inovasi, di mana guru diberi ruang untuk mencoba teknologi baru tanpa rasa takut salah.
Secara keseluruhan, pengalaman negara maju menunjukkan bahwa literasi digital guru tidak dapat berdiri sendiri. Kesuksesannya membutuhkan sinergi antara kebijakan pemerintah, fasilitas yang memadai, pelatihan yang berkelanjutan, serta motivasi guru untuk terus belajar. Jika Indonesia mampu membangun ekosistem seperti ini, maka peningkatan literasi digital guru akan berjalan lebih cepat dan pendidikan nasional dapat lebih siap menghadapi tantangan era digital.
TANTANGAN LITERASI DIGITAL GURU DI INDONESIA
Tantangan literasi digital guru di Indonesia bersifat kompleks karena terkait aspek teknis, psikologis, infrastruktur, budaya sekolah, dan kebijakan. Banyak guru masih memiliki kemampuan digital dasar dan kesulitan menggunakan platform pembelajaran seperti Google Classroom atau Zoom. Hambatan psikologis seperti takut salah dan kurang percaya diri juga membuat guru enggan mencoba teknologi baru, terutama bagi guru senior. Kondisi ini diperburuk oleh minimnya perangkat digital, internet tidak stabil, serta fasilitas terbatas di daerah 3T.
Budaya sekolah yang belum mendukung inovasi turut menjadi kendala. Sebagian sekolah masih memprioritaskan metode tradisional, sementara beban administrasi membuat guru tidak memiliki waktu untuk belajar teknologi. Pelatihan digital sering tidak berkelanjutan dan kurang praktik, sehingga guru sulit menerapkannya di kelas. Perbedaan kemampuan antara guru muda dan senior juga memengaruhi kolaborasi.
Siswa sendiri sering menghadapi kesulitan dalam pembelajaran digital, sehingga menambah tantangan bagi guru. Semua faktor ini menunjukkan bahwa literasi digital adalah persoalan sistemik yang memerlukan dukungan fasilitas, pelatihan berkelanjutan, budaya sekolah yang progresif, serta kebijakan pemerintah yang konsisten. Tanpa dukungan menyeluruh, peningkatan literasi digital guru sulit terwujud secara nyata.
IMPLEMENTASI LITERASI DIGITAL GURU DAN SOLUSI INOVATIF
Implementasi literasi digital di sekolah menjadi kunci sukses transformasi pendidikan berbasis teknologi. Upaya ini tidak cukup hanya menjadi wacana; sekolah harus memiliki strategi yang jelas dan berkelanjutan agar guru mampu menerapkan teknologi dalam pembelajaran. Prosesnya membutuhkan waktu, adaptasi, serta dukungan semua warga sekolah.
Langkah pertama adalah membangun kesadaran bersama bahwa teknologi merupakan kebutuhan pembelajaran modern. Jika guru dan sekolah memiliki pemahaman yang sama, teknologi tidak akan dianggap beban. Setelah itu, sekolah perlu menyediakan waktu khusus bagi guru untuk belajar dan berlatih, misalnya melalui workshop rutin atau komunitas belajar guru, sehingga mereka dapat saling berbagi pengalaman dan keterampilan digital. Fasilitas yang memadai juga sangat penting. Guru tidak dapat mengembangkan literasi digital tanpa perangkat seperti komputer, proyektor, atau internet yang stabil. Karena itu, sekolah dan pemerintah harus mengalokasikan anggaran untuk memperkuat infrastruktur. Selain fasilitas, pelatihan yang aplikatif dan berkelanjutan harus diberikan, disertai pendampingan setelah pelatihan agar guru mudah menerapkannya dalam kelas.
Kolaborasi antar guru menjadi strategi lain yang efektif. Guru yang lebih mahir dapat menjadi mentor bagi rekan-rekannya sehingga proses belajar teknologi berjalan alami. Integrasi teknologi dalam kurikulum juga perlu dilakukan agar penggunaannya memiliki arah yang jelas dan sesuai kebutuhan pembelajaran.
Budaya inovasi di sekolah harus dibangun dengan memberikan ruang bagi guru untuk mencoba hal baru tanpa takut salah. Teknologi modern seperti kecerdasan buatan (AI) juga dapat membantu guru dalam membuat materi dan penilaian, asalkan digunakan secara bijak. Agar implementasi berhasil, sekolah perlu melakukan evaluasi rutin untuk melihat efektivitas penggunaan teknologi. Pada akhirnya, kolaborasi antara guru, kepala sekolah, pemerintah, orang tua, dan masyarakat sangat diperlukan. Jika semua pihak terlibat, literasi digital dapat berkembang lebih kuat dan memberi dampak nyata bagi mutu pendidikan Indonesia.
KESIMPULAN
Literasi digital bagi guru merupakan kebutuhan mendesak dalam dunia pendidikan modern. Perkembangan teknologi menuntut guru untuk tidak hanya mampu mengoperasikan perangkat digital, tetapi juga memahami bagaimana teknologi dapat meningkatkan kualitas pembelajaran. Berbagai data menunjukkan bahwa literasi digital guru di Indonesia masih berada pada level yang perlu ditingkatkan. Tantangan seperti keterbatasan kompetensi teknis, minimnya kepercayaan diri, kurangnya fasilitas, disparitas infrastruktur, dan budaya sekolah yang belum mendukung menjadi hambatan yang perlu diatasi secara bersama.
Melihat praktik di negara maju seperti Finlandia, Singapura, Korea Selatan, dan Jepang, terlihat bahwa keberhasilan literasi digital tidak datang secara instan, tetapi melalui perencanaan matang, pelatihan berkelanjutan, dukungan fasilitas, dan budaya inovasi. Indonesia dapat mengambil banyak pelajaran dari negara-negara tersebut untuk memperbaiki strategi pengembangan kompetensi digital guru. Peningkatan literasi digital harus diimplementasikan melalui pelatihan berkelanjutan, kerja sama antar guru, dukungan fasilitas memadai, pendampingan, serta integrasi teknologi dalam kurikulum. Selain itu, sekolah perlu membangun budaya yang menghargai inovasi dan memberikan ruang bagi guru untuk mencoba hal baru tanpa rasa takut. Dengan ekosistem pendidikan yang saling mendukung, literasi digital guru tidak hanya akan meningkat, tetapi juga memperkuat kualitas pembelajaran sehingga mampu mempersiapkan siswa menghadapi tantangan abad 21. Guru yang melek digital adalah kunci menuju pendidikan yang relevan, adaptif, dan berdaya saing global.

Posting Komentar untuk "PERLUNYA LITERASI DIGITAL BAGI GURU"
Silahkan tinggalkan komentar untuk respon atau pertanyaan, kami akan balas secepat mungkin.