RITUS PETI KAE SEBAGAI EKSPRESI EKOLOGI INTEGRAL: KAJIAN ANTROPOLOGI SIMBOLIK DI DESA GOLO TOLANG, MANGGARI TIMUR.
RITUS PETI KAE SEBAGAI EKSPRESI EKOLOGI INTEGRAL: KAJIAN ANTROPOLOGI SIMBOLIK DI DESA GOLO TOLANG, MANGGARI TIMUR.
Penulis ; Martins Chandra Conterius
Prodi; Filsafat
PENDAHULUAN
Upacara adat penti adalah upacara umum yang dilakukan oleh masyarakat Manggarai. Upacara peti atau penti merupakan upacara umum, sedangkan upacara peti kae merupakan upacara yang lebih khusus tang di lakukan oleh masyarakat Desa Golo Tolang, Kecamatan Kota Komba Utara, Kabupaten Manggarai Timur. Masyarakat desa Golo tolang sering juga disebut dengan masyarakat Manus, karena mereka berasal dari suku tersebut. Upacara adat peti kae merupakan salah satu ritus penting dalam kehidupan masyarakat Manggarai Timur khususnya di desa Golo Tolang, kecamatan kota kombat Utara, kabupaten Manggarai Timur. Tradisi ini merupakan bentuk upacara syukur kepada Tuhan (Mori Kraeng) dan para leluhur (empo) atas hasil panen jagung yang telah diperoleh yang bagi masyarakat setempat memiliki makna ekonomi dan spiritual yang kuat dan sangat mencolok. Dalam konteks masyarakat agraris Manggarai, jagung bukan hanya komoditas pangan tetapi juga identitas budaya dan simbol keberlangsungan dari hidup masyarakat setempat. Oleh karena itu upacara peti kae tidak sekedar sebuah perayaan tahunan, melainkan ritual yang sarat nilai, simbol, dan pesan moral rumah menjaga keseimbangan hidup. Penelitian ini berusaha memahami makna simbol dalam upacara peti kae serta relevansinya dengan konsep ekologi integral sebagaimana diajarkan dalam ensiklik Laudato Si oleh paus Fransiskus.
Pada masa kini ketika modernisasi dan perubahan life style mulai memarginalisasikan nilai-nilai kearifan lokal, upacara adat peti kae menghadapi tantangan tersendiri. Banyak anak anak muda tidak lagi mengerti simbol-simbol yang digunakan dalam ritus tersebut. Padahal, simbol-simbol upacara peti kae memuat pesan ekologis, murah dan sosial yang sangat relevan dengan krisis ekonomi global saat yang kita hadapi saat ini. Ensiklik Laudato Si menekankan pentingnya menghidupkan kembali relasi harmonis antara manusia dan alam melalui pendekatan ekologi integral yaitu pendekatan yang tidak hanya melihat alam sebagai objek, tetapi sebagai rumah bersama yang harus dihargai, dijaga, dan dirawat demi keberlangsungan hidup dalam konteks budaya Manggarai Timur. Ritus peti kae pada masyarakat desa Golo Tolang, kecamatan Kota Komba Utara, kabupaten Manggarai Timur pada dasarnya menunjukkan praktik ekologi integral tersebut, dimana penghormatan terhadap alam, rasa syukur atas kehidupan, serta tanggung jawab moral terhadap ciptaan terwujud dalam simbol doa, dan gestikulasi adat.
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimana simbol-simbol dan makna dalam upacara peti kae di desa Golo Tolang, kecamatan Kota Komba Utara, kabupaten Manggarai Timur?
2. Bagaimana nilai-nilai ekologi integral dalam Laudato Si tercermin dalam praktik upacara peti kae di desa Golo Tolang, kecamatan Kota Komba Utara, kabupaten Manggarai Timur?
- Yohanes Gerardus, Ritus Penti dalam Budaya Manggarai (Flores: Penerbit Ledalero, 2015), 22.
- Maria Riberu, “Simbolisme Pangan dalam Tradisi Flores,” Jurnal Antropologi Indonesia 42, no. 1(2020): 55.
Untuk menjawab masalah tersebut, peneliti menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif. Data diperoleh melalui studi inti literatur, wawancara ringan dengan tokoh adat dan pengamat terhadap proses ritus sebagaimana direkam dalam dokumen. Analisis dilakukan dengan menafsirkan simbol-simbol adat ketika menggunakan pendekatan antropologi simbolik dengan kemudian menghubungkannya dengan prinsip-prinsip ekologi integral dalam Laudato Si. Pemilihan metode ini dilakukan karena ritus merupakan fenomena budaya yang memerlukan pemahaman mendalam dan interpretatif, bukan melalui pengukuran kuantitatif.
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi ilmiah dalam dua aspek yaitu yang pertama memperkaya kajian antropologi budaya mengenai ritus syukuran atas hasil panen jagung atau biasa disebut peti kae di desa Golo Tolang, kecamatan Kota Komba Utara, kabupaten Manggarai Timur. Kedua menunjukkan bahwa kearifan lokal sesungguhnya memiliki relevansi teologis dan ekologis yang kuat bagi pendidikan lingkungan hidup masa kini. Dengan demikian upacara seperti peti kae dapat menjadi jembatan antara tradisi lokal dan ajaran Gereja Katolik mengenai tanggung jawab ekologis, sehingga nilai-nilai budaya tidak hanya dipertahankan tetapi juga dipahami secara lebih mendalam oleh generasi muda yang sarat akan budaya.
KAJIAN LITERATUR
Kajian pustaka dalam penelitian ini berfokus pada beberapa kelompok sumber yakni:
1. Penelitian mengenai upacara penti khusnya upacara peti kae di Desa Golo Tolang, kecamatan Kota Komba Utara, kabupaten Manggarai Timur .
2. Kajiian antropologi tentang simbol dan makna dari ritus upacara peti kae Desa Golo Tolang, kecamatan Kota Komba Utara, kabupaten Manggarai Timur .
3. Literatur terkait ekologi dalam ensikllik Laudato Si.
Ketiga sumber ini menjadi dasar untuk mempermudah penelitian dalam konteks akademik dan menunjukkan adanya kebaruan.
Penelitian mengenai upacara penti sudah banyak dilakukan oleh beberapa peneliti yang sebelumnya. Grardus (2015) telah melakukan penelitian dan ia menjelaskan bahwa upacara penti adalah upacara besar yang menandai pergantian tahun dari adat serta upacara syukuran kepada Tuhan atau masyarakat Manggarai menyebutnya Mori Kraeng. Tuhan yang maha pencipta dalam kosmologi Manggarai. Grardus menekankan struktur upacara, jenis sajian dan fungsi sosial dari upacara penti sebagai wadah untuk memperkuat hubungan antar keluarga. Namun, penelitian Gerardus belum menekankan secara spesifik makna simbol-simbol tertentu dalam upacara penti khususnya upacara peti kae yang akan dikaji oleh peneliti.
Riberu (2020) membuat penelitian dan mengkaji tentang makna pangan dalam ritual suku-suku yang terdapat di Flores dan menemukan bahwa pangan seperti jagung, padi dan umbi-umbian sering dilihat sebagai suatu pemaknaan hidup, kesuburan alam dan hubungan timbal balik antara manusia dengan leluhur (empo). Artikel tersebut memperkuat bahwa pangan adalah sebuah simbolik dalam ritus, bukan sekedar materi tetapi juga jati diri dari spiritual. Namun penelitian yang dilakukan Riberu tidak secara khusus menyinggung upacara penti. Penelitian ini memasukkan konteks tersebut secara lebih mendalam.
3. Yohanes Gerardus, Ritus Penti dalam Budaya Manggarai (Flores: Ledalero, 2015), 14.
4. Maria Riberu, Simbolisme Pangan dalam Tradisi Flores, Jurnal Antropologi Indonesia 42, no. 1(2020) 53-56
Penelitian lain mengkaji suatu hubungan ritus adat dengan pandangan ekologi. Sitorus 2018 menurut Sitorus bahwa suatu upacara adat agraris pada dasarnya memuat suatu pesan ekologis berupa penghormatan terhadap bumi sebagai suatu sumber kehidupan. Upacara seperti penti sesungguhnya membawa kita pada pengajaran pola realitas ekologis yang begitu harmonis. Hal ini sangat sejalan dengan konsep ekologi integral dalam Laudato Si yang membawa kita pada pemahaman bahwa krisis ekologi di dunia berakar pada kerusakan realitas dan relasi manusia dengan alam, dengan sesama kita dan juga dengan Tuhan
Ensiklik Laudato Si telah menjadi suatu sumber bagi banyak penelitian mengenai teologi ekologi. Paus Fransiskus sangat menekankan bahwa segala sesuatu saling berhubungan (LS 91), suatu acuan atau pandangan yang searah dengan acuan kosmologi masyarakat Manggarai. Penelitian Saldanha (2021) menegaskan bahwa ekologi integral bukan sekedar tentang keselamatan lingkungan, lebih dari itu tentang pemulihan satu nilai budaya spiritualitas dan struktur sosial. Dalam hal ini penelitian ini menunjukkan bahwa upacara penting bukan hanya suatu upacara adat tetapi juga sebagai sebuah refleksi dari praktik ekologi integral yang dilakukan oleh masyarakat Manggarai.
Penelitian lain yang dilakukan oleh Nggoro (2019) menginterpretasikan sebuah hubungan manusia dan alam dalam suatu kebudayaan Manggarai melalui konsep lingkup sebagai sebuah ruang sosial dan ekologis yang menjadi pokok kebersamaan dan pemerataan tanah. Pandangan tersebut searah dengan gagasan common gold yang tampak dalam Laudato Si. Meskipun penelitian yang dilakukan Nggoro tidak membahas secara detail mengenai ritus penti, perspektif atau pandangan ekologi yang ia buat memperkuat arti pemahaman bahwa kebudayaan Manggarai telah lama mengenal sebuah prinsip ekologis yang kini ditekankan oleh Gereja.
Dengan melakukan kajian demikian, penelitian ini mampu memperluas kazana pengetahuan mengenai bagaimana tradisi asli dapat mendukung spiritualitas ekologi dan lingkungan hidup.
ISI
ANTROPOLOGI SIMBOLIK
Antropologi simbolik memiliki pandangan bahwa simbol adalah sebuah elemen kunci yang membantu cara manusia memahami suatu dunia. Clifford Geertz menjelaskan bahwa budaya adalah jaringan makna yang dirajut oleh manusia itu sendiri dan simbol menjadi sarana yang pertama untuk mengekspresikan dan menawarkan makna tersebut. Dalam kaitanya dengan hal ini upacara peti kae yang dilakukan di Desa Golo Tolang, Kecamatan Kota Komba Utara, Kabupaten Manggarai Timur bukan hanya sebuah upacara adat belaka melainkan sebuah sistem simbol yang merefleksikan cara hidup masyarakat Manggarai Timur mengenai alam yang kita jaga, leluhur kita dan kehidupan sosial yang kita jalani.
5. Andreas Sitorus, Ritus Agraris dan Kesadaran Ekologis, Jurnal Ilmu Budaya 7, no. 2 (2018): 122.
6. Paus Fransiskus, Laudato Si: On Care For Our Common Home (Vatican City: Vatican Press, 2015), 91.
7. Rafael Saldanha , Ekologi Integral dan Spiritualitas Lokal, Jurnal Teologi Jalan Sunyi 5, no. 1 (2021) 40-49.
8. Markus Nggoro, Lingko dan Relasi Ekologis dalam Budaya Manggarai, Jurnal Masyarakat dan Budaya 21, no. 3(20190: 215-229.
9. Clifford Geertz, Tafsir Kebudayaan, terj. Francisco Budi Hardiman (Yogyakarta: Kanisius, 1992), 5.
Victor Turner juga menyampaikan pandangannya tentang "rites of passage”. Dia menekankan tiga fase ritus yakni pemisahan, liminalitas, dan penggabungan kembali. Upacara peti kae yang dilakukan di Desa Golo Tolang, Kecamatan Kota Komba Utara, Kabupaten Manggarai Timur memiliki struktur yang sama. Masyarakat Desa Golo Tolang memasuki masa persiapan, menjalani ritus puncak, dan kemudian kembali ke kehidupan normal dengan pembaruan sosial. Dalam fase liminal atau fase puncak, simbol-simbol adat memainkan peran yang sangat penting dalam membentuk kesadaran bersama mengenai asal usul dari sebuah identitas, dan tanggung jawab atau kewajiban terhadap alam. Dengan demikian, teori dari Turner memberi sebuah analisa atau cara berpikir yang kuat untuk memahami dinamika dari ritus peti kae di Desa Golo Tolang, Kecamatan Kota Komba Utara, Kabupaten Manggarai Timur.
SIMBOL DAN MAKNA UPACARA PETI KAE
Dari hasil wawancara yang dilakukan peneliti terhadap enam narasumber, peneliti menyimpulkan makna dari simbol upacara peti kae yang dilakukan masyarakat Desa Golo Tolang yaitu:
1. Kepok sulung
Kepok sulung dimaknai sebagai untaian doa dan harapan srtayukuran dari masyarakat kepada Mori Kraeng agu empo agar Mori Kraeng agu empo atas hasil yang telahdiberikan dan sekiranya saat ingin menanam jagung kembali Mori Kraeng agu empo dapat menjaga jagung yang ditanam hingga sampai akhirnya masyarakat Desa Golo Tolang dapat memanen hasil dari jagung, terhindar dari hama yang mengganggu proses pertumbuhan jagung dan sekiranya mendapat hasil panen yang berlimpah.
2. Watu nurung
Watu nurung atau batu yang digunakan untuk memberi makan nenek moyang. Kalau di daerah-daerah lain ada yang menggunakan kayu atau piring yang bermakna sebagai tempat untuk memberi makan nenek moyang.
3. Wanggul tawu dan dualoran
Wanggul tawu dan dualoran bermakna sebagai tempat minum dari nenek moyang. Kita menegenalnya sebagai cerek dan gelas atau mok. Wanggul tawu dan dua loran merupakan bahasa umum dari masyarakat Manggarai. Namun, karena semakin mengalami perkembangan zaman yakni jarang orang menemukan tawu dan dualoran, masyarakat menggunakan cerek dan mok atau gelas untuk menggantikan wanggul tawu dan dualoran. Wanggul tawu dan dualoran mengalami perubahan menjadi kede cerek untuk menggantikan wanggul tawu dan ponggong botol untuk menggantikan dualoran. Dualoran berasal dari bambu yang dijadikan mok atau gelas untuk menaruh moke. Kede cerek dan ponggong botol merupakan bahasa asli Masyarakat Manus atau masyarakat Desa Golo Tolang. Pada zaman dahulu masyarakat Manggarai secara umum menggunakan tawu untuk menyimpan tuak atau moke.
Arti wanggul tawu dan dual loran sendiri yaitu:
· Wanggul tawu: cerek
· Dualoran: gelas atau mok.
10. Van Gennep, Arnold. The Rites of Passage (Chicago: University of Chicago Press, 1960), 11-19.
4. Jagung
Jagung merupakan bahan persembahan utama sebagai tanda syukuran atas hasil panen jagung yang telah didapat.
5. Ayam
Ayam yang digunakan memiliki kriteria menggunakan ayam jantan yang berukuran sedang dan dominan. Masyarakat menggunakan ayam yang berwarna putih.karena ayam putih konon merupakan ayam yang bersih, menjadi perantara bagi nenek moyang untuk menyampaikan apakah mendapat tanda baik atau buruk melalui urat. Namun bukan berarti ayam hitam tidak bisa digunakan, ayam hitam digunakan untuk membuang segala malaptaka atau sakit.
6. Moke atau tuak
Moke atau tuak melambangkan minuman dari nenek moyang yang ditaruh di dalam wanggul tawu sebagai bahan persembahan.
7. Sirih pinang atau sepa dan rokok
Sirih pinang atau sepa melambangkan makanan dari nenek moyang. Biasanya sepa dihidangkan untuk empo ata wina atau nenek moyang perempuan karena suatu kebiasaan masyarakat Golo Tolang ketika ada orang yang bertamu pertama yang harus di sediakan adalah sirih pinang, begitu pula dengan rokok diberikan kepada empo ata rona atau nenek moyang laki-laki atau kepada empo ata wina yang semasih hidupnya dahulu sering merokok sebagaitanda penghormatan atau selamat datang.
8. Daun kacang atau daun labu kuning
Daun kacang atau daun labu kuning digunakan untuk mangalas ayam ataupun makanan yang ditaruh diatas nyiru atau doku sebagai bahan persembahan untuk para leluhur saat mengadakan acara.
KETERKAITAN UPACARA PETI KAE DENGAN SPIRITUALITAS EKOLOGIS
Ritus peti kae tidak hanya sekedar seremoni atas syukuran panen, melainkan dari seremoni tersebut terdapat dimensi ekologis yang relefan dengan gagasan dari Paus Fransiskus dalam dokumennya yang berjudul Laudato Si. Dalam dokumen ensiklik Laudato Si tersebut, Paus Fransiskus menegaskan bahwa semua ciptaan harus memiliki keterkaitan dalam ekologis. Prinsip ini terlihat jelas dalam kesadaran dari masyarakat Manggarai Timur, khususnya masyarakat Desa Golo Tolang mengenai keterkaitan manusia pada kesatuan unsur-unsur alam. Ungkapan syukur atas panenan jagung yang diperoleh oleh masyarakat Desa Golo Tolang memiliki bukti nyata dalam pengakuan bahwa segala sesuatu yang dihasilkan bumi bukanlah semata-mata atas kerja keras manusia sendiri, melainkan atas anugerah Tuhan yang terwujud dalam kondisi alam yang harmonis.Sikap syukur atas hasil yang telah diperoleh ini menunjukkan bahwa hubungan timbal balik yang penuh penghormatan, di mana alam dipandang sebagai saudara yang memberi kehidupan dan bukan sebagai sebuah objek ekonomi. Sebagaimana yang diungkapkan dalam Laudato Si yakni “setiap makhluk memiliki nilai di hadapan Tuhan.”
11. Dami N. Dawan, Makna Ritual Syukur Panen dalam Budaya Manggarai. Jurnal Humaniora 14, no. 2 (2012): 45-57.
12. Fransiskus, Laudato Si: On Care for Our Cammon Home ( Vatican: Libreria Editrice Vaticana, 2015), no. 69.
Selain itu, upacara peti kae di Desa Golo Tolang menegaskan pentingnya relasi antara kaum muda dan para leluhur. Wawancara yang dikakukan peneliti terkait upacara peti kae di Desa Golo Tolang, penenan yang berhasil dianggap sebagai berkat dari leluhur yang terus menjaga keharmonisan antara manusia dan alam. Pandangan ini menegaskan bentuk awall dari konsep keadilan antara generasi, yaitu kewajiban moral untuk mewariskan alam dalam keadaan baik kepada generasi yang akan datang. Ensiklik Laudati Si dengan tegas menekankan krisis lingkungan sekarang ini disebabkan karena manusia yang gagal dalam menjaga kesinambungan ekologis antargenerasi. Melalui penghormatan kepada para leluhur, masyarakat Desa Golo Tolang menyampaikan pesan bahwa keberlanjutan alam menjadi tanggung jawab bersama untuk kedepannya.
Hal lain yang sangat penting adalah aspek kebersamaan. Upacara peti kae selalu dilaksanakan secara kelompok atau komunal untuk merayakan berkat alam yang diterima. Kebersamaan ini menolak sifat indifidualistis yang sering mendorong eksploitasi berlebihan terhadap lingkungan. Ensiklik Laudato Si yang dari Paus Fransiskus menyatakan bahwa krisis ekologis tidak dapat diatasi sampai selesai oleh individu secara terpisah tetapi diperlukan kebersamaan atau bersifat komunal untuk menciptakan solidaritas yang kuat untuk membangun perubahan ekologis yang nyata. 15 Upacara peti kae memberikan pesan bahwa kita menjaga alam bukan sekedar tindakan individu, melainkan komitmen atas tindakan bersama sebagai satu kesatuan sosial dan spiritualitas.
Dengan demikian, Upacara peti kae yang dilakukan di Desa Golo Tolang, Kecamatan Kota Komba Utara merupakan tindakan atau ekspresi nyata dari semangat ekologis yang menekankan rasa syukur atas hasil yang telah diperoleh, hubungan antar generasi, dan tingakan kebersamaan. Ketiga dimensi ini sangat sejalan dengan prinsip-prinsip dasar dari ensiklik Laudato Si yang disampaikan oleh Paus Fransiskus, yang mengajak semua umat manusia untuk memandang bumi sebagai rumah bersama yang harus dijaga dengan tanggung jawab penuh. Upacara peti kae, meskipun hanya bersifat lokal, namun menampilkan pandangan bahwa semangat ekologis bukan hanya sekadar teori dan konsep belaka, tetapi dapat diwujud nyatakan dalam tindakan berbudaya sehari-hari melalui pemeliharaan hubungan harmonis antara manusia dengan manusia, manusia dan alam, serta manusia dengan Tuhan dan leluhur.
PENUTUP
Penelitian mengenai upacara adat peti kae di Desa Golo Tulang, Kecamatan Kota Komba Utara, Kabupaten Manggarai Timur, memperlihatkan bahwa sebuah ritus adat bukan hanya berfungsi sebagai tradisi turun temurun, melainkan sebagai sumber sebuah nilai dan kebijaksanaan yang sudah mendarah daging dan relevan bagi tantangan ekologis di masa ini. Melalui simbol-simbol yang digunakan seperti kepok sulung, jagung, ayam, wanggul tawu, dualoran, serta sesajenan lainnya, masyarakat menggambarkan sebuah rasa syukur dan penghormatan kepada Tuhan ( Mori Kraeng) sebagai pencipta dan leluhur (empo) serta kesadaran yang mendalam akan ketergantungan manusia pada alam. Nilai-nilai tersebut sangat sejajar dengan sebuah prinsip integral yang ditekankan oleh Paus Fransiskus dan ensikliknya yang berjudul Laudato Si, yang menekankan bahwa semua ciptaan saling berhubungan dan manusia memiliki sebuah tanggung jawab moral untuk melestarikan bumi sebagai rumah bersama.
13. J. A. M. Varheijen, Masyarakat Manggarai dan Budaya ( Jakarta: Flores Publications, 1991), 113-120.
14. Fransiskus, Laudato Si, no. 159-162.
15. Ibid., no. 13-14.
Ritus peti kae di Desa Golo Tolang, Kecamatan Kota Komba Utara, Kabupaten Manggarai Timur memperlihatkan bagaimana sebuah kearifan lokal dapat menjadi sebuah perantara antara spiritualitas, budaya, dan etika ekologis dalam konteks perubahan sosial dan modernisasi yang semakin tinggi. Upacara peti kae ini sekaligus menjadi sebuah pengingat yang sangat penting akan identitas sebuah budaya dan peran dari sebuah komunitas dalam merawat serta melestarikan lingkungan. Dengan demikian, penelitian ini mau menegaskan bahwa upacara lokal memiliki sebuah daya relevansi yang sangat kuat, tidak hanya untuk masyarakat Manggarai Timur, khususnya masyarakat Desa Golo Tolang, melainkan bagi upaya global untuk merawat bumi. Pelestarian upacara ada peti kae merupakan bagian dari tindakan nyata untuk menjaga kebersihan budaya, spiritualitas dan lingkungan bagi generasi masa kini dan yang akan datang.
Posting Komentar untuk "RITUS PETI KAE SEBAGAI EKSPRESI EKOLOGI INTEGRAL: KAJIAN ANTROPOLOGI SIMBOLIK DI DESA GOLO TOLANG, MANGGARI TIMUR."
Silahkan tinggalkan komentar untuk respon atau pertanyaan, kami akan balas secepat mungkin.