Self Love Bukan Egois_ Sebuah Opini
OPINI
Self Love Bukan Egois
Di tengah maraknya ajakan untuk lebih mencintai diri, muncul satu persoalan yang sering terabaikan, banyak orang keliru memaknai konsep ini. Ada yang memakainya sebagai alasan untuk bertindak semaunya, ada pula yang menganggapnya tak lebih dari sikap mementingkan diri. Kekacauan makna inilah yang kemudian memunculkan pertanyaan apakah self-love selalu identik dengan egoisme?. Padahal, gagasan dasar tentang menghargai diri sebenarnya menekankan keseimbangan, bagaimana seseorang memenuhi kebutuhnnya tanpa mengabaikan kepedulian terhadap orang lain. Ketika pemahaman itu melenceng, yang muncul bukan ketenangan, melainkan konflik antara kebutuhan pribadi dan hubungan sosial.
Apa sebenarnya makna mencintai diri sendiri dan mengapa hal itu penting bagi generasi muda?. Sikap ini mencerminkan kemampuan seseorang untuk menerima, menghormati, dan menghargai diri sendiri secara utuh. Menurut Kristin Neff (2011), hal tersebut bersikap lembut kepada diri ketika menghadapi kegagalan, bukan dengan mengkritik diri secara berlebihan. Sikap ini berperan penting dalam menjaga kesehatan mental karena mengajarkan seseorang untuk berpikir positif dan memperlakukan dirinya dengan penuh kasih. Mencintai diri juga dapat diartikan sebagai wujud rasa syukur kepada Tuhan atas segala kelebihan dan kekurangan yang dimiliki. Dengan mencintai diri, seseorang mampu menumbuhkan keseimbangan antara kebutuhan jasmani, pikiran, dan jiwa.
Bagi mahasiswa, kesadaran untuk mengargai diri memiliki peran besar dalam menghadapi tekanan akademik dan sosial. Mahasiswa sering dihadapkan pada tuntutan untuk mendapatkan nilai tinggi, aktif berorganisasi, serta mampu bersosialisasi dengan baik sering kali menimbulkan beban tersendiri. Apalagi, media sosial kerap menampilkan kesuksesan orang lain yang membuat seseorang merasa tertinggal. Jika dibiarkan, perasaan ini dapat menurunkan rasa percaya diri dan semangat belajar. Namun, dengan memahami nilai diri sendiri, seseorang akan sadar bahwa setiap individu memiliki perjalanan dan potensi yang berbeda. Ia tak lagi menilai dirinya berdasarkan pencapaian orang lain, tetapi dari kemampuan yang berhasil diraih.
Dalam dunia pekerjaan, kemampuan untuk mengenal batas diri juga sangat penting. Lingkungan kerja yang kompetitif sering membuat seseorang memaksakan diri untuk terus produktif tanpa memperhatikan kesehatan fisik maupun mental. Banyak pekerja muda mengalami kelelahan emosional burnout karena tidak mampu menyeimbangkan ambisi dan kebutuhan pribadi. Dengan menumbuhkan kesadaran diri, seseorang tahu kapan harus beristirahat, berjuang lebih keras dan kapan harus berkata “cukup” tanpa merasa bersalah. Sikap seperti ini tidak hanya meningkatkan produktivitas, tetapi juga menciptakan kebahagiaan yang lebih stabil dalam jangka panjang.
Lebih jauh, sikap menerima diri memiliki dimensi spiritual yang mendalam. Ini bukan tentang memanjakan diri, melainkan menyadari bahwa diri adalah ciptaan Tuhan yang berharga. Dengan bersyukur dan menerima diri apa adanya, seseorang akan merasa lebih damai dan mampu menghargai kehidupan. Rasa syukur ini menjauhkan manusia dari sifat iri dan tamak yang merupakan akar dari egoisme. Kesadaran mengajarkan keseimbangan antara mencintai diri dan tetap rendah hati di hadapan Tuhan.
Selain itu, penerimaan diri juga menumbuhkan empati. Seseorang yang mampu memahami dirinya akan lebih mudah memahami orang lain. Ia tidak mudah marah, tersinggung, atau menuntut perhatian berlebihan, karena ia sudah merasa cukup dari dalam dirinya sendiri. Maka, menghargai diri bukanlah bentuk cinta yang menutup diri, melainkan jembatan menuju hubungan yang lebih sehat dan penuh kasih.
Pada akhirnya, mencintai diri bukanlah egoisme. Ia bukan alasan untuk menolak kritik, bersikap keras kepala, atau memikirkan diri sendiri semata. Sebaliknya, kesadaran ini justru mengajarkan kedewasaan emosional mencintai diri tanpa melupakan orang lain. Dengan bersikap secara bijak, seseorang bisa hidup lebih tenang, berempati, dan bahagia. Sebab, cinta sejati kepada sesama berawaldari kemampuan menerima dan berdamai dengan diri sendiri.
Biodata Penulis
Saya Mufidatul Khoiriyah lahir di Bojonegoro,6 Mei 2006 dan saat ini berdomisili di Pucangan Kec. Kartosura. Saat ini sedang menempuh Pendidikan S1 Tadris (Pendidikan) Bahasa Indonesia semester 3 di UIN Raden Mas Said Surakarta. Selain fokus pada akademik, saya juga mengembangkan diri dalam berbagai kegiatan di organisasi. Di waktu luang saya suka membaca buku dan mendengarkan musik.
Untuk menjalin komunikasi dan kerjasama dapat menghubungi melalui Email : khoiriyahmufidatul929@gmail.com

Posting Komentar untuk "Self Love Bukan Egois_ Sebuah Opini"
Silahkan tinggalkan komentar untuk respon atau pertanyaan, kami akan balas secepat mungkin.