Sumatra yang Menunggu Dicatat Negara
Sumatra tidak tidur malam itu.
Ia terjaga oleh suara air yang datang seperti pasukan gelap: membawa batang-batang kayu, lumpur, dan nama-nama yang kelak hanya tinggal angka. Di layar televisi dan ponsel, sebuah angka beku muncul: 604 jiwa meninggal, 464 masih hilang. Angka yang dingin, lahir dari laporan resmi negara, tapi di kampung-kampung Aceh, Sumatra Barat, sampai Sumatra Utara, setiap satu angka itu punya wajah, punya tawa, punya rencana yang tak sempat selesai.
Di berita lain, disebut: 1,8 juta jiwa terdampak.
Tapi bagaimana cara menimbang juta-an nasib di timbangan kebijakan yang sibuk menghitung citra dan investasi? Di tenda-tenda pengungsian Padang Pariaman, di kelas-kelas sekolah yang berubah menjadi tempat tidur darurat, di gang-gang sempit Medan yang berubah sungai, kata “terdampak” terasa terlalu pendek untuk menggambarkan rumah yang hanyut, kebun yang lenyap, dan doa yang menggantung di langit mendung.
Hujan memang turun dari langit, tetapi air bah ini disiapkan pelan-pelan di hulu.
Pohon-pohon yang dulu menjaga lereng sudah diambil diam-diam: diganti plat izin, peta konsesi, dan janji pertumbuhan ekonomi. Pakar dari kampus jauh di Jawa menyebutnya kerusakan ekosistem hutan di hulu DAS; banjir bandang ini bukan sekadar hujan deras, tapi buah dari tutupan hutan yang dilucuti rakus.
Sumatra Barat menatap gunung dan lembahnya yang luka.
Sumatra Utara menghitung lagi jembatan yang runtuh dan jalan yang terputus.
Aceh, yang pernah menelan gelombang besar di 2004, kini kembali tenggelam dalam lumpur dan arus cokelat. Di tengah semua itu, Riau menyiagakan diri, sungai-sungai besar menggelap dan kampung-kampung dataran rendah menunggu giliran—antara doa dan ketakutan.
Lalu di Jakarta, bencana itu dibicarakan dengan kata-kata yang sangat rapi.
Ada rapat, ada konferensi pers, ada kalimat:
“Pemerintah pusat belum menetapkan bencana nasional.”
Menteri menerangkan dengan suara tenang:
penanganan sudah berskala nasional, bahwa status hanyalah soal istilah. Ia berkata, yang penting aksinya, bukan statusnya. Ia juga mengingatkan, bila kata “bencana nasional” diucapkan, dunia bisa salah paham: seolah seluruh Indonesia sedang sekarat; turis mungkin membatalkan perjalanan ke Bali, Labuan Bajo, Yogyakarta. Pariwisata bisa terguncang.
Di tenda pengungsian yang pengap, alasan itu terdengar seperti lelucon pahit.
Betapa mahalnya sebuah kata di mata kekuasaan, dan betapa murahnya sebuah nyawa di mata statistik.
Di Aceh, di Sumut, di Sumbar, para aktivis, pengacara publik, dan warga yang kehilangan keluarga berteriak dari jauh: tetapkan ini bencana nasional, agar pintu-pintu sumber daya dibuka lebar, agar prosedur birokrasi dipangkas, agar negara hadir bukan setengah hati. YLBHI dan jaringan LBH di Sumatra menyebutnya terang: ini bukan sekadar hujan, ini hasil deforestasi masif, izin konsesi perkebunan dan tambang yang menggerus hutan, dan keselamatan rakyat seharusnya menjadi hukum tertinggi.
Namun seruan itu seperti memantul di dinding yang tebal.
Status tidak naik, meski air sudah naik sampai dada.
Walhi menyebutnya bencana ekologis—istilah yang mengingatkan bahwa ada tangan manusia di balik longsor dan banjir bandang, bukan hanya awan gelap di langit.
Tapi di podium resmi, istilah yang dipilih tetap aman: hujan ekstrem, siklon tropis, anomali cuaca. Seakan-akan tidak ada gergaji, tidak ada alat berat, tidak ada surat izin yang ditandatangani rapi beberapa tahun sebelum lumpur menelan rumah-rumah itu.
Sementara itu, di kampung-kampung yang sunyi, orang-orang bertanya dalam hati:
Jika ini belum cukup untuk disebut bencana nasional, apa lagi yang harus kami korbankan?
Haruskah angka 604 itu bertambah menjadi 1.000?
Haruskah 1,8 juta jiwa yang terdampak naik menjadi jutaan lain sebelum negara mengakui bahwa ini bukan sekadar urusan “daerah” yang harus kuat menanggung dirinya sendiri?
Lalu muncullah kalimat lain yang getir:
“Status bencana nasional itu keputusan politik,” kata seorang pakar kebencanaan, mengingatkan bahwa di atas semua indikator teknis—korban jiwa yang besar, kerusakan infrastruktur, kerugian material—pada akhirnya ada meja tempat kepentingan bertemu dan bernegosiasi.
Di meja itu, Sumatra sering datang sebagai pemasok:
pemasok kayu, sawit, batu bara, energi, bahkan cerita-cerita indah untuk brosur pariwisata.
Tetapi ketika datang membawa berita duka, ia dipersilakan duduk agak di pinggir, menunggu giliran.
Maka pertanyaan yang menggantung di udara malam di tenda-tenda pengungsian itu bukan lagi sekadar, “Kapan banjir surut?”
Tetapi juga:
“Apakah kami kalah dalam politik, hanya karena kami tinggal di Sumatra?”
Apakah ini kekalahan Sumatra?
Tidak.
Justru di balik air mata dan lumpur, Sumatra memperlihatkan keberanian:
Relawan yang menyebrangi arus untuk membawa satu karung beras.
Perempuan-perempuan yang memasak di dapur umum dari subuh sampai larut.
Guru-guru yang mencoba menggelar kelas darurat meski sekolah berubah jadi posko.
Yang kalah adalah sebuah cara bernegara:
cara memandang wilayah di luar Jawa sebagai halaman belakang,
cara mengukur bencana dengan kalkulator politik,
cara menimbang status dengan neraca investasi dan citra pariwisata.
Sumatra, dengan 604 nyawa yang tercatat dan entah berapa yang takkan pernah tercatat, hari ini berdiri sebagai cermin.
Ia bertanya kepada republik ini:
“Apakah kami ini hanya penting saat tanah kami masih bisa ditambang,
tapi menjadi beban ketika tanah yang sama ambruk dan menelan kami?”
Jika suatu hari nanti status “bencana nasional” akhirnya diumumkan,
air mungkin sudah surut, lumpur sudah mengeras,
dan sebagian besar jenazah sudah lama dikubur tanpa nama.
Yang tersisa adalah ingatan:
bahwa di tahun ketika banjir dan longsor meratakan desa-desa di Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat,
negara sempat ragu untuk menyebut derita warganya sendiri sebagai urusan nasional.
Dan di antara puing-puing itu, Sumatra berbisik pelan namun tajam:
“Ini bukan kekalahan kami.
Ini pengakuan bahwa kalian di pusat telah kalah
menjadi negara bagi seluruh,
bukan hanya bagi sebagian.”
Penulis: Sarif Alamsyah

Posting Komentar untuk "Sumatra yang Menunggu Dicatat Negara"
Silahkan tinggalkan komentar untuk respon atau pertanyaan, kami akan balas secepat mungkin.