Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget Atas Posting

Cerbung- "Ibuku Gila" Part_3

 #Ibuku_Gila

#Part_3

***

“Bang, gimana? Udah ketemu?”  Suara cemas Eis membuat kepalaku semakin pusing.

“Belum, Eis, kalau udah ketemu, pasti udah Abang kabari. Kamu jangan telpon-telpon dulu deh, kecuali ngabarin kalau Mak dah ketemu.” Ucapku berusaha menahan rasa jengkel.

“Tapi Eis khawatir, Bang,” ucapnya.

“Kita semua khawatir, Eis, tapi telponmu tak akan banyak membantu. Cepat cari lagi!” Perintahku.

Telpon terputus, mungkin Eis kesal karena aku bentak. Aku memang hampir tidak pernah membentaknya, aku sangat menyayangi adikku itu.

Aku tidak sempat memikirkan hal itu, nanti aku juga bisa minta maaf setelah Mak ditemukan. Aku kembali konsentrasi memperhatikan kiri kanan jalan, mana tahu aku melihat Mak.

Aku benar-benar cemas, hampir lima jam aku berkelilling bahkan sudah sampai ke dekat jembatan yang jaraknya hampir dua kilo meter dari rumah tapi belum juga aku temukan Mak.

“Mak, kemana sih, Mak, pulang dong.” Kataku meski aku tahu Mak tak ‘kan pernah mendengar ucapanku.

Aku menepikan mobilku lagi. Bersandar dan memejamkan mata sekedar mengurangi kecemasanku. Andai Mak tidak sakit, aku tidak akan secemas ini, tapi Mak mana tahu jalan pulang, beliau juga tak bisa berkomunikasi dengan orang. Belasan tahun sudah Mak kehilangan ingatannya.

Apapun yang terjadi aku harus menemukan Mak, tekadku dalam hati. Pelan aku jalankan lagi mobil menyusuri jalan dan berharap aku melihat Mak.

***

“Kita lapor polisi aja, Bang.” Eis menatapku minta persetujuan.

“Ayah rasa, Eis benar, Satria. Kita harus lapor polisi.” Suara Ayah serak matanya memerah, aku tahu Ayah sedang khawatir.

“Ini belum 24 jam, Ayah, polisi tidak akan menerima laporan kita,” ucapku putus asa.

“Bang, Mak hilang sejak jam sembilan pagi tadi, dan ini sudah jam sebelas malam, bagaimana kalau terjadi apa-apa dengan Mak?” Eis mulai menangis.

“Ini semua karena keteledoranmu, Eis, kamu tidak becus menjaga Mak!”

“Bang, apa maksud Abang?”

“Jangan-jangan ini cara kamu agar Mak benar-benar tak ada saat lamaran, betul ‘kan?”

“Astaghfirullah, Bang, Eis memang tak mau ada Mak saat lamaran, tapi tak pernah terniat dalam hati  Eis untuk membuat Mak pergi. Abang jahat!”

“Tapi kemana Mak, Eis? Biasanya dia Cuma hilang ke pasar kaget di ujung komplek, atau bersembunyi di gudang. Mana pernah Mak menghilang seperti ini?”

“Bang, Eis tahu agama, Eis takut durhaka! Tak mungkin Eis berbuat jahat pada Mak.” Kali ini Eis benar-benar menangis, dia menangkupkan kedua tangannya di wajahnya.

“Satria, sudahlah, Eis tak salah. Ayahlah yang salah, ayah tidak bisa menjaga Mak kalian.” Suara ayah pelan dan bergetar, aku terdiam sedang Eis masih menangis.

“Maaf, Ayah,” kataku.

“Sudah, nggak apa-apa, sekarang kalian tidur besok kita lanjutkan lagi mencari Mak kalian. Berdoalah semoga Allah menjaga dia di manapun berada.”

Ayah beranjak dari duduknya menuju ke kamarnya, akupun meraih tas dan jasku dan berjalan ke kamarku. Sekilas aku melirik Eis, dia massih menangis, entah karena aku marahi atau karena merasa bersalah, aku tak tahu.

Aku meletakkan tasku dan meraih handuk untuk mandi, selain badan terasa lengket akupun ingin mendinginkan kepalaku ini.

Mengguyur tubuh dengan air dingin memiliki sensasi tersendiri buatku, aku menikmati butiran air dari shower. Segar. Tiba-tiba muncul wajah dalam pikiranku, wajah manis berkerudung itu tersenyum manis padaku. Aku tersentak, kenapa aku memikirkan Humaira? Aku pegang lagi dadaku, ada getar lembut di dalam sana.

Aku menyudahi mandiku, mengeringkan badan, berpakaian dan merebahkan badan di tempat tidur. Membayangkan Humaira tidak mampu menyingkirkan rasa cemasku terhadap keadaan Mak sekarang. Ya Allah, tolong jaga Mak, doaku dalam hati.

***

Aku terjaga ketika azan subuh berkumandang, biasanya aku bangun lebih siang lagi tapi kali ini aku terbangun lebih cepat.

Aku beranjak ke kamar mandi dan berwudhu, sudah lama sekali aku tak sholat subuh karena selalu kesiangan. Sholatku memang sering bolong, apa lagi subuh dan zuhur. Ah, betapa malunya aku yang masih mengejar dunia ini.

Selesai sholat aku turun, aku kaget karena melihat Ayah tidur di ruang tamu, di sofa. Aku mendekati beliau, menatap wajah Ayah begitu teduh, ada gurat kesedihan di sana. Aku tahu pasti semalaman Ayah menunggu Mak.

Sungguh, jika kalian belum pernah melihat cinta yang tulus, datanglah ke rumah kami, Ayah memiliki semua itu. 

“Eh, sudah bangun, Sat?” Ayah terbangun dan berusaha duduk, aku membantunya.

“Udah, Yah, Ayah kenapa tidur di sini?”

Laki-laki itu menghela napas pelan. Kemudian tersenyum getir, “Ayah menunggu Makmu.”

Aku duduk di samping Ayah, memegang tangannya yang sudah mulai keriput, “Satria akan cari Mak lagi, Yah,” kataku.

“Kamu nggak ke kantor?” Aku menggeleng menjawab pertanyaan Ayah.

“Mau nyari ke mana, Sat? Ayah ikut ya?”

Aku mengangguk. Yah, hari ini aku akan mencari Mak, aku melihat jam, ternyata sudah hampir setengah enam. Aku mengambil jaket dan kunci mobil. Aku juga mengambilkan jaket untuk Ayah, entah kemana kami akan mencari Mak, di luar masih remang-remang.

“Eis ikut ya, Bang.” Eis muncul dari dalam. Aku mengangguk, kami akan mencari Mak bersama-sama.

Kami bertiga menuju mobil, di dalam mobil hening tak ada yang bicara. Semua sibuk dengan pikirannya masing-masing.

“Kita kemana dulu kira-kira, Yah?” Aku memecah keheningan. Ayah menoleh, keningnya berkerut seakan sedang berpikir.

“Taman aja, Bang, mana tahu Mak ke sana. Kan beberapa kali Mak pergi kita dapatnya di situ.” Penjelasan Eis masuk akal. Aku memutar stir ke arah taman.

Taman ini sepi, daun-daun masih mengurung embun di tiap helainya. Kami berkeliling, berpencar mencari Mak. Aku berjalan sambil mengawasi sekitar, mana tahu Mak ada.

“Satria?” Suara itu, tanpa menolehpun aku tahu siapa.

“Eh, bener, Satria. Kamu ngapain pagi-pagi di sini?” Mau tak mau aku menoleh juga, Dara, gadis yang membunuh semua perasaanku tanpa ampun.

“Mencari, Mak,” kataku.

“Mak kamu hilang lagi?”

Entah kenapa aku merasa ada nada ejekan dalam suaranya. Aku tak peduli, aku melangkah hendak pergi.

“Satria, kamu mau ke mana?” Dia mengejarku dan menarik tanganku. Jarak kami begitu dekat.

Tak ada yang berubah darinya, dia masih menawan, cantik. Wangi tubuhnya pun masih sama, dulu aku suka memeluk wanita ini. Aku mencintainya setengah mati.

“Aku mau mencari Mak, Ra. Sudah semalaman dia tidak pulang.” Aku biarkan tanganku masih dalam genggamannya, sesungguhnya aku sangat merindukan wanita ini.

“Iya, aku tahu, kamukan udah bilang tadi. Mumpung ketemu di sini, aku mau ngabari, minggu depan aku akan tunangan.” Dia tersenyum manis.

Luka karena dia meninggalkanku dulu berdarah lagi, harusnya kami tidak usah bertemu lagi. Harusnya luka inipun tak pernah ada lagi.

“Selamat.” Kataku pelan, aku redam semua rasa sakit.

“Terima kasih, datang ya.” Dia kembali memasang senyum manis itu di wajahnya, aku mengangguk. Begitu dia melepaskan tangannya, aku melangkah pergi. 

Dara, hampir dua tahun aku tak mendengar kabarnya, kenapa pagi ini dia muncul lagi?

***

Aku melanjutkan mencari Mak dengan perasaan yang campur aduk. Hampir pukul tujuh, Eis dan Ayah sudah bergabung kembali denganku. Tak ada satupun di antara kami yang menemukan Mak. Wajah Ayah semakin kuyu.

“Bang, kita sarapan dulu yuk, kasihan Ayah juga, kalau terlalu capek.” Eis menunjuk tukang bubur ayam. Aku mengangguk, perutku juga sudah lapar, aku baru menyadari dari tadi malam aku belum makan.

Kami berjalan ke arah penjual bubur ayam itu, cukup ramai, kata Eis, kalau ramai berarti makanan di situ enak. Tapi ternyata kami salah, keramaian itu bukan karena orang belanja tapi terjadi keributan di sana. Aku tak tertarik, tapi kata-kata Eis membuatku melangkah ke arah keramaian ini.

“Maafkan Ibu saya, Mbak.” Itu suara Humaira, aku yakin, suara selembut itu adalah milik gadis manis tersebut.

“Maaf apanya? Bajuku kotor ini!” Dan suara yang berteriak ini tidak asing, aku yakin itu Dara. Aku mempercepat langkahku, tak ku hiraukan Eis yang memanggilku dari tadi.

Aku melewati orang-orang yang berkerumun, betul itu Humaira dan Dara, aku melihat Humaira memeluk seseorang, wanita berhijab itu sepertinya sedang ketakutan. Aku tak melihat jelas wajahnya. Humaira berusaha menenangkannya.

“Iya, Mbak, maaf. Saya betul-betul minta maaf, ibu saya tidak sengaja. Ibu saya sakit Mbak, dia kehilangan ingatannya.”

Deg.

Jantungku hampir copot, aku sama sekali tidak menyangka, kalau Humaira juga memiliki ibu gila. Ternyata tidak hanya Ibuku yang gila.

“Kalau ibunya gila jangan di bawa keluar dong, Mbak, menganggu orang aja.”

“Maaf, Mbak, jangan menghina Ibu saya.” Suara Humaira begitu tegas.

“Dia jahat! Dia jahat. Aku benci!”

Aku sangat mengenal suara itu.

Mak???

***

Bersambung...

Sebelum di Part 2. 

www.lenggokmedia.com/2021/01/cerbung-ibuku-gila-part-2.html?m=1


Terima kasih Admin, terima kasih reader.

Lanjut nggak kira2?


Penulis : Reni Juniarti



Posting Komentar untuk "Cerbung- "Ibuku Gila" Part_3"

Kami menerima Kiriman Tulisan dari pembaca, Kirim naskah ke email redaksi lenggokmedia@gmail.com dengan subjek sesuai nama rubrik atau Klik link https://wa.me/+6282388859812 untuk langsung terhubung ke Whatsapp Kami.