Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget Atas Posting

Cerbung_ "Ibuku Gila" Part 5

#Ibuku_Gila

#Part5


***

Sejak ditemukannya Mak dua hari lalu ada yang berubah dengan wanita yang sangat aku cintai itu. Pagi-pagi dia sudah sibuk mencari jilbab dan akan memarahi Eis adikku yang memang tidak pernah memakai jilbab itu. Hasilnya, dua hari ini Eis selalu menutup aurat, bagus sih menurutku tapi Eis selalu ngedumel setiap kali Mak menarik tangannya saat dia lupa pakai jilbab.

“Bang, Mak kenapa sih heran deh,” kata Eis.

“Mak kan sakit Eis, apanya yang buat heran coba?”

“Eis tau Mak sakit, tapikan nggak pernah-pernahnya sibuk pakai jilbab, Abang tau nggak, hari ini Mak menggunting kain sarung Ayah dan dijadikan jilbab, parahnya masa Eis juga dipaksa memakai itu.” Aku tertawa membayangkan adik semata wayangku ini keluar memakai jilbab ala Mak.

“Nggak lucu!”

Aku berusaha menghentikan tawaku saat dia melotot ke arahku, tapi aku gagal dan malah terbahak-bahak. Eis memukul bahuku berulangkali dan aku berusaha menghindar.

“Eis, mana jilbabmu?” Entah kapan Mak sampai di dekat kami. Dia menatap Eis penuh keheranan meneliti setiap jengkal wajah adikku itu, kemudian dia menghela napas panjang.

“Kenapa Mak?” Ucapku pelan dan lembut.

“Sudah dua hari ini dia nggak ngaji, dan matanya nggak berair saat melihatku.” Wajah Mak sedih.

Aku dan Eis saling tatap penuh keheranan. Eis memeluk Mak tapi Mak diam saja tanpa respon apapun seperti biasa. Tiba-tiba aku ingat Humairah, yah Humairah. Jangan-jangan Mak rindu gadis itu seperti aku, eh.

Diam-diam sesungguhnya akupun merindukan gadis berkulit putih itu. Wajahnya yang teduh, suaranya yang lembut dan yang paling menarik matanya yang bening dan selalu menghindar ketika menatapku. Entah kenapa dua hari ini wajah gadis itu selalu ada dalam pikiranku.

“Bang, woiii!”

Aku kaget ketika Eis memukul lenganku kuat. Aku pelototi adikku itu.

“Mikiran apa sih, Bang?”

“Humairah__,” cepat aku tutup mulutku.

“Humairah?” Wajah Eis keheranan.

“Eh, nggak ... itu ... apa namanya?” Aku gagap, sial kenapa aku malah menyebut nama gadis itu?

“Satria, siapa Humairah?”

“Orang yang nolong Mak kemaren.” Kataku sambil menatap wajah Mak, setidaknya Eis nggak curiga.

“Kak Mey!”

“Iya, Mey, kamu kenapa sih teriak-teriak?” Aku menoyor kening adikku itu.

“Assalamualaikum,”

Suara itu aku sangat mengenalnya, suara lembut itu pula yang mengganggu tidurku dua hari ini. Aku menarik napas panjang mengatur debaran hatiku dan tentu saja raut wajahku, yah, setidaknya jangan sampai gadis itu tahu kalau aku senang melihatnya. Sok cool.

“Waalaykumussalam,” Eis adikku yang jawab sambil menyikut perutku.

“Eissss!” Mak langsung berlari ke arah Humairah dan memeluk gadis itu erat. Eis asli cemberut saat aku ledek dia dengan memeletkan lidah seperti anak kecil.

“Ibu__”

“Mak!” 

Mak langsung membentak Humairah, dan salutnya gadis yang diam-diam mencuri ketenanganku itu tersenyum lembut dan kembali memeluk Mak.

“Maaf, Mak.” Aih, merdu sekali suara itu.

Pelan ku tarik tangan Mak menjauhkannya dari pelukan Mey, dan tersenyum penuh permohonan maaf pada gadis itu.

“Mak, ini Eis dan ini Humairah yang kemaren nolongin Mak.” Aku menjelaskan ke Mak sambil menunjuk Eis dan Humairah bergantian. Mak terlihat bingung dan garuk-garuk kepala.

“Eis? Humairah?” Gantian Mak yang menunjuk mereka bergantian sambil mengulang nama mereka. Kami mengangguk barengan tanpa komando.

“Eis anak Mak, Humairah siapa? Istri kamu?”

Mak oi, aku cepat-cepat Aamiin-kan kalimat Mak, eh. Dan aku lihat pipi Humairah memerah dan terlihat jelas dia tersipu malu. Eis memainkan alisnya menggodaku yang tak sanggup berkata-kata, mungkin juga mukaku memerah. Memalukan! Kenapa harus malu di depan gadis ini, padahal banyak wanita di luar sana yang mengejarku tapi tak satupun yang membuatku tersipu seperti ini. Setelah Dara meninggalkanku hatiku mati untuk cinta. Bagiku wanita semua sama, hanya bersedia senang, susahnya tak kan pernah mau bersama. 

“Eh, Humairah maaf, silahkan duduk.” Aku mengalihkan pembicaraan Mak yang memang kadang ngaco.

“Terima kasih, Mas.” Suaranya merdu.

Kami duduk di ruang tamu, Eis ke belakang setelah permisi membuatkan minum untuk Humairah. Tidak lama berselang Ayah datang dengan senyum senang.

“Eh ada Nak Mey, kapan datang?” Ayah mengulurkan tangannya ke Humairah.

“Barusan, Pak.” Humairah berdiri menyambut uluran tangan Ayah dengan di alasi hijabnya yang panjang. Padahal kalau aku yang ingin menjabat tangannya dia hanya menangkupkan tangan di dada.

“Ayah!” Mak menyela lagi dan melotot ke Humairah.

“Maaf, Mak, barusan, Yah.” Humairah meralat jawabannya tadi, mak tersenyum senang.

“Tumben, Mey, ada apa?” Aku memecah keheningan yang ada.

“Nggak ada, Mas, Mey cuma rindu sama, Mak. Sejak Mak nggak ada rumah kembali sepi, tinggal Mey sama Bapak seperti biasa.” Dia tersenyum manis.

“Ibu Nak Mey kemana?” Ayah bertanya.

“Ibu sudah lama tiada, Yah, sejak Mey berusia empat belas tahun.” Wajahnya sendu tapi cepat ditutupi dengan senyum.

“Maaf Nak Mey, Ayah nggak tahu.” Ayah terlihat menyesal menanyakan itu.

“Nggak apa-apa, Ayah.” Lagi-lagi dia tersenyum.

Eis datang membawa minum dan penganan. Meletakkannya di atas meja sambil tersenyum ramah.

“Kak Mey ayo dimakan, jangan sungkan-sungkan.”

“Terima kasih, Eis.”

Kami ngobrol ngalor ngidul, bercerita tentang hal-hal remeh temeh dan di selingi canda. Aku memperhatikan senyum gadis itu, giginya yang putih bersih dan rapi, bibirnya yang ranum dan hidungnya yang bangir. Kecantikannya setara dengan Dara, padahal wajahnya polos tanpa sentuhan make up yang sering nangkring di wajah Dara. Entah kenapa tiba-tiba aku membandingkan keduanya. Sesekali mata kami beradu, dia cepat berpaling sedang aku tetap menatapnya.

“Buruan lamar, nanti keburu di sambar orang.” Bisiknya sambil menyikut perutku.

Sial ini anak, ngomong seenaknya aja membuat mukaku memanas.

***

Sejak kunjungan itu wajah Humairah semakin menguasai hati dan pikiranku. Kalau lama-lama seperti ini aku bisa gila. Seperti sekarang, di meja rapat Dewan Direksi berulang kali aku menarik napas panjang untuk mengusir bayangan gadis itu.

“Astaghfirullah.” Aku istighfar berulang kali.

“Kenapa, Pak Satria?” Aku kaget mendengar Lina, sekretarisku itu bertanya.

“Nggak apa-apa, Lin.” 

“Dari tadi saya lihat Bapak gelisah, apa rapat ini kita pending dulu?”

“Jangan! Rapat ini penting ada beberapa anggaran yang akan kita revisi ulang.”

Dia tersenyum dan tidak bertanya lagi. Kami kembali fokus ke rapat, benar dugaanku ada beberapa proyek yang sedikit ganjil. Usai rapat, aku harus melaporkan ini pada CEO perusahaan ini. Pak Aditama. Sosok yang paling aku hormati setelah Ayah dan Mak. Pak Aditama hanya memiliki satu anak laki-laki dan hubungan kamipun sangat dekat. Hanya saja Efan, putra pak Aditama sedikit badung.

***


Sebelumnya di Part 4

www.lenggokmedia.com/2021/01/cerbungibuku-gila-part-4.html?m=1

Terima kasih Admin.

Posting Komentar untuk "Cerbung_ "Ibuku Gila" Part 5"

Kami menerima Kiriman Tulisan dari pembaca, Kirim naskah ke email redaksi lenggokmedia@gmail.com dengan subjek sesuai nama rubrik atau Klik link https://wa.me/+6282388859812 untuk langsung terhubung ke Whatsapp Kami.