Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget Atas Posting

Cerbung_"Ibuku Gila" Part 6



#Ibuku_Gila

#Part_6

***

Efan, bukan rahasia lagi kalau anak Pak Aditama itu sangat suka mempermainkan kaum Hawa. Dan entah kenapa perempuan jaman sekarang semakin aneh, mereka rela merendahkan dirinya untuk laki-laki seperti Efan. Ganteng memang, kaya jangan ditanya, tapi kelakuan minus luar biasa, entah apa yang menarik dari lelaki seperti ini. Mungkin benar apa yang selama ini dikatakan Efan, cinta tulus itu hanya ada di novel-novel bukan dalam dunia nyata.

“Hey, ngelamun aja, Boss.” Tepukan di bahuku membuat aku kaget.

“Gila lo!” Ku tonjok perutnya yang disambut tawa oleh lelaki yang baru saja aku pikirkan. Efan. Efan Aditama.

“Mikir apa sih Lu, serius bener.”

“Mikirin Elu!”

“Gila, ngapain mikirin Gue? Lu sehatkan?” Efan memegang keningku dan bergidik ngeri. 

“Aku rindu, Sayang.” Sengaja aku monyongin bibirku padanya.

“Najis, Lu, berhenti nggak?” Efan mengepalkan tinjunya di depan hidungku.

Aku tertawa puas melihat ekspresi Efan yang masih jijik melihatku. Dia adalah sahabatku satu-satunya.

“Baca nih,” aku menyodorkan laporan yang ada di tanganku.

“Apaan ni?”

“Baca aja!”

Dia membuka lembar demi lembar laporan yang aku berikan, semakin lama dia semakin serius membaca huruf demi huruf dalam laporan tersebut. Aku yakin dia pun mulai menyadari ada yang tidak beres dengan mega proyek kami kali ini.

Setelah selesai membaca dia menatapku serius seakan meminta penjelasan. Aku menarik napas panjang kemudian menjelaskan padanya secara rinci apa yang telah aku temukan. Efan terlihat serius, dia memang seperti itu, meski dia adalah pemburu wanita, tapi ketika berhubungan dengan pekerjaan dia tidak pernah main-main.

“Sepertinya kita harus meeting sore ini,” kata Efan. 

“Sore ini?”

“Iya, kenapa? Nggak ada waktu, Lu?”

Aku garuk-garuk kepalaku yang tidak gatal, padahal aku sudah berniat ke rumah Humairah, selain membawa Mak yang selalu meracau, tentu saja karena hatiku punya rindu pada gadis pemilik mata bening itu.

“Terserah Elu deh,” aku mengalah. Urusan pekerjaan lebih urgen dari pada urusan hatiku saat ini.

***

Pak Aditama menyerahkan pada kami urusan proyek tersebut, ternyata angka yang diselewengkan tidak main-main. Kami harus mengadakan meeting darurat dan tentu saja kami harus memanggil Pak Randi selaku orang yang bertanggung jawab dengan proyek ini. 

Hampir dua minggu kami disibukkan oleh masalah ini, aku jarang pulang ke rumah, lembur terus. Kesibukanku ini pula yang membuat aku melupakan kerinduanku pada Mey, wanita yang diam-diam mulai mencuri ketenanganku.

“Bang, malam ini jangan lembur lagi ya, Mas Herdi dan keluarganya datang malam ini.” Ya Allah, aku melupakan acara ini, acara yang ditunggu-tunggu adik semata wayangku. Lamaran, yah malam ini malam lamaran Eis.

“Baik, tuan putri, titah paduka akan hamba laksanakan.” Aku menggoda adikku itu.

“Jangan becanda, Bang, Eis nggak akan maafin Abang kalau sampai lupa,” ancamnya.

Aku tersenyum sambil memandangi gawaiku. Aku lihat jam menunjukkan pukul enam belas, ah, aku selalu mengatakan jam empat sore. Aku bersiap-siap pulang, akan banyak hal yang dilakukan di rumah. Sama seperti acara lamaranku tiga tahun yang lalu dengan Dara. Ah mengingat Dara, sama seperti mencabik kembali luka yang hampir mengering. Dara adalah wanita yang paling aku cintai, wanita yang ingin aku nikahi, wanita yang aku inginkan menjadi ibu dari anak-anakku. Namun sayang, dia menyerah hanya karena Mak. 

Dia membuatku menjatuhkan pilihan melepaskannya, sungguh aku tidak punya pilihan lain saat itu. Dia hanya memberiku dua pilihan, memasukkan Mak ke Rumah Sakit Jiwa, atau memutuskan pertunangan kami.

Dan inilah akhir dari kisah itu, kami berpisah. Hampir tiga tahun aku menikmati rasa sakitku, berusaha menyembuhkannya sendiri, meski aku tahu semua usahaku sia-sia. Aku terlalu mencintainya. Sampai akhirnya aku bertemu dengan Mey, gadis sederhana namun bersahaja. Sungguh aku tak tahu mana yang lebih menarik diantara keduanya. Dara dengan kecantikan dan kemolekan tubuhnya, suaranya yang serak-serak basah membuatku selalu rindu dipanggil sayang. Aku sangat tahu banyak mata yang iri saat kami jalan bergandengan. Dara memiliki kecantikan yang mampu membius kaum Adam. Sedangkan Humairah, wanita yang seperti ingin menyembunyikan kecantikannya, suaranya lembut dan selalu menunduk. Wajahnya polos tanpa sentuhan make up seperti Dara. Entah mengapa kehadiran Humairah mampu mengobati sedikit rasa sakitku.

Aku menepuk keningku sendiri, tolol, entah kenapa aku membandingkan keduanya. Aku menepis pikiran tentang dua wanita yang mengusik hatiku itu. Buru-buru aku sambar tas kerja dan jas yang aku sampirkan di kursi. Lebih baik cepat pulang sebelum Eis, adik yang paling aku sayangi itu merajuk.

***

Aku memandang Eis, adikku itu tampak cantik dan dewasa dalam balutan kebaya modern warna peach itu. Senyumnya sumringah ada kebahagiaan terpancar jelas dari wajahnya. Di depannya duduk Herdi, lelaki yang akan mempersuntingnya, senyumnya sama penuh kebahagiaan. Awas saja kalau sampai dia menyakiti adikku.

Keluarga besar kami berkumpul pada acara lamaran ini, begitu juga dengan keluarga Herdi. Momen ini benar-benar mampu mengumpulkan kami semua. Semua bahagia, canda tawa mengiringi acara lamaran sekaligus pertunangan mereka. Siapa yang menyangka saat Herdi akan memakaikan cincin pertunangan, Mak muncul dengan dandanan yang aneh.

“Kenapa kalian di sini, cepat keluar ada api...ada api...,” Mak berteriak-teriak sambil lari-lari. Kami semua terkejut, wajah Eis memucat.

“Satria, dimana kamu, Nak, tutup matamu, Nenek terbakar...kakek juga terbakar...,” Mak menangis meraung-raung.

Aku cepat berlari ke arah Mak, memeluk dan menenangkannya. Aku tahu, sangat tahu apa yang dirasakan Mak. Aku juga saksi ketika peristiwa itu terjadi, meski aku masih kecil tapi memoriku menyimpannya dengan sangat rapi. Hingga detail kejadian tersebut tak ada yang terlewat, baik itu teriakan Nenek, Kakek dan Paman. Aku mencium Mak berkali-kali.

“Mak, ini Satria, nggak ada api di sini, Mak.”

“Mana Eis? Mana Ayah?”

Ayah mendekat dan memeluk Mak, aku berdiri menyaksikan Ayah menenangkan Mak.

“Itu Eis, putri kita. Dia akan menikah.” Suara Ayah bergetar.

Aku melihat ke arah Eis yang mematung, tanpa sengaja aku melihat ekspresi kaget pada wajah Herdi dan keluarganya.

“Itu siapa, Eis?” Suara Herdi pelan.

Eis terdiam.

“Eis, jawab! Siapa ibu ini?”

“Mak.” Suara Eis hampir tak terdengar.

“Maksudnya Ibu kamu?” Mama Herdi angkat bicara.

“Iya, Bu.” Suara Eis hampir tak terdengar.

“Herdi, sebaiknya kita pulang.”

Aku kaget mendengar ucapan wanita setengah baya itu. Jelas sekali raut wajahnya langsung tidak suka, begitu cepat rona bahagia diwajahnya berganti dengan tatapan sinis.

“Tapi, Ma.”

“Pulang!”

***


Bersambung....

Sebelumnya  dipart 5 

https://www.lenggokmedia.com/2021/02/cerbung-ibuku-gila-part-5.html?m=1

Terima kasih Admin.




Posting Komentar untuk "Cerbung_"Ibuku Gila" Part 6"

Kami menerima Kiriman Tulisan dari pembaca, Kirim naskah ke email redaksi lenggokmedia@gmail.com dengan subjek sesuai nama rubrik atau Klik link https://wa.me/+6282388859812 untuk langsung terhubung ke Whatsapp Kami.